Mubadalah.id – Gelombang pertama gerakan Feminisme baru dimulai pada sekitar abad ke-19, dan kemudian berlanjut dan masih tetap bergaung hingga abad ke-21 ini. Karena baru muncul pada abad-abad modern, kebanyakan orang menyebut Feminisme sebagai “produk baru”. Walaupun memang benar jika yang dimaksud adalah gerakan terorganisirnya, namun Feminisme sesungguhnya memiliki akar historis yang sangat panjang, jauh sebelum terma feminisme itu sendiri digunakan secara luas.
Menurut Margaret Walters, dalam bukunya Feminism; A Very Short Introduction, Feminisme setidaknya telah dimulai (secara tidak terorganisir) pada sekitar abad ke-11. Seorang perempuan bernama Hildegard adalah diantara tokoh-tokoh pertama yang menyuarakan narasi-narasi kesetaraan.
Ia sebetulnya adalah seorang biarawati sekaligus penulis, dan dalam tulisan-tulisannya, ia menggambarkan Tuhan sebagai sosok yang feminin dan “keibuan”. Kata Hildegard, “Tuhan telah memberikanku kasih sayangnya lagi, sebagaimana ketika seorang ibu memberikan susu kepada anaknya yang menangis.”
Setelah Hildegard, ada banyak tokoh-tokoh perempuan awal yang mencoba menyuarakan narasi-narasi kesetaraan serupa, sebelum akhirnya memuncak pada abad 19. Namun terlepas dari akar Feminisme yang panjang ini, hal yang penting untuk kita bahas di sini adalah, apa sebetulnya esensi dari Feminisme, dan apakah ia sejalan dengan ajaran Islam?
Mengutip Nadya Karima Melati dalam Membicarakan Feminisme, Feminisme dapat dikelompokkan menjadi tiga spektrum yaitu: (1) sebagai ilmu pengetahuan, (2) sebagai gerakan sosial, dan (3) sebagai alat analisis. Untuk menjawab pertanyaan yang kita kemukakan barusan di atas, maka kita akan berfokus membahas Feminisme sebagai alat analisis.
Dalam spektrum ini, Feminisme boleh kita artikan sebagai cara pandang dalam melihat fenomena-fenomena sosial dengan mempertimbangkan pengalaman-pengalaman perempuan, sebuah cara pandang yang bertujuan agar tercipta relasi yang berkeadilan antara laki-laki dan perempuan.
Mempertimbangkan pengalaman perempuan adalah inti dari cara pandang Feminis ini, karena itulah sejarah panjang Feminisme selalu berkaitan dengan pikiran-pikiran para perempuan yang berusaha mendekonstruksi gagasan-gagasan yang bersifat male-oriented, berorientasi kelaki-lakian atau demi kepentingan laki-laki semata (tanpa mempertimbangkan pengalaman perempuan).
Jika cara pandang Feminis adalah cara pandang yang berkeadilan, maka kita dapat segera mengatakan bahwa ia sangat sejalan dengan ajaran Islam. Cara pandang Islam dalam melihat hubungan relasional antara laki-laki dan perempuan juga adalah cara pandang yang berkeadilan dan egaliter.
Contoh konkritnya adalah, perempuan diberikan hak untuk mendapat harta warisan ketika ia dulu (pada masa Jahiliyah) tak boleh menerimanya sedikitpun; perempuan diberikan hak untuk mengelola keuangannya secara pribadi ketika dulu ia tak memiliki independensi; perempuan diberikan hak untuk berekspresi dan mengungkapkan gagasan-gagasannya ketika dulu ia tak punya suara; perempuan diberikan hak untuk menolak pernikahan ketika dulu ia terbiasa dipaksa; dan lain-lain.
Ajaran-ajaran di atas adalah contoh dari suatu cara pandang berkeadilan yang diajarkan Islam, yang mementingkan pengalaman perempuan sebagai salah satu faktor penentu hukum. Pada masa Jahiliyah, perempuan, misalnya, tidak diberikan harta warisan sedikitpun ketika keluarga atau kerabatnya meninggal.
Hal ini adalah salah satu bentuk dari budaya patriarki yang tentu saja merugikan perempuan. Kemudian dengan mempertimbangkan kerugian perempuan ini maka Islam menetapkan hukum yang lebih pro-perempuan, hukum yang sangat radikal pada waktu itu, yaitu memberikan perempuan harta warisan dengan kadar yang berbeda-beda (walaupun anak perempuan tetap mendapat setengah dari bagian anak laki-laki).
