• Login
  • Register
Senin, 19 Mei 2025
Keadilan dan Kesetaraan Gender - Mubadalah
Dukung kami dengan donasi melalui
Bank Syariah Indonesia 7004-0536-58
a.n. Yayasan Fahmina
  • Home
  • Aktual
  • Kolom
  • Khazanah
  • Rujukan
  • Tokoh
  • Monumen
  • Zawiyah
  • Kolom Buya Husein
No Result
View All Result
Keadilan dan Kesetaraan Gender - Mubadalah
  • Home
  • Aktual
  • Kolom
  • Khazanah
  • Rujukan
  • Tokoh
  • Monumen
  • Zawiyah
  • Kolom Buya Husein
Keadilan dan Kesetaraan Gender - Mubadalah
No Result
View All Result
Home Kolom Personal

Menanti Hasil Fatwa KUPI dan Kokohnya Bangunan Epistemologi Part I

Kita tahu sejak awal dalam Kongres Ulama Perempuan Indonesia (KUPI) pilihan prioritas kajian atau fatwa selalu kita diskusikan. Pada KUPI I di Pesantren Kebon Jambu, Cirebon, 2017, pilihan prioritas itu adalah pada isu kekerasan seksual, pernikahan anak, dan krisis ekologi

Hafidzoh Almawaliy Ruslan Hafidzoh Almawaliy Ruslan
19/01/2023
in Personal
1
Hasil Fatwa KUPI

Hasil Fatwa KUPI

663
VIEWS
Share on FacebookShare on TwitterShare on Whatsapp

Mubadalah.id – Sebelum menulis sebagai refleksi “Menanti Hasil Fatwa KUPI dan Kokohnya Bangunan Epistemologi”,, sebetulnya saya telah mengutarakan kegelisahan ini kepada salah satu guru otoritatif yang amat mencintai gerakan ulama perempuan Indonesia. Tanpa kurangi rasa hormat dan bangga saya pada gerakan, maafkan bila saya tidak sebutkan nama.

Saat itu saya katakan kepada beliau : “Guru, saya ingin menulis tentang refleksi dari KUPI 2 yang saya ikuti”.

Jawaban yang singkat dari beliau dan beri semangat : “Bagus sekali”.

“Tapi saya ragu dan khawatir tesis yang saya bangun nanti tidak sesuai dengan arus utama. Terutama terkait dinamika gerakan dalam respon beberapa isu, seperti poligami, (atau) khitan perempuan. Terasa tidak seperti dulu ketika gerakan masih dikelilingi (dijalankan) para guru sepuh. Hari ini respon itu cenderung ‘tidak tegas’ mengambil hukum. Atau seperti apa? Mohon saran (nasehat) Guru”. Pinta saya.

“Hehe. Harus berani, dengan cara yang santun. Misalnya ‘sebaiknya tidak poligami’. Atau ‘khitan perempuan untuk apa?’ Dan argumentatif”. Tuntun beliau.

Baca Juga:

Rieke Diah Pitaloka Soroti Krisis Bangsa dan Serukan Kebangkitan Ulama Perempuan dari Cirebon

Nyai Nur Channah: Ulama Wali Ma’rifatullah

Rieke Diah Pitaloka: Bulan Mei Tonggak Kebangkitan Ulama Perempuan Indonesia

KUPI Dorong Masyarakat Dokumentasikan dan Narasikan Peran Ulama Perempuan di Akar Rumput

Prioritas Isu Perempuan

Kita tahu sejak awal dalam Kongres Ulama Perempuan Indonesia (KUPI) pilihan prioritas kajian atau fatwa selalu kita diskusikan. Pada KUPI I di Pesantren Kebon Jambu, Cirebon, 2017, pilihan prioritas itu adalah pada isu kekerasan seksual, pernikahan anak, dan krisis ekologi.

Dua isu pertama tersebut berhasil turut mendorong diundangkannya UU No. 12 Tahun 2022 tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (TPKS); Serta ditetapkannya usia minimal perkawinan perempuan dan laki-laki menjadi sama, 19 tahun melaui UU No. 16 Tahun 2019 tentang Perubahan atas UU No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan.

Namun demikian terkait aturan usia minimal perkawinan sendiri masih kerap terganjal praktik dispensasi perkawinan yang memang diatur juga dalam UU. Akibatnya, Indonesia masih masuk peringkat ke-10 jumlah perkawinan anak tertinggi di dunia dengan angka 1.220.900 anak yang lakukan perkawinan dini.

Selanjutnya pada KUPI II sendiri yang baru saja usai akhir November 2022 lalu, di Ponpes Hasyim Asy’ari, Bangsri Jepara, ada 5 isu prioritas. Pertama, isu peminggiran perempuan dalam menjaga NKRI dari bahaya kekerasan atas nama agama (ekstremisme); Kedua, pengelolaan sampah untuk keberlanjutan lingkungan hidup dan keselamatan perempuan (ekologi).

Ketiga, perlindungan perempuan dari bahaya pemaksaan perkawinan (kawin paksa); Keempat, perlindungan jiwa perempuan dari bahaya kehamilan akibat perkosaan; Kelima, perlindungan perempuan dari bahaya Pemotongan, Pelukaan Genitalia Perempuan (P2GP) tanpa alasan medis (khitan perempuan).

Dinamika Gerakan Ulama Perempuan

Sampai di sini saya mengerti. Tetapi saya tetap tidak bisa berhenti bertanya mengapa poligami tidak kunjung jadi isu prioritas KUPI? Apakah karena sangat sensitif? Atau bagaimana? Sementara isu-isu lain yang saling terkait dan mendesak seperti ekstremisme, kawin anak, atau mungkin juga khitan perempuan, telah masuk dalam pembahasan sikap dan pandangan keagamaan. Bahkan ‘ekologi’ sendiri masuk sebagai isu prioritas pada KUPI I dan II sekaligus.

Di sinilah saya merasa menangkap dinamika yang berbeda dari gerakan ulama perempuan hari ini dengan masa para guru-guru sepuh. Karena meskipun mungkin hari ini tantangannya besar. Namun peluang yang dimiliki juga jauh lebih terbuka ketimbang masa lampau.

Hari ini kita diuntungkan dengan besarnya modal sosial, politik, maupun kultural yang dimiliki gerakan; Juga luasnya jaringan yang kita jangkau hingga dunia muslim global. Namun KUPI masih terkesan parsial dalam menyelesaikan persoalan perempuan. Bukankah isu-isu perempuan itu sebetulnya sangat kompleks? Rasanya sulit mengambil satu-satu isu, meninggalkan isu (prioritas) lainnya. Sedang kita tahu, isu-isu itu telah lama jadi perjuangan gerakan juga.

Warisan Spirit Para Guru Sepuh

Dalam dinamikanya, misalnya penentangan Raden Adjeng Kartini (1879-1904) terhadap poligami memang sering timbulkan penilaian sebagai selemah-lemahnya iman. Karena akhirnya Kartini tetap ‘kalah’ dengan kenyataan. Ia menikah tanpa kehendak pilihan yang lahir dari dalam diri sendiri, menjalani poligami.

Namun beruntungnya RA. Kartini tetap bersuara kencang. Dalam surat-suratnya hampir semua berisi penuh kegundahan. Tak jarang bahkan kemarahan pun ia tumpahkan lewat surat itu kepada para sahabat, dan mungkin juga gurunya, KH. Muhammad Sholeh bin Umar Assamarani atau Mbah Sholeh Darat (1820-1903).

Kepada Stella Zeehandelaar, sahabatnya asal Belanda, tertanggal 6 November 1899, Kartini berkata :

“Akan agama Islam melarang umatnya mempercakapkannya dengan umat agama lain. Lagi pula sebenarnya agamaku agama Islam, hanya karena nenek moyangku beragama Islam. Manakah boleh aku cinta akan agamaku, kalau aku tiada kenal, tiada boleh aku mengenalnya”.

“Benarkah agama itu restu bagi manusia? Tanyaku kerap kali kepada diriku sendiri, dengan bimbang hati. Agama harus menjaga kita daripada berbuat dosa. Tetapi beberapa banyaknya dosa diperbuat orang atas nama agama itu.”

Suara kencang RA. Kartini bukanlah tidak berarti apa-apa. Semua jadi pembuka jalan bagi perjuangan perempuan Indonesia, untuk hanya menjadi manusia hamba Tuhan saja, yang menggunakan nalar merdeka untuk kritik berbagai ketimpangan; Termasuk poligami, kawin paksa, kawin anak, atau bentuk-bentuk feodalisme lain yang hendak mensubordinat dan merugikan kaum perempuan.

Ulama Perempuan Tegas Menolak Kawin Paksa dan Poligami

Para guru yang lahir kemudian, seperti Syeikhah Hajjah Rangkayo Rahmah El Yunusiah (1900-1969) dan Hajjah Rangkayo Rasuna Said (1910-1965), juga mengikuti dan makin menguatkan keyakinan Kartini. Dengan tegas kedua ulama perempuan asal Sumatra ini menolak poligami.

Rasuna Said bahkan tak segan mengatakan poligami adalah bentuk kekerasan terhadap perempuan. Karenanya praktik poligami (menurutnya) tegas haram hukumnya. Semua itu ia perjuangkan bukan tanpa melewati pengalaman pahit. Rasuna adalah korban perjodohan yang menolak kawin paksa, sekaligus juga korban cerai dalam rumah tangganya sendiri. Belakangan itu diindikasikan sebagai perlawanan terhadap poligami. Ia lebih baik memilih bercerai, dan melepaskan suaminya hidup bahagia dengan pasangan yang lain.

Dalam konteks kekerasan yang demikian, yang masih banyak dialami kaum perempuan hingga hari ini. Rasanya semua isu itu, tidak terkecuali poligami, bisa jadi prioritas dan peroleh putusan hukum tegas dalam sikap dan pandangan keagamaan KUPI. Poligami sendiri misalnya, bisa diputus mendesak dengan bahasa “sebaiknya tidak dipraktikkan” lagi hari ini.

Bukankah pengalaman dan pengetahuan perempuan itu jadi salah satu basis kuat rumusan hasil fatwa KUPI? Selain juga berbagai pijakan dasar Al Qur’an, Hadis, Ijma’, Qiyas, maupun dasar Fikih Ushuli, seperti dar’ul mafasid muqaddamun ‘ala jalbil mashalih ataupun konsep maslahah mursalah. Karenanya menghindari kerusakan dan bahaya dari praktik semua itu, harus lebih kita dahulukan ketimbang berusaha meraih kebaikan-kebaikan yang belum tentu, atau bahkan tak dapat kita peroleh sama sekali. (bersambung)

 

Tags: EpistemologiFatwa KUPIHasil KUPI IIKupipengetahuanulama perempuan
Hafidzoh Almawaliy Ruslan

Hafidzoh Almawaliy Ruslan

Ibu dua putri, menyukai isu perempuan dan anak, sosial, politik, tasawuf juga teologi agama-agama

Terkait Posts

Inspirational Porn

Stop Inspirational Porn kepada Disabilitas!

19 Mei 2025
Kehamilan Tak Diinginkan

Perempuan, Kehamilan Tak Diinginkan, dan Kekejaman Sosial

18 Mei 2025
Noble Silence

Menilik Relasi Al-Qur’an dengan Noble Silence pada Ayat-Ayat Shirah Nabawiyah (Part 1)

17 Mei 2025
Suami Pengangguran

Suami Pengangguran, Istri dan 11 Anak Jadi Korban

16 Mei 2025
Keadilan Semu

Membuka Tabir Keadilan Semu: Seruan Islam untuk Menegakkan Keadilan

15 Mei 2025
Memahami Disabilitas

Memahami Disabilitas: Lebih Dari Sekadar Tubuh

14 Mei 2025
Please login to join discussion
No Result
View All Result

TERPOPULER

  • Kekerasan Seksual Sedarah

    Menolak Sunyi: Kekerasan Seksual Sedarah dan Tanggung Jawab Kita Bersama

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Rieke Diah Pitaloka: Bulan Mei Tonggak Kebangkitan Ulama Perempuan Indonesia

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • KUPI Resmi Deklarasikan Mei sebagai Bulan Kebangkitan Ulama Perempuan Indonesia

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Nyai Nur Channah: Ulama Wali Ma’rifatullah

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Memanusiakan Manusia Dengan Bersyukur dalam Pandangan Imam Fakhrur Razi

    0 shares
    Share 0 Tweet 0

TERBARU

  • Rieke Diah Pitaloka Soroti Krisis Bangsa dan Serukan Kebangkitan Ulama Perempuan dari Cirebon
  • Nyai Nur Channah: Ulama Wali Ma’rifatullah
  • Rieke Diah Pitaloka: Bulan Mei Tonggak Kebangkitan Ulama Perempuan Indonesia
  • Menolak Sunyi: Kekerasan Seksual Sedarah dan Tanggung Jawab Kita Bersama
  • KUPI Dorong Masyarakat Dokumentasikan dan Narasikan Peran Ulama Perempuan di Akar Rumput

Komentar Terbaru

  • Asma binti Hamad dan Hilangnya Harapan Hidup pada Mengapa Tuhan Tak Bergeming dalam Pembantaian di Palestina?
  • Usaha, Privilege, dan Kehendak Tuhan pada Mengenalkan Palestina pada Anak
  • Salsabila Septi pada Memaknai Perjalanan Hidup di Usia 25 tahun; Antara Kegagalan, Kesalahan dan Optimisme
  • Zahra Amin pada Perbincangan Soal Jilbab
  • Nolimits313 pada Perbincangan Soal Jilbab
  • Tentang
  • Redaksi
  • Kontributor
  • Kirim Tulisan
Kontak kami:
[email protected]

© 2023 MUBADALAH.ID

Selamat Datang!

Login to your account below

Forgotten Password? Sign Up

Create New Account!

Fill the forms bellow to register

All fields are required. Log In

Retrieve your password

Please enter your username or email address to reset your password.

Log In

Add New Playlist

No Result
View All Result
  • Home
  • Aktual
  • Kolom
  • Khazanah
  • Rujukan
  • Tokoh
  • Monumen
  • Zawiyah
  • Kolom Buya Husein
  • Login
  • Sign Up

© 2023 MUBADALAH.ID

Go to mobile version