Dalam menentukan batasan aurat perempuan itu, Kiai Husein menjelaskan, yang diperlukan adalah mekanisme tertentu yang akomodatif dan responsif terhadap segala nilai yang berkembang di masyarakat.
Mubadalah.id – Beberapa waktu lalu, saya pernah membagikan flyer kegiatan tentang “Bincang Buku” yang berjudul “Aku Lupa bahwa Aku Perempuan” di story WhatsApp.
Tidak lama setelah membagikan flyer itu, tiba-tiba seorang santri teman pondok di kampung halaman di Garut, mengomentari story tersebut. Ia mengatakan:
“Teh itu temannya, kok pakai kerudungnya nggak benar. Auratnya kelihatan lho. Perempuan berjilbab kok seperti itu. Kelihatan rambutnya dosa lho. Coba teteh ingatkan lagi ya, supaya tutup auratnya.”
Setelah menerima komentar itu, perasaan saya agak kesal, karena menurut saya, orang kok senangnya mengurusi hidup orang lain. Sampai persoalan aurat pun ikut ia urusin.
Dia nggak mikir gitu, yang harus ia pikirkan adalah hidupnya sendiri. Apakah hidupnya sudah baik atau benar belum. Jangan-jangan, dirinya yang gemar menebar aurat di muka umum.
Pandangan KH. Husein Muhammad
Dalam persoalan batasan aurat perempuan, sebetulnya saya tertarik dengan pemikiran KH. Husein Muhammad.
Dalam buku Fiqh Perempuan, Kiai Husein mendefinisikan batasan aurat perempuan ditentukan oleh pertimbangan-pertimbangan kemanusiaan dalam segala aspek.
Untuk itu, dalam menentukan batasan aurat perempuan itu, Kiai Husein menjelaskan, yang diperlukan adalah mekanisme tertentu yang akomodatif dan responsif terhadap segala nilai yang berkembang di masyarakat. Sehingga dalam tingkat tertentu batasan itu bisa diterima oleh sebagian besar komponen masyarakat.
Nah, foto perempuan yang saya share dalam flyer tersebut, saya kira sangat mengikuti perkembangan model trend di masyarakat. Bahkan sebagian orang tidak mempermasalahkan terkait foto tersebut.
Saya kok jadi heran, hanya sebatas foto, kok dipermasalahkan. Jangan-jangan yang bermasalah adalah otaknya. Saya jadi curiga, yang ada di dalam isi otaknya adalah pikiran kotornya.
Bahkan, jika merujuk pandangan sebagian ulama fiqh terkait batasan aurat perempuan, maka yang harus menjadi pertimbangan adalah khauf al-fitnah (takut akan terjadinya fitnah).
Pertimbangan tersebut, menurut saya, tentu saja agar tubuh manusia tidak bisa mereka eksploitasi untuk kepentingan-kepentingan rendah dan murahan.
Karena dalam praktiknya, para perempuan kerapkali menjadi objek dari kepentingan rendah dan murahan ini.
Para perempuan jangankan soal rambutnya, tubuh perempuan itu, bagi sebagian orang adalah aurat. Akibatnya, para perempuan kerapkali tidak boleh untuk keluar rumah. Kalau pun keluar rumah harus bersama mahramnya.
Kritikan Syekh al-Ghazali
Terkait pelarang perempuan keluar rumah hanya karena tubuhnya aurat ini, pernah Syekh al-Ghazali berikan kritikan tajam.
Ulama kharismatik al-Azhar dari Mesir ini sangat menyayangkan banyak pencermah di negaranya yang melarang mutlak perempuan keluar rumah.
Dalam ceramah mereka, yang disayangkan Syekh al-Ghazali adalah perempuan hanya boleh keluar dari rahim ibunya, dari rumah orang tuanya ke rumah suaminya, dari rumah suaminya ke liang lahat. Sisanya, perempuan adalah aurat yang harus tinggal di dalam rumah saja.
Tentu saja, praktik tersebut sangat tidak sejalan dalam praktik ajaran Islam. Di dalam ajaran Islam menyebutkan bahwa perempuan adalah manusia utuh yang berhak atas segala manfaat dari seluruh kehidupan di muka bumi.
Termasuk berhak melakukan amar ma’ruf nahi mungkar, shalat berjamaah di masjid, bekerja, menjadi tokoh, ulama, bahkan seluruh aktivitas sosial. Sehingga pandangan yang menyebutkan bahwa tubuh perempuan adalah aurat sangat tidak termasuk bagian dari ajaran Islam.
Oleh karena itu, daripada kita terus menerus mengurusi kehidupan orang lain, termasuk soal aurat perempuan. Lebih baik mari kita perbaiki hidup kita untuk selalu berbuat baik, dan memberikan manfaat bagi seluruh umat manusia. []