• Login
  • Register
Rabu, 29 Maret 2023
Keadilan dan Kesetaraan Gender - Mubadalah
Dukung kami dengan donasi melalui
Bank Syariah Indonesia 7004-0536-58
a.n. Yayasan Fahmina
  • Home
  • Aktual
  • Kolom
  • Khazanah
  • Rujukan
  • Tokoh
  • Kolom Buya Husein
No Result
View All Result
Keadilan dan Kesetaraan Gender - Mubadalah
  • Home
  • Aktual
  • Kolom
  • Khazanah
  • Rujukan
  • Tokoh
  • Kolom Buya Husein
Keadilan dan Kesetaraan Gender - Mubadalah
No Result
View All Result
Home Kolom Personal

Mengapa Netizen Terlihat Religius Tapi Sering Marah dan Intoleran?

Wanda Roxanne Ratu Pricillia Wanda Roxanne Ratu Pricillia
07/03/2020
in Personal
0
134
VIEWS
Share on FacebookShare on TwitterShare on Whatsapp

“Mengapa secara fisik penampilan orang di Indonesia kini terlihat jauh lebih religius namun status di media sosial isinya umpatan? Bahkan ketika membicarakan agamanya sendiri, mereka menjadi individu yang defensif/kasar/menghakimi. Apa yang salah ya?”, cuit Maryssa Tunjung Sari di Twitter tahun 2018.

Kebetulan saya ikut berkomentar pada waktu itu karena saya juga mengalami hal yang sama. Ternyata suara Maryssa adalah suara banyak orang lainnya. Kondisi ini juga masih relevan dibicarakan tahun 2020. Sehingga ada istilah “netizen maha benar”, dengan segala ketegangan dalam media sosial maupun dalam kehidupan sehari-hari.

Mungkin kita sering menemui orang-orang semacam itu. Dan mungkin salah satunya ada di sekitar kita. Ada orang-orang yang beragama tapi kasar, menghakimi serta menebar amarah dan kebencian. Ada yang menjadikan media sosial sebagai media dakwah meskipun mereka juga baru mempelajari agama dengan lebih serius. Ada juga yang merasa bertanggungjawab untuk berdakwah dengan “maaf sekadar mengingatkan”, padahal yang diingatkan belum tentu benar (subjektif).

Kita bisa memandang fenomena ini melalui konsep religion salah satu tokoh Psikologi, yaitu Gordon Allport. Menurutnya, ada dua motivasi orang beragama yaitu orientasi ekstrinsik dan orientasi intrinsik yang dijelaskan dalam jurnal psikologi “Personal Religious Orientation and Prejudice”. John Swinton, peneliti psikologi, dalam bukunya “Spirituality and Mental Health Care” juga membagi orientasi beragama menjadi dua yaitu orientasi ekstrinsik dan intrinsik.

Menurut Donahue, agama ekstrinsik adalah agama kenyamanan dan norma sosial, sebuah pendekatan yang melayani diri sendiri yang berperan untuk menyesuaikan diri. Orientasi ekstrinsik menggunakan agama sebagai alat untuk bersosialisasi, mendapatkan keuntungan sosial, mendapatkan status di masyarakat, pembenaran atau justifikasi perilaku, keamanan diri, harga diri dan kepercayaan diri.

Daftar Isi

  • Baca Juga:
  • Islam Pada Awalnya Asing
  • Jalan Tengah Pengasuhan Anak
  • Imam Malik: Sosok yang Mengapresiasi Tradisi Lokal
  • Mengapa Menjadi Bapak Rumah Tangga Dianggap Rendah?

Baca Juga:

Islam Pada Awalnya Asing

Jalan Tengah Pengasuhan Anak

Imam Malik: Sosok yang Mengapresiasi Tradisi Lokal

Mengapa Menjadi Bapak Rumah Tangga Dianggap Rendah?

Dalam orientasi ekstrinsik, orang menjadikan agama sebagai satus yang terpisah dari identitasnya. Mereka menyembah Tuhan tapi tetap mempertahankan egonya. Mereka menggunakan agama ketika menggunakan baju keagamaan, berada di tempat ibadah dan perkumpulan sosial. Namun mereka memisahkan agama ketika sedang marah, berkata kasar, curang dalam bekerja, berbuat buruk pada orang lain, dan sebagainya.

Pada orientasi ini, mereka menjadi berprasangka terhadap hal-hal “diluar aku”. Disebutkan juga hal ini memungkinkan orang mengalami gangguan psikologis, seperti mereka menjadi gampang marah, suka menghakimi dan tidak damai perilakunya.

Jadi beragama masih “di luar” untuk dilihat orang lain. Dalam orientasi ekstrinsik ini, hubungannya masih horizontal/hablum minannas. Fokusnya masih pada area zahirriyah. Mereka cenderung menerima agama secara dogmatis, tanpa memikirkan secara kritis dan mendalam. Sehingga mereka hanya mengikuti ajaran yang mereka yakini sekalipun ada kesalahan dari cara mereka meyakininya.

