• Login
  • Register
Rabu, 2 Juli 2025
Keadilan dan Kesetaraan Gender - Mubadalah
Dukung kami dengan donasi melalui
Bank Syariah Indonesia 7004-0536-58
a.n. Yayasan Fahmina
  • Home
  • Aktual
  • Kolom
  • Khazanah
  • Rujukan
  • Tokoh
  • Monumen
  • Zawiyah
  • Kolom Buya Husein
No Result
View All Result
Keadilan dan Kesetaraan Gender - Mubadalah
  • Home
  • Aktual
  • Kolom
  • Khazanah
  • Rujukan
  • Tokoh
  • Monumen
  • Zawiyah
  • Kolom Buya Husein
Keadilan dan Kesetaraan Gender - Mubadalah
No Result
View All Result
Home Kolom Personal

Menanti Hasil Fatwa KUPI dan Kokohnya Bangunan Epistemologi Part I

Kita tahu sejak awal dalam Kongres Ulama Perempuan Indonesia (KUPI) pilihan prioritas kajian atau fatwa selalu kita diskusikan. Pada KUPI I di Pesantren Kebon Jambu, Cirebon, 2017, pilihan prioritas itu adalah pada isu kekerasan seksual, pernikahan anak, dan krisis ekologi

Hafidzoh Almawaliy Ruslan Hafidzoh Almawaliy Ruslan
19/01/2023
in Personal
1
Hasil Fatwa KUPI

Hasil Fatwa KUPI

663
VIEWS
Share on FacebookShare on TwitterShare on Whatsapp

Mubadalah.id – Sebelum menulis sebagai refleksi “Menanti Hasil Fatwa KUPI dan Kokohnya Bangunan Epistemologi”,, sebetulnya saya telah mengutarakan kegelisahan ini kepada salah satu guru otoritatif yang amat mencintai gerakan ulama perempuan Indonesia. Tanpa kurangi rasa hormat dan bangga saya pada gerakan, maafkan bila saya tidak sebutkan nama.

Saat itu saya katakan kepada beliau : “Guru, saya ingin menulis tentang refleksi dari KUPI 2 yang saya ikuti”.

Jawaban yang singkat dari beliau dan beri semangat : “Bagus sekali”.

“Tapi saya ragu dan khawatir tesis yang saya bangun nanti tidak sesuai dengan arus utama. Terutama terkait dinamika gerakan dalam respon beberapa isu, seperti poligami, (atau) khitan perempuan. Terasa tidak seperti dulu ketika gerakan masih dikelilingi (dijalankan) para guru sepuh. Hari ini respon itu cenderung ‘tidak tegas’ mengambil hukum. Atau seperti apa? Mohon saran (nasehat) Guru”. Pinta saya.

“Hehe. Harus berani, dengan cara yang santun. Misalnya ‘sebaiknya tidak poligami’. Atau ‘khitan perempuan untuk apa?’ Dan argumentatif”. Tuntun beliau.

Baca Juga:

Menilik Peran KUPI Muda dalam Momen Kebangkitan Ulama Perempuan Indonesia

Pesan Nyai Alissa Wahid di Bulan Kebangkitan Ulama Perempuan Indonesia

Bulan Kebangkitan Ulama Perempuan Indonesia: Tegaskan Eksistensi Keulamaan Perempuan

Bulan Kebangkitan: Menegaskan Realitas Sejarah Ulama Perempuan Indonesia

Prioritas Isu Perempuan

Kita tahu sejak awal dalam Kongres Ulama Perempuan Indonesia (KUPI) pilihan prioritas kajian atau fatwa selalu kita diskusikan. Pada KUPI I di Pesantren Kebon Jambu, Cirebon, 2017, pilihan prioritas itu adalah pada isu kekerasan seksual, pernikahan anak, dan krisis ekologi.

Dua isu pertama tersebut berhasil turut mendorong diundangkannya UU No. 12 Tahun 2022 tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (TPKS); Serta ditetapkannya usia minimal perkawinan perempuan dan laki-laki menjadi sama, 19 tahun melaui UU No. 16 Tahun 2019 tentang Perubahan atas UU No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan.

Namun demikian terkait aturan usia minimal perkawinan sendiri masih kerap terganjal praktik dispensasi perkawinan yang memang diatur juga dalam UU. Akibatnya, Indonesia masih masuk peringkat ke-10 jumlah perkawinan anak tertinggi di dunia dengan angka 1.220.900 anak yang lakukan perkawinan dini.

Selanjutnya pada KUPI II sendiri yang baru saja usai akhir November 2022 lalu, di Ponpes Hasyim Asy’ari, Bangsri Jepara, ada 5 isu prioritas. Pertama, isu peminggiran perempuan dalam menjaga NKRI dari bahaya kekerasan atas nama agama (ekstremisme); Kedua, pengelolaan sampah untuk keberlanjutan lingkungan hidup dan keselamatan perempuan (ekologi).

