Mubadalah.id – Akhir-akhir ini sering kita jumpai kasus kekerasan terhadap perempuan di ranah pesantren. Mulai dari kekerasan fisik, verbal, pelecehan hingga pemerkosaan. Parahnya, korban adalah santriwati dan pelakunya bahkan sosok panutan di pesantren tersebut (read: Gus / Kyai).
Pesantren memang kental akan ajaran tawadhu’. Doktrinnya adalah tawadhu’ terhadap guru merupakan kunci keberkahan. Maka tak heran jika sang panutan mengatakan apapun, maka santri lekas melaksanakannya. Inilah awal mula munculnya kasu-kasus yang menimpa santriwati. Dengan dalih tawadhu’, sosok panutan alias oknum Kyai tersebut memanfaatkan kuasanya. Melakukan tindak tak senonoh dengan menggunakan legitimasi ajaran-ajaran tersebut.
Kemudian pesantren menjadi kehilangan marwahnya. Karena oknum pelaku merupakan tokoh pesantren, Kyai ataupun anak Kyai atau masih termasuk kerabat Kyai dalam pesantren tersebut. Maka dampaknya orang awam memandang pesantren tak lain hanyalah lembaga pendidikan yang membahayakan, membiarkan patronase berlaku, membiarkan relasi kuasa meraja-lela diperkuat dengan ajaran yang seakan bersifat patriarki.
Lalu, bagaimana bisa oknum yang tampak bermarwah tersebut menjadi pelaku? Pertama, tak lain karena relasi kuasa. Inilah yang kemudian membuat kasus-kasus serupa tak bisa diselesaikan hingga bersih. Kuasa yang besar menyebabkan korban menjadi bungkam.
Pelaku yang merupakan oknum dari keluarga pemilik pesantren ini tentunya memiliki kuasa tersendiri di wilayah yang merupakan kepemilikannya. Dengan begitu korban akan kalah power apabila melaporkan kejadian tersebut. Selain itu, sosok yang tentunya ditokohkan oleh banyak orang ini membuat orang lain susah mempercayai bahwa ia adalah pelaku. Serupa dengan grooming, sosok yang terkesan alim dinilai tak akan mungkin melakukan tindak yang tak manusiawi.
Belum lagi ajaran tawadhu’ yang disalah-maknakan. Beberapa kasus dengan kronologi menceritakan untuk melancarkan tindakannya, sang Kyai menegaskan kepada korban bahwa santri harus manut pada Kyai. Jika tidak, maka nanti ilmunya tidak akan barokah atau akan mendapati kualat. Dengan begitulah korban yang merupakan santrinya tersebut mengikuti perintah pelaku.
Kedua, perihal tawadhu’ yang menjadi alat legitimasi untuk melancarkan aksi pelaku.
أُقَدِّمُ أُسْتَاذِيْ عَلَى نَفْسِ وَالِدِيْ * وَإِنْ نَالَنِيْ مِنْ وَالِدِيْ اَلْفَضْلُ وَالشَّرَفْ
فَذَاكَ مُرَبِّ الرُّوْحِ وَالرُّوْحُ جَوْهَرُ * وَهَذَا مُرَبِّ الْجِسْمِ وَالْجِسْمُ كَالصَّدَفْ
“Aku lebih mengutamakan guruku, dibandingkan orangtuaku, meskipun aku meraih keutamaan dan kemuliaan dari orang tuaku. Karena guru adalah pendidik (pemelihara) jiwaku dan jiwa itu ibarat permata, sedangkan orang tua adalah pendidik (pemelihara) ragaku dan raga itu ibarat kulit kerang.” (Kitab لاَ أَلاَ )
Dalam kitab Ihya’ Ulumuddin juga dijelaskan bahwa murid tidak boleh menyombongkan ilmunya dan menentang gurunya. Tetapi harus tunduk sepenuhnya kepada guru dan mematuhi betul nasihatnya. Ibarat seperti kepatuhan orang sakit yang tidak tahu cara mengobati penyakitnya kepada seorang dokter yang sudah berpengalaman. Seorang pelajar harus tawadhu’ terhadap gurunya, serta mengharap pahala dan kemuliaan dengan berkhidmat terhadapnya.
Kutipan dari dua kitab tersebut menunjukkan bahwa seorang murid harus patuh terhadap guru. Pun dalam dunia pesantren, kitab tersebut tak asing lagi. Bahkan kemungkinan besar seluruh pesantren mengajarkan kitab tersebut kepada santrinya.
Akan tetapi ajaran yang diterima mentah-mentah akan menjadi petaka. Jika konsep tawadhu’ terhadap guru dicerna langsung maka dampaknya tak lain segala apapun yang dilakukan oleh guru akan selalu dimaqbulkan oleh muridnya. Begitu pula tindakan-tindakan yang sebenarnya membahayakan santri. Konsep tawadhu’ inilah yang kemudian dilegitimasi oleh pelaku yakni oknum Kyai yang tak lain adalah seorang guru alias turut mengajar para santrinya.
Tawaran: Alternatif Solusi
Pertama, ruang aman untuk santri. Tidak jauh beda dengan BK di sekolah-sekolah yang berfungsi sebagai pengarah. Umumnya, apabila terjadi sesuatu pada santriwati, maka akan langsung diarahkan kepada Bu Nyai selaku “ibu asuh.” Maka, kemungkinan terbesar apabila pelaku adalah orang terdekat Bu Nyai, korban tidak akan berani untuk melapor. Figure tersebut dianggap akan berpihak kepada pelaku selaku orang terdekat. Dengan begitu, mentalitas korban akan down terlebih dulu sebelum bertindak melapor.
Maka, ruang aman diperlukan disini dengan fungsi sebagai tempat untuk melapor. Beda halnya dengan bagian keamanan di pesantren yang biasa bertugas ketika ada santri yang melakukan pelanggaran. Orang-orang di ruang aman haruslah orang-orang yang dapat berpihak kepada korban.
Mengusung prinsip perlindungan terhadap korban. Karena dalam konteks perlindungan tidak mengenal batasan agama dan atau relasi kuasa berkedok agama. Tidak pula berbicara tentang pesantren. Tidak hanya bicara soal wilayah yang bersinggungan dengan isu keagamaan, tetapi bicara soal oknum individu.
Kedua, pengajaran agama tidak hanya bersifat dogmatis, tetapi juga dialektik. Dialektik disini diartikan sebagai dialog dari dua posisi theoretical yang bersebrangan dengan tujuan menghasilkan posisi teoritis yang baru. Hal tersebut dapat mengatasi keterbatasan-keterbatasan yg ada pada dua posisi yang saling bersebrangan. Seringnya, dalam pesantren, ajaran-ajaran agama diajarkan hanya berbentuk dogmatis dan dengan metode teacher-centered.
Dengan begitu, alih-alih bernalar, santri hanya memahami ajaran sebatas apa yang dijabarkan oleh guru tanpa sempat bernalar lebih jauh. Akhirnya, aktualisasi ajaran-ajaran agama tersebut justru kerap kehilangan relevansi dan substansinya. Agama lebih ditampilkan hanya sebatas ritus. Padahal, ruang agama tak sesempit itu.
Ia harusnya menjadi paradigma komplementer dalam peradaban. Menurut Gus Dur, kondisi kebekuan intelektual ini karena ketergantungan mereka terhadap ortodoksi fiqh yang mengantarkan mereka pada penolakan terhadap modernitas dan pendekatan rasional dalam kehidupan.
Ketiga, adanya regulasi untuk pesantren dalam menangani kasus. Jika mendikbud baru-baru ini menerbitkan aturan pencegahan dan penanganan kekerasan seksual di lingkungan kampus, maka sejatinya lingkungan unit pendidikan berbasis Islam juga memerlukan itu.
Dalam hal ini, menggalang dukungan dari tokoh agama teramat penting yang kemudian ditujukan untuk membangun komunikasi dengan pihak pesantren. Keterlibatan LNHAM (Lembaga Nasional Hak Asasi Manusia) dan atau komisi pengawas terkait guna memastikan proses hukum berjalan, termasuk dalam memberikan saran, pertimbangan dan rekomendasi kepada penegak hukum terkait.
Tawaran solusi alternatif ini memang pastilah tidak semudah layaknya merayakan hari santri dengan menyanyikan lagu-lagu kegembiraan kobar semangat. Keterbatasan hukum dan kehadiran kebijakan yang diskriminatif ditambah respon masyarakat yang masih menganut budaya menyalahkan korban dan meragukan kebenaran pengalaman kekerasan korban menjadi tantangan tersendiri. Sebagai penutup dan refleksi bersama, hari santri macam apa yang kita rayakan di hari lalu? Jika nyatanya masih banyak duka atas santriwati yang menyandang status sebagai korban! []