• Login
  • Register
Jumat, 16 Mei 2025
Keadilan dan Kesetaraan Gender - Mubadalah
Dukung kami dengan donasi melalui
Bank Syariah Indonesia 7004-0536-58
a.n. Yayasan Fahmina
  • Home
  • Aktual
  • Kolom
  • Khazanah
  • Rujukan
  • Tokoh
  • Monumen
  • Zawiyah
  • Kolom Buya Husein
No Result
View All Result
Keadilan dan Kesetaraan Gender - Mubadalah
  • Home
  • Aktual
  • Kolom
  • Khazanah
  • Rujukan
  • Tokoh
  • Monumen
  • Zawiyah
  • Kolom Buya Husein
Keadilan dan Kesetaraan Gender - Mubadalah
No Result
View All Result
Home Kolom Publik

Sampai Kapan Kekerasan Seksual Terus Terjadi di Ruang Pendidikan?

Bercermin dari film Moxie tersebut, kekerasan seksual dan diskrimansi gender tidak seharusnya kita biarkan begitu saja.

Muhammad Asyrofudin Muhammad Asyrofudin
14/01/2025
in Publik
0
Kekerasan Seksual

Kekerasan Seksual

687
VIEWS
Share on FacebookShare on TwitterShare on Whatsapp

Mubadalah.id – Pembahasan kekerasan seksual selalu menjadi topik utama dalam perbincangan di segala ruang, dari mulai ruang akademisi, warung kopi, bahkan sampai di beberapa majelis rumpi. Terlebih dewasa ini dengan maraknya media sosial online. Antara lain di Instagram, facebook, dan juga tiktok yang tidak lepas dari persoalan yang sama.

Suatu hal yang sangat ironis, jika ruang pendidikan baik itu formal atau non-formal, di mana seharusnya menjadi tanah subur untuk menumbuhkan tradisi intelektualitas sekaligus moralitas yang tinggi, kini berubah layaknya seperti rumah hantu yang begitu menakutkan.

Kita sadari atau tidak, fakta kekerasan seksual terjadi di beberapa instansi pendidikan baik itu di perguruan tinggi atau sekolah menengah. Bahkan lebih ironisnya hal demikian juga terjadi di pondok pesantren. Situasi ini merupakan fakta yang menjadi dasar ketakutan serta hilangnya kepercayaan masyarakat terhadap pendidikan kita.

Lebih parahnya, kebanyakan pelaku atas kejadian kekarasan seksual di ruang pendidikan dibiarkan begitu saja tanpa menerima sanksi yang menjerakan. Hal demikian karena adanya ketimpangan relasi kuasa antara pelaku dan korban. Sebut saja semisal korban merasa takut ketika ia melaporkan justru akan mendapatkan ancaman yang merupakan masalah baru untuk dia. Dengan begitu korban kebanyakan diam ketika mengalami hal demikian.

Relasi Kuasa dan Rape Culture

Kekerasan seksual secara harfiah merupakan setiap tindakan seksual yang tidak kita inginkan (Astuti, dkk. 2024), termasuk tindakan yang berawal dari komentar atau rayuan seksualitas terhadap seseorang. Hal demikian tidak begitu saja terjadi dengan apa adanya. Tentu saja ada faktor yang mendorong sekaligus melanggengkannya.

Baca Juga:

Ketika Sejarah Membuktikan Kepemimpinan Perempuan

Qiyas Sering Dijadikan Dasar Pelarangan Perempuan Menjadi Pemimpin

Membantah Ijma’ yang Melarang Perempuan Jadi Pemimpin

Tafsir Hadits Perempuan Tidak Boleh Jadi Pemimpin Negara

Komnas perempuan menyatakan bahwa ketimpangan relasi kuasa antara pelaku dan korban merupakan akar masalah dari berbagai kasus kekerasan seksual yang terjadi. Ketimpangan kuasa ini lebih terasa ketika salah satu pihak (pelaku) memiliki kendali lebih kepada korban. Seperti halnya seorang pemimpin dan warga, guru dan murid, majikan dan buruh dan juga tokoh masyarakat dengan warga (Astuti, dkk. 2024).

Ikha Widiantini dalam tulisannya yang berjudul Kekerasan Seksual di Tingkat Perguruan Tinggi: Sebuah Tinjauan Feminisme Filosofis (2021) menuliskan Catatan Tahunan Komnas Perempuan tahun 2020 mengenai kekerasan seksual yang terjadi di wilayah kampus Yogyakarta, yang mana pihak Universitas sendiri membela sang korban.

Namun sayangnya pelaku justru menggugat keputusan tersebut dengan dalih tidak ada laporan hukum. Bahkan pelaku dapat melaporkan LBH Yogyakarta dengan tuduhan pelanggaran UU ITE. Atas pola laku demikian sang pelaku merasa tidak merugikan orang lain, justru ia merasa dia lah yang dirugikan. Di sisi lain pelaku juga memainkan kekuasaan di wilayah hukum dengan menyudutkan para korban (Widiantini, 2021).

Di samping ketimpangan dalam relasi kuasa antara pelaku dan korban, juga terjadi rape culture, yaitu sikap pengabaian terhadap kasus pemerkosaan. Sehingga banyaknya kasus tersebut lebih terabaikan dan menganggapnya suatu hal yang wajar seperti halnya kematian dan bencana alam (Widiantini, 2021), di mana kenyataan tersebut juga sudah mengakar kuat di lingkungan kita.

Contoh sebuah kata perkosaan yang kita analogikan dengan masalah kehidupan seperti “hidup ini seperti diperkosa, jika tidak bisa melawannya maka cobalah untuk menikmatinya”. Ungkapan-ungkapan yang demikian merupakan bagian dari sikap pengabaian terhadap masalah kekerasan seksual, yang seharusnya kita lawan dan musnahkan.

Moxie dan Gerakan Feminisme

Salah satu cara untuk mengikis kekerasan seksual terutama di dalam ruang lingkup pendidikan adalah dengan menyuarakan gerakan feminisme. Karena bersuara untuk membebaskan perempuan dari belenggu budaya patriarki yang cenderung menjadikan perempuan sebagai korban kekerasan atau yang lainnya. Di mana hal ini merupakan cara efektif untuk menghadapinya.

Dalam zine Sexual Violence against Women Little finger, pada artikel yang berjudul MOXIE! Gerakan Feminisme dan Pentingnya Bersuara. Yang ditulis oleh Luxy N. Farez (2023), menceritakan film yang berjudul Moxie dengan peran utamanya yaitu sosok perempuan yang bernama Vivian.

Vivian adalah seorang perempuan yang pendiam dan cenderung bersikap pasif di sekolahnya. Namun, setelah membaca tulisan diary ibunya yang merupakan seorang feminis, ia terinspirasi untuk mengambil gerakan melawan terhadap bentuk diskriminasi dan kekerasan seksual yang berkelindan di dalam sekolahnya.

Mula-mula Vivian membuat majalah kecil yang berisikan pengalaman perempuan yang mendapatkan diskriminasi gender serta kekerasan seksual di sekolahnya.

Belajar dari Film Moxie

Majalah kecil itu ia beri nama “moxie” yang diam-diam ia bagikan kepada teman-temannya. Lambat laun gerakan yang ia dirikan mendapatkan banyak dukungan dengan banyaknya para siswa yang bergabung di dalamnya. Walaupun gerakan tersebut menimbulkan banyak kontroversi dan juga konflik dengan para guru dan staf yang tidak merasa nyaman dengan adanya gerakan tersebut.

Bercermin dari film Moxie tersebut, kekerasan seksual dan diskrimansi gender tidak seharusnya kita biarkan begitu saja. Maka dengan solidaritas yang tinggi serta dukungan yang kolektif, gerakan feminisme dapat kita gaungkan untuk menghapuskan budaya yang begitu menyakiti sosok Perempuan.

Film tersebut juga menginspirasi kita untuk melawan kekerasan seksual dan diskriminasi gender dengan cara apapun. Bermula dari gerakan kecil atau yang lainnya untuk bersama menyuarakan hak-hak perempuan yang selama ini terabaikan. Langkah ini merupakan suatu gerakan perlawanan yang sangat pro-aktif. Karena dari gerakan kecil lah gerakan yang besar dapat Vivian lahirkan, di mana hal itu bermula dari membuat sebuah majalah.

Dengan demikian, mengakarnya kasus kekerasan seksual di ruang lingkup pendidikan dapat kita bumi hanguskan, serta mewujudkan ruang pendidikan sebagai ruang yang aman bagi siapapun, terutama bagi perempuan. Sehingga kita dapat menciptakan kembali lingkungan yang aman dan nyaman di dunia pendidikan kita. Yakni menumbuh kembangkan tradisi intelektualitas serta moralitas yang tinggi. Di titik inilah kepercayaan masyarakat akan kembali terbentuk. []

 

 

 

 

Tags: Kekerasan seksualKorban Kekerasan Berbasis GenderLembaga PendidikanperempuanPondok PesantrenRuang Amansekolah
Muhammad Asyrofudin

Muhammad Asyrofudin

Mahasiswa universitas Islam negeri Raden Mas Said Surakarta, santri PP Al Musthofa ngeboran sekaligus alumni pondok pesantren Dar Al-Tauhid Arjawinangun-Cirebon.

Terkait Posts

Kashmir

Kashmir: Tanah yang Disengketakan, Perempuan yang Dilupakan

16 Mei 2025
Nakba Day

Nakba Day; Kiamat di Palestina

15 Mei 2025
Nenek SA

Dari Kasus Nenek SA: Hukum Tak Lagi Melindungi yang Lemah

15 Mei 2025
Solusi Kemiskinan

Vasektomi Sebagai Solusi Kemiskinan, Benarkah Demikian?

15 Mei 2025
Orang Miskin

Haji dan Ekonomi: Perjuangan Orang Miskin Menaklukkan Kesenjangan

14 Mei 2025
Vasektomi

Vasektomi Jadi Syarat Terima Bansos: Kekuasaan Negara dan Otonomi Tubuh

14 Mei 2025
Please login to join discussion
No Result
View All Result

TERPOPULER

  • Perempuan Fitnah

    Perempuan Fitnah Laki-laki? Menimbang Ulang dalam Perspektif Mubadalah

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Nakba Day; Kiamat di Palestina

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Qiyas Sering Dijadikan Dasar Pelarangan Perempuan Menjadi Pemimpin

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Dari Kasus Nenek SA: Hukum Tak Lagi Melindungi yang Lemah

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Vasektomi Sebagai Solusi Kemiskinan, Benarkah Demikian?

    0 shares
    Share 0 Tweet 0

TERBARU

  • Menggugat Poligami, Menegakkan Monogami
  • Kashmir: Tanah yang Disengketakan, Perempuan yang Dilupakan
  • Bulan Kebangkitan Ulama Perempuan Indonesia: Bersama Ulama dan Guru Perempuan, Bangkitlah Bangsa!
  • Suami Pengangguran, Istri dan 11 Anak Jadi Korban
  • 5 Kewajiban Suami untuk Istri yang sedang Menyusui

Komentar Terbaru

  • Asma binti Hamad dan Hilangnya Harapan Hidup pada Mengapa Tuhan Tak Bergeming dalam Pembantaian di Palestina?
  • Usaha, Privilege, dan Kehendak Tuhan pada Mengenalkan Palestina pada Anak
  • Salsabila Septi pada Memaknai Perjalanan Hidup di Usia 25 tahun; Antara Kegagalan, Kesalahan dan Optimisme
  • Zahra Amin pada Perbincangan Soal Jilbab
  • Nolimits313 pada Perbincangan Soal Jilbab
  • Tentang
  • Redaksi
  • Kontributor
  • Kirim Tulisan
Kontak kami:
[email protected]

© 2023 MUBADALAH.ID

Selamat Datang!

Login to your account below

Forgotten Password? Sign Up

Create New Account!

Fill the forms bellow to register

All fields are required. Log In

Retrieve your password

Please enter your username or email address to reset your password.

Log In

Add New Playlist

No Result
View All Result
  • Home
  • Aktual
  • Kolom
  • Khazanah
  • Rujukan
  • Tokoh
  • Monumen
  • Zawiyah
  • Kolom Buya Husein
  • Login
  • Sign Up

© 2023 MUBADALAH.ID

Go to mobile version