Ketiga, perlindungan perempuan dari bahaya pemaksaan perkawinan (kawin paksa); Keempat, perlindungan jiwa perempuan dari bahaya kehamilan akibat perkosaan; Kelima, perlindungan perempuan dari bahaya Pemotongan, Pelukaan Genitalia Perempuan (P2GP) tanpa alasan medis (khitan perempuan).

Dinamika Gerakan Ulama Perempuan

Sampai di sini saya mengerti. Tetapi saya tetap tidak bisa berhenti bertanya mengapa poligami tidak kunjung jadi isu prioritas KUPI? Apakah karena sangat sensitif? Atau bagaimana? Sementara isu-isu lain yang saling terkait dan mendesak seperti ekstremisme, kawin anak, atau mungkin juga khitan perempuan, telah masuk dalam pembahasan sikap dan pandangan keagamaan. Bahkan ‘ekologi’ sendiri masuk sebagai isu prioritas pada KUPI I dan II sekaligus.

Di sinilah saya merasa menangkap dinamika yang berbeda dari gerakan ulama perempuan hari ini dengan masa para guru-guru sepuh. Karena meskipun mungkin hari ini tantangannya besar. Namun peluang yang dimiliki juga jauh lebih terbuka ketimbang masa lampau.

Hari ini kita diuntungkan dengan besarnya modal sosial, politik, maupun kultural yang dimiliki gerakan; Juga luasnya jaringan yang kita jangkau hingga dunia muslim global. Namun KUPI masih terkesan parsial dalam menyelesaikan persoalan perempuan. Bukankah isu-isu perempuan itu sebetulnya sangat kompleks? Rasanya sulit mengambil satu-satu isu, meninggalkan isu (prioritas) lainnya. Sedang kita tahu, isu-isu itu telah lama jadi perjuangan gerakan juga.

Warisan Spirit Para Guru Sepuh

Dalam dinamikanya, misalnya penentangan Raden Adjeng Kartini (1879-1904) terhadap poligami memang sering timbulkan penilaian sebagai selemah-lemahnya iman. Karena akhirnya Kartini tetap ‘kalah’ dengan kenyataan. Ia menikah tanpa kehendak pilihan yang lahir dari dalam diri sendiri, menjalani poligami.

Namun beruntungnya RA. Kartini tetap bersuara kencang. Dalam surat-suratnya hampir semua berisi penuh kegundahan. Tak jarang bahkan kemarahan pun ia tumpahkan lewat surat itu kepada para sahabat, dan mungkin juga gurunya, KH. Muhammad Sholeh bin Umar Assamarani atau Mbah Sholeh Darat (1820-1903).

Kepada Stella Zeehandelaar, sahabatnya asal Belanda, tertanggal 6 November 1899, Kartini berkata :

“Akan agama Islam melarang umatnya mempercakapkannya dengan umat agama lain. Lagi pula sebenarnya agamaku agama Islam, hanya karena nenek moyangku beragama Islam. Manakah boleh aku cinta akan agamaku, kalau aku tiada kenal, tiada boleh aku mengenalnya”.

“Benarkah agama itu restu bagi manusia? Tanyaku kerap kali kepada diriku sendiri, dengan bimbang hati. Agama harus menjaga kita daripada berbuat dosa. Tetapi beberapa banyaknya dosa diperbuat orang atas nama agama itu.”

Suara kencang RA. Kartini bukanlah tidak berarti apa-apa. Semua jadi pembuka jalan bagi perjuangan perempuan Indonesia, untuk hanya menjadi manusia hamba Tuhan saja, yang menggunakan nalar merdeka untuk kritik berbagai ketimpangan; Termasuk poligami, kawin paksa, kawin anak, atau bentuk-bentuk feodalisme lain yang hendak mensubordinat dan merugikan kaum perempuan.

Ulama Perempuan Tegas Menolak Kawin Paksa dan Poligami

Para guru yang lahir kemudian, seperti Syeikhah Hajjah Rangkayo Rahmah El Yunusiah (1900-1969) dan Hajjah Rangkayo Rasuna Said (1910-1965), juga mengikuti dan makin menguatkan keyakinan Kartini. Dengan tegas kedua ulama perempuan asal Sumatra ini menolak poligami.

Rasuna Said bahkan tak segan mengatakan poligami adalah bentuk kekerasan terhadap perempuan. Karenanya praktik poligami (menurutnya) tegas haram hukumnya. Semua itu ia perjuangkan bukan tanpa melewati pengalaman pahit. Rasuna adalah korban perjodohan yang menolak kawin paksa, sekaligus juga korban cerai dalam rumah tangganya sendiri. Belakangan itu diindikasikan sebagai perlawanan terhadap poligami. Ia lebih baik memilih bercerai, dan melepaskan suaminya hidup bahagia dengan pasangan yang lain.

Dalam konteks kekerasan yang demikian, yang masih banyak dialami kaum perempuan hingga hari ini. Rasanya semua isu itu, tidak terkecuali poligami, bisa jadi prioritas dan peroleh putusan hukum tegas dalam sikap dan pandangan keagamaan KUPI. Poligami sendiri misalnya, bisa diputus mendesak dengan bahasa “sebaiknya tidak dipraktikkan” lagi hari ini.

Bukankah pengalaman dan pengetahuan perempuan itu jadi salah satu basis kuat rumusan hasil fatwa KUPI? Selain juga berbagai pijakan dasar Al Qur’an, Hadis, Ijma’, Qiyas, maupun dasar Fikih Ushuli, seperti dar’ul mafasid muqaddamun ‘ala jalbil mashalih ataupun konsep maslahah mursalah. Karenanya menghindari kerusakan dan bahaya dari praktik semua itu, harus lebih kita dahulukan ketimbang berusaha meraih kebaikan-kebaikan yang belum tentu, atau bahkan tak dapat kita peroleh sama sekali. (bersambung)

 

Tags: EpistemologiFatwa KUPIHasil KUPI IIKupipengetahuanulama perempuan
Hafidzoh Almawaliy Ruslan

Hafidzoh Almawaliy Ruslan

Ibu dua putri, menyukai isu perempuan dan anak, sosial, politik, tasawuf juga teologi agama-agama

Terkait Posts

Vasektomi

Vasektomi, Gender, dan Otonomi Tubuh: Siapa yang Bertanggung Jawab atas Kelahiran?

2 Juli 2025
Narasi Pernikahan

Pergeseran Narasi Pernikahan di Kalangan Perempuan

1 Juli 2025
Toxic Positivity

Melampaui Toxic Positivity, Merawat Diri dengan Realistis Ala Judith Herman

30 Juni 2025
Second Choice

Women as The Second Choice: Perempuan Sebagai Subyek Utuh, Mengapa Hanya Menjadi Opsi?

30 Juni 2025
Tradisi Ngamplop

Tradisi Ngamplop dalam Pernikahan: Jangan Sampai Menjadi Beban Sosial

29 Juni 2025
Humor Seksis

Tawa yang Menyakiti; Diskriminasi Gender Di Balik Humor Seksis

26 Juni 2025
Please login to join discussion
No Result
View All Result

TERPOPULER

  • Anak Difabel

    Di Balik Senyuman Orang Tua Anak Difabel: Melawan Stigma yang Tak Tampak

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Meninjau Ulang Amar Ma’ruf, Nahi Munkar: Agar Tidak Jadi Alat Kekerasan

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Gaji Pejabat vs Kesejahteraan Kaum Alit, Mana yang Lebih Penting?

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Pergeseran Narasi Pernikahan di Kalangan Perempuan

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Mewujudkan Fikih yang Memanusiakan

    0 shares
    Share 0 Tweet 0

TERBARU

  • Demianus si ‘Manusia Pembalut’ dan Perlawanan terhadap Tabu Menstruasi
  • Vasektomi, Gender, dan Otonomi Tubuh: Siapa yang Bertanggung Jawab atas Kelahiran?
  • Perceraian dalam Fikih: Sah untuk Laki-Laki, Berat untuk Perempuan
  • Gaji Pejabat vs Kesejahteraan Kaum Alit, Mana yang Lebih Penting?
  • Fikih yang Kerap Merugikan Perempuan

Komentar Terbaru

  • Asma binti Hamad dan Hilangnya Harapan Hidup pada Mengapa Tuhan Tak Bergeming dalam Pembantaian di Palestina?
  • Usaha, Privilege, dan Kehendak Tuhan pada Mengenalkan Palestina pada Anak
  • Salsabila Septi pada Memaknai Perjalanan Hidup di Usia 25 tahun; Antara Kegagalan, Kesalahan dan Optimisme
  • Zahra Amin pada Perbincangan Soal Jilbab
  • Nolimits313 pada Perbincangan Soal Jilbab
  • Tentang
  • Redaksi
  • Kontributor
  • Kirim Tulisan
Kontak kami:
redaksi@mubadalah.id

© 2023 MUBADALAH.ID

Selamat Datang!

Login to your account below

Forgotten Password? Sign Up

Create New Account!

Fill the forms bellow to register

All fields are required. Log In

Retrieve your password

Please enter your username or email address to reset your password.

Log In

Add New Playlist

No Result
View All Result
  • Home
  • Aktual
  • Kolom
  • Khazanah
  • Rujukan
  • Tokoh
  • Monumen
  • Zawiyah
  • Kolom Buya Husein
  • Login
  • Sign Up

© 2023 MUBADALAH.ID