Hal yang sama juga terjadi dalam kasus-kasus lain yang menggambarkan cara pandang Islam yang lebih adil dan ramah perempuan. Pandangan keislaman yang adil dan ramah perempuan ini memiliki kesamaan yang jelas dengan cara pandang Feminisme, walaupun pandangan keislaman memiliki karakteristiknya sendiri yaitu berbasis teks keagamaan Alquran dan Hadis.
Bahkan saking pandangan keislaman dan Feminisme saling bersesuaian, Prof. Alimatul Qibtiyah menyebutkan bahwa Nabi Muhammad saw. adalah seorang Feminis; tentu hal ini karena beliau melihat adanya keserasian antara ajaran keadilan yang dibawa oleh Nabi Muhammad saw. dengan cara pandang berkesetaraan yang diusung Feminisme.
Namun perlu diingat bahwa mengatakan ajaran Islam sejalan dengan cara pandang Feminisme tidak sama dengan mengatakan bahwa Islam mendukung pandangan-pandangan dan cara hidup ala Barat. Mengatakan bahwa ajaran Islam sejalan dengan cara pandang Feminisme, hanya berarti bahwa keduanya memiliki visi yang sama tentang kesetaraan dan egalitarianisme.
Jika selama ini Feminisme identik dengan paham membenci laki-laki, menganjurkan gay, lesbian, dan transgender, maka hal tersebut adalah sebuah kekeliruan. Feminisme tidak membenci laki-laki, melainkan membenci budaya patriarki dan dominasi laki-laki. Feminisme juga tidak mengajarkan gay dan lesbian, melainkan menjamin kebebasan tiap orang untuk memilih orientasi seksual mereka masing-masing tanpa ada diskriminasi.
Dalam hal ini perlu dibedakan antara ajaran dan sikap Feminisme terhadap kaum LGBT: ia tidak mengajarkan orang untuk mengubah orientasi seksual dari “hetero” menjadi “homo”; ia hanya mengajarkan bahwa semua orang bebas merasakan cinta maupun ketertarikan dengan siapapun, karena cinta dan ketertarikan tidak bisa dibuat-buat dan diubah begitu saja, maka seseorang tidak seharusnya menerima segala bentuk diskriminasi disebabkan karena cinta dan ketertarikannya yang ia sendiri tak bisa ubah.
Feminisme membenci patriarki karena ia adalah budaya yang memarginalisasi perermpuan, dan Feminisme pun membenci diskriminasi terhadap kaum LGBT karena hal itu akan meminggirkan pihak tertentu dan membuatnya inferior. Dan semua ini, dalam pandangan Feminisme, dan tentu dalam pandangan Islam juga, adalah hal yang tidak sejalan dengan visi kesetaraan dan egalitarianisme.
Visi kesetaraan dan egalitarianisme mengharuskan untuk menjamin hak tiap orang untuk meyakini dan melakukan hal yang dia inginkan, asalkan tidak mengganggu orang lain dan masyarakat. Inilah salah satu makna dari maqashid al-syari’ah tentang menjaga akal (hifzh al-‘aql) dan jiwa (hifzh al-nafs).
Semua orang berhak untuk memiliki pandangan, keyakinan, dan ketertarikannya sendiri, dan semua orang berhak untuk terjamin dari diskriminasi dari orang lain (baca misalnya Argumen Pluralisme Agama).
Dengan menggunakan pandangan yang lebih adil, egaliter, dan berorientasi maqashid al-syari’ah, maka semua detail hukum fikih yang berkaitan dengan relasi hubungan laki-laki dan perempuan dapat diteliti secara lebih baik. Ajaran yang selama ini terdapat dalam fikih Islam tentang inferioritas perempuan dan superioritas laki-laki harus ditelaah ulang menggunakan pendekatan baru yang lebih mengutamakan kemaslahatan perempuan dan pengalamannya.
Pendekatan “Islamis” sekaligus Feminis ini ditawarkan agar kesan ketidakadilan yang terjadi selama ini dalam fikih Islam dapat diminimalisir. Jika bagi sebagian orang istilah Feminisme dirasa sulit untuk disatukan dengan Islam, maka tidak perlu risau hanya dengan istilah belaka.
Pada intinya Islam mengajarkan suatu pandangan yang menyetarakan hak laki-laki dan perempuan, memberikan mereka kesempatan yang sama untuk melakukan kerja-kerja keagamaan, sosial, politik, sebagai bentuk pengkhidmatan sekaligus aktualisasi diri.
Entah pandangan ini akan dianggap sesuai dengan pandangan Feminisme atau tidak, yang penting adalah bahwa pandangan keislaman yang lebih memerhatikan perasaan dan pengalaman perempuan saat ini sangat diperlukan demi menciptakan hubungan relasional yang lebih adil antara laki-laki dan perempuan. []