• Login
  • Register
Minggu, 13 Juli 2025
Keadilan dan Kesetaraan Gender - Mubadalah
Dukung kami dengan donasi melalui
Bank Syariah Indonesia 7004-0536-58
a.n. Yayasan Fahmina
  • Home
  • Aktual
  • Kolom
  • Khazanah
  • Rujukan
  • Tokoh
  • Monumen
  • Zawiyah
  • Kolom Buya Husein
No Result
View All Result
Keadilan dan Kesetaraan Gender - Mubadalah
  • Home
  • Aktual
  • Kolom
  • Khazanah
  • Rujukan
  • Tokoh
  • Monumen
  • Zawiyah
  • Kolom Buya Husein
Keadilan dan Kesetaraan Gender - Mubadalah
No Result
View All Result
Home Kolom Publik

Membumikan Pendidikan Adil Gender di Pesantren, Langkah Awal Mencegah Kekerasan Seksual

Pandangan keagamaan yang adil gender akan menumbuhkan kesadaran kemanusiaan yang setara tanpa diskriminasi

Nurul Amelia Fitri Nurul Amelia Fitri
26/07/2023
in Publik
0
Pendidikan Adil Gender di Pesantren

Pendidikan Adil Gender di Pesantren

846
VIEWS
Share on FacebookShare on TwitterShare on Whatsapp

Mubadalah.id – Tahun 2022 lalu Indonesia dikejutkan dengan berita yang datang dari dunia pesantren. Herry Wirawan (36) seorang guru agama sekaligus pengasuh Pondok Pesantren Tahfidz Madani di Cibiru, Kota Bandung ditetapkan sebagai terdakwa pelaku pemerkosaan kepada tiga belas santrinya.

Aksi keji yang telah ia lakukan sejak tahun 2016 hingga 2021 ini menyebabkan sebanyak sembilan korban hamil dan melahirkan. Bahkan beberapa di antara mereka telah melahirkan lebih dari satu kali. Fakta ini menjadi salah satu alasan pentingnya pendidikan adil gender di pesantren.

Awal Januari 2023, kasus kekerasan seksual di pesantren kembali muncul. Pengasuh pondok pesantren berinisial AA (45) di Kabupaten Tulang Bawang Barat, Lampung, tertangkap atas dugaan kasus kekerasan seksual kepada enam santrinya.

Tiga orang di antaranya ia perkosa dengan dalih akan mendapatkan berkah dari Tuhan jika melayaninya. Sebelum dilaporkan ke polisi, salah satu keluarga korban mengatakan bahwa pihaknya pernah melaporkan kasus ini kepada perangkat desa, namun tidak mendapatkan respon karena pelaku mereka nilai memiliki kekuasaan.

Bulan April 2023 lalu seorang pimpinan pondok pesantren di Batang, Jawa Tengah terungkap melakukan kekerasan seksual (pencabulan dan pemerkosaan) kepada puluhan santrinya.

Baca Juga:

Ketika Istilah Marital Rape Masih Dianggap Tabu

Kekerasan Seksual Bisa Dicegah Kalau Islam dan Freud Ngobrol Bareng

Difabel dan Kekerasan Seksual: Luka yang Sering Tak Dianggap

Dr. Nur Rofiah Tegaskan Pentingnya Mengubah Cara Pandang untuk Hentikan Kekerasan Seksual pada Anak

Pelaku dengan nama Wildan Manshuri (58 tahun) yang merupakan seorang guru sekaligus pengasuh pondok pesantren ini telah melakukan aksi kejinya itu sejak tahun 2019 dengan modus memberikan karomah kepada para korban. Korban ia ancam untuk tutup mulut dan tidak boleh melaporkan kepada siapa pun.

Pesantren dan Kasus Kekerasan Seksual, Sebuah Data

Catatan Komnas Perempuan sepanjang tahun 2015 -2020 menunjukkan, bahwa 19% kasus kekerasan seksual dan diskriminasi terjadi di pondok pesantren atau pendidikan berbasis agama Islam.

Pesantren menempati urutan kedua sebagai lembaga pendidikan dengan kasus kekerasan seksual terbanyak setelah universitas. Jumlah tersebut tentunya hanya yang dilaporkan pada Komnas Perempuan. Faktanya kasus kekerasan seksual di pesantren bagaikan fenomena gunung es. Pendidikan adil gender di pesantren semakin kita butuhkan.

Banyak korban kekerasan seksual yang tidak berani melapor meski telah bertahun-tahun menjadi korban karena relasi kuasa yang begitu kuat. Pelaku biasanya adalah orang yang berpengaruh dan mempunyai posisi yang sangat tinggi, seperti guru atau pimpinan pondok pesantren.

Sementara korban yang kebanyakan adalah anak di bawah umur seringkali menerima ancaman apabila berani melaporkan. Selain itu di beberapa kasus, laporan mengenai kekerasan seksual seringkali tidak mendapatkan penyelesaian dan berujung damai.

Mengembalikan Khittah Pesantren

Sejarah pesantren di Indonesia tidak terlepas dari dakwah para wali songo saat menyebarkan ajaran Islam. Pesantren pada masa itu berfungsi sebagai tempat penyebaran ajaran Islam dan pendidikan. Pada masa pra kemerdekaan, pesantren sangat berperan besar dalam menumbuhkan jiwa nasionalisme.

Banyak perlawanan dan pemberontakan pada masa itu para santri lakukan untuk melawan penjajah. Sehingga tidak kita pungkiri bahwa pesantren memiliki peran besar dalam sejarah kemerdekaan.

Di era modern saat ini pondok pesantren sangat berkembang pesat. Lembaga pesantren tidak hanya berfungsi sebagai tempat pembelajaran agama, tapi juga mencakup pendidikan formal/umum, fungsi sosial serta fungsi ekonomi. Melalui lembaga pesantren, santri tidak hanya dibimbing untuk menguasai ilmu agama namun juga digembleng untuk menjadi SDM unggul yang mampu bersaing secara ilmu pengetahuan dan teknologi.

Kasus kekerasan seksual yang terjadi di pesantren telah bertentangan dengan fungsi dan tujuan pesantren itu sendiri. Sebagai lembaga yang seharusnya menjadi kompas moral pendidikan di tengah kemerosotan karakter anak bangsa, di beberapa tempat pondok pesantren justru menjadi neraka bagi santrinya. Khususnya perempuan sebagai kelompok mayoritas korban kekerasan seksual.

Dalam mengatasi kasus kekerasan seksual di pesantren permasalahan perlu kerjasama antar seluruh pihak dan stakeholder. Karena apabila ada pembiaran dari pihak pesantren itu sendiri, maka kekerasan seksual di pesantren tidak akan benar-benar hilang.

Mengkaji Kembali Sistem Pengetahuan Agama

Upaya paling dasar yang dapat kita lakukan oleh lembaga pendidikan keagamaan adalah mengkaji kembali sistem pengetahuan agama (berupa dalil al-Qur’an, hadis maupun fiqh) dengan perspektif keadilan gender.

Cara pandang patriarki menempatkan perempuan pada posisi yang subordinatif dan termarginalkan. Perempuan seringkali kita pandang sebagai objek dan makhluk kelas dua. Cara pandang ini membuat kaum perempuan berada dalam posisi rentan menjadi korban kekerasan.

Menurut Suheri Sahputra Rangkuti dalam artikelnya yang berjudul “Patriarki dalam Perspektif Pesantren” adanya budaya patriarki pada sistem pendidikan di pesantren tidak terlepas dari pengaruh pemahaman agama yang bias gender. Kajian kitab kuning sebagai salah satu kurikulum pendidikan di pesantren masih mengacu pada kitab-kitab klasik yang banyak mengandung teks-teks yang bias gender.

Contoh kitab ‘Uqud al-Lujayn fi Bayan Huquq al-Zaujayn’ karya Imam Nawawi Al-Bantani yang dalam kitabnya banyak disebutkan hadis-hadis yang misoginis. Begitu pula dalam literatur fiqh dan tafsirnya yang masih satu nada menempatkan perempuan sebagai obyek.

Melihat fakta ini perlu adanya reinterpretasi terhadap teks-teks keagamaan. Khususnya literature klasik yang kita jadikan rujukan dalam pembelajaran di pesantren. Perempuan dalam teks keagamaan tidak boleh lagi kita tempatkan sebagai obyek. Namun harus kita posisikan subagai subyek setara sama halnya dengan laki-laki.

Pesantren sebagai lembaga pendidikan keagamaan yang bertujuan melahirkan SDM unggul berdaya saing sudah tidak relevan lagi apabila mengkotak-kotakkan keunggulan seseorang berdasarkan jenis kelamin.

Membumikan Pendidikan Adil Gender di Pesantren

Al-Qur’an menegaskan dalam QS. al-Nisa’ [4]:1 bahwa baik laki-laki dan perempuan tercipta dari unsur yang sama (min nafsin wahidah), menurut Muhammad Abduh maksud ayat ini adalah bahwa baik laki-laki maupun perempuan diciptakan dari esensi yang satu (unsur tanah), maka tidak ada di antara keduanya yang lebih tinggi derajatnya.

Selain itu tugas manusia di bumi adalah sebagai khalifah fi al-ardh. Yakni untuk mengurus, mengatur, dan mengelola bumi dengan baik. Selain itu menjaga dan memastikan kebaikan untuk sekitarnya dan mencegah adanya keburukan di sekitarnya.

Berdasarkan PMA No 73 Tahun 2022 tentang Penanganan dan Pencegahan Kekerasan Seksual di Satuan Pendidikan Pada Kementerian Agama, menyebutkan salah satu upaya yang dapat lembaga pendidikan lakukan dalam mencegah kekerasan seksual adalah melalui pembelajaran. Baik melalui pengembangan kurikulum, pembuatan modul, maupun pelatihan.

Pesantren dapat mengkaji kembali pengetahuan keagamaan yang diajarkan pada santri mereka. Apakah masih terdapat tafsir yang bisa gender, hadis yang misoginis, atau fikih yang subordinatif.

Pembacaan Teks Keagamaan yang Adil Gender

Apabila kita temukan masih adanya pemahaman yang menempatkan perempuan pada posisi subordinatif, maka tenaga pendidik dapat merujuk pada metode-metode keagamaan kontemporer yang lebih egaliter.

Di Indonesia sendiri sudah banyak ulama kontemporer yang mengenalkan metode pembacaan teks keagamaan yang lebih adil gender. Seperti Dr. Faqihuddin Abdul Kodir dengan mubadalah-nya, Dr. Nur Rofi’ah dengan Keadilan Hakiki Perempuan, Prof. Nasaruddin Umar dengan Argumen Kesetaraan Gendernya, dan Prof. Quraish Shihab dengan kitab tafsir kontemporernya.

Pandangan keagamaan yang adil gender akan menumbuhkan kesadaran kemanusiaan yang setara tanpa diskriminasi. Saat kesadaran kemanusiaan seseorang itu utuh, bahwa ia hanyalah hamba Tuhan yang diamanahi sebagai khalifah fi al-ard maka ia tidak akan merendahkan orang lain.

Baik laki-laki maupun perempuan mempunyai hak yang sama dan kewajiban yang sama di sisi Allah Swt. Kemuliaan seseorang bukan berdasarkan jenis kelamin melainkan berdasarkan tingkat ketakwaan kepada Allah Swt (QS. Al-hujurat : 13). []

Tags: Kekerasan seksualNgaji KGIPendidikan Adil GenderPondok PesantrenQira'ah Mubadalah
Nurul Amelia Fitri

Nurul Amelia Fitri

Penyuluh Agama Islam Kabupaten Cirebon

Terkait Posts

Mas Pelayaran

Kedisiplinan Mas Pelayaran: Refleksi tentang Status Manusia di Mata Tuhan

13 Juli 2025
Perempuan dan Pembangunan

Perempuan dan Pembangunan; Keadilan yang Terlupakan

12 Juli 2025
Isu Disabilitas

Tidak Ada yang Sia-sia Dalam Kebaikan, Termasuk Menyuarakan Isu Disabilitas

12 Juli 2025
Negara Inklusi

Negara Inklusi Bukan Cuma Wacana: Kementerian Agama Buktikan Lewat Tindakan Nyata

11 Juli 2025
Kopi yang Terlambat

Jalanan Jogja, Kopi yang Terlambat, dan Kisah Perempuan yang Tersisih

10 Juli 2025
Humor Kepada Difabel

Sudahkah Etis Jokes atau Humor Kepada Difabel? Sebuah Pandangan Islam

10 Juli 2025
Please login to join discussion
No Result
View All Result

TERPOPULER

  • Hak Perempuan

    Perbedaan Biologis Tak Boleh Jadi Dalih Mendiskriminasi Hak Perempuan

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Pentingnya Menempatkan Ayat Kesetaraan sebagai Prinsip Utama

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Praktik Kesalingan sebagai Jalan Tengah: Menemukan Harmoni dalam Rumah Tangga

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Perempuan dan Pembangunan; Keadilan yang Terlupakan

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Tidak Ada yang Sia-sia Dalam Kebaikan, Termasuk Menyuarakan Isu Disabilitas

    0 shares
    Share 0 Tweet 0

TERBARU

  • Merebut Kembali Martabat Perempuan
  • Kedisiplinan Mas Pelayaran: Refleksi tentang Status Manusia di Mata Tuhan
  • Kala Kesalingan Mulai Memudar
  • Hancurnya Keluarga Akibat Narkoba
  • Praktik Kesalingan sebagai Jalan Tengah: Menemukan Harmoni dalam Rumah Tangga

Komentar Terbaru

  • M. Khoirul Imamil M pada Amalan Muharram: Melampaui “Revenue” Individual
  • Asma binti Hamad dan Hilangnya Harapan Hidup pada Mengapa Tuhan Tak Bergeming dalam Pembantaian di Palestina?
  • Usaha, Privilege, dan Kehendak Tuhan pada Mengenalkan Palestina pada Anak
  • Salsabila Septi pada Memaknai Perjalanan Hidup di Usia 25 tahun; Antara Kegagalan, Kesalahan dan Optimisme
  • Zahra Amin pada Perbincangan Soal Jilbab
  • Tentang
  • Redaksi
  • Kontributor
  • Kirim Tulisan
Kontak kami:
redaksi@mubadalah.id

© 2023 MUBADALAH.ID

Selamat Datang!

Login to your account below

Forgotten Password? Sign Up

Create New Account!

Fill the forms bellow to register

All fields are required. Log In

Retrieve your password

Please enter your username or email address to reset your password.

Log In

Add New Playlist

No Result
View All Result
  • Home
  • Aktual
  • Kolom
  • Khazanah
  • Rujukan
  • Tokoh
  • Monumen
  • Zawiyah
  • Kolom Buya Husein
  • Login
  • Sign Up

© 2023 MUBADALAH.ID