Tidak heran jika ada orang-orang yang beragama dan merasa mampu untuk berdakwah, tapi dengan amarah, kebencian dan kata kasar. Mereka biasanya tidak dewasa dalam bersikap sehingga merasa paling benar dan ketika bertemu dengan mereka yang berbeda maka akan menyalahkan dan menghakimi. Jika ditelusuri, mereka hanya “membebek” dan menelan mentah-mentah kalimat ustadz yang menjadi panutan mereka.

Sedangkan religius intrinsik menurut Swinton adalah agama yang dipersepsikan sebagai kerangka makna yang memberi interpretasi makna dan pemahaman diri dan kehidupan bagi seseorang. Orang yang beragama secara intrinsik memperluas makna agama lebih dari sekadar ritual. Mereka menjadikan kehidupan mereka sebagai ibadah yang berpedoman pada agama. Pola makan, kehidupan rumah tangga, pekerjaan dan tujuan hidup dipengaruhi oleh agama.

Pada orientasi intrinsik, seorang hamba menjadi lebih matang. Orang memandang agama sebagai “comprehensive commitment” dan “driving integrating motive” yang digunakan sebagai panduan hidup. Religion as an end into itself. Jadi lebih berfokus pada makna, beragama tidak untuk mendapatkan penerimaan sosial.

Orang yang berorientasi intrinsik akan memikirkan agamanya dengan mendalam karena konsep diri yang menyatu dengan kepercayaannya. Ketika mendengar ujaran pemuka agama, mereka akan memikirkan dan mencari tahu lebih banyak tentang ayat dan konsep yang didengarnya. Baginya beragama tidak akan bertentangan dengan nilai kemanusiaan.

Fokus mereka pada bathiniah, bukan lagi simbol-simbol. Urusannya vertikal dan horizontal, hablum minallah dan hablum minannas. Agama sebagai rahmat bagi semesta alam yang tercermin dalam perilakunya yang penuh kasih sayang, kebaikan dan kedamaian.

Jadi, tidak heran jika kita menemukan orang-orang yang terlihat religius secara penampilan tapi tidak dewasa dalam emosi, terutama dalam hal-hal yang berkaitan dengan agama. Pada orientasi beragama manakah kita sekarang? []

Wanda Roxanne Ratu Pricillia

Wanda Roxanne Ratu Pricillia

Wanda Roxanne Ratu Pricillia adalah alumni Psikologi Universitas Airlangga dan alumni Kajian Gender Universitas Indonesia. Tertarik pada kajian gender, psikologi dan kesehatan mental. Merupakan inisiator kelas pengembangan diri @puzzlediri dan platform isu-isu gender @ceritakubi, serta bergabung dengan komunitas Puan Menulis.

Terkait Posts

Pengasuhan Anak

Jalan Tengah Pengasuhan Anak

28 Maret 2023
Sittin al-‘Adliyah

Kitab Sittin Al-‘Adliyah: Pentingnya Menjaga Kesehatan Mental

27 Maret 2023
Profil Gender

Profil Gender: Angka tak Bisa Dibiarkan Begitu Saja

27 Maret 2023
Target Ibadah Ramadan

3 Tips Jika Target Ibadah Ramadan Berhenti di Tengah Jalan

25 Maret 2023
Memilih Childfree

Salahkah Memilih Childfree?

24 Maret 2023
Rukhsah bagi Ibu Hamil dan Menyusui

Rukhsah bagi Ibu Hamil dan Menyusui Saat Ramadan

23 Maret 2023
Please login to join discussion
No Result
View All Result

TERPOPULER

  • Sittin al-‘Adliyah

    Kitab Sittin Al-‘Adliyah: Prinsip Kasih Sayang Itu Timbal Balik

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Mengapa Menjadi Bapak Rumah Tangga Dianggap Rendah?

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Menggali Nilai-nilai Tradisi di Bulan Ramadan yang Mulia

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Islam Pada Awalnya Asing

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Imam Malik: Sosok yang Mengapresiasi Tradisi Lokal

    0 shares
    Share 0 Tweet 0

TERBARU

  • Islam Pada Awalnya Asing
  • Jalan Tengah Pengasuhan Anak
  • Imam Malik: Sosok yang Mengapresiasi Tradisi Lokal
  • Mengapa Menjadi Bapak Rumah Tangga Dianggap Rendah?
  • Kitab Sittin Al-‘Adliyah: Prinsip Kasih Sayang Itu Timbal Balik

Komentar Terbaru

  • Profil Gender: Angka tak Bisa Dibiarkan Begitu Saja pada Pesan untuk Ibu dari Chimamanda
  • Perempuan Boleh Berolahraga, Bukan Cuma Laki-laki Kok! pada Laki-laki dan Perempuan Sama-sama Miliki Potensi Sumber Fitnah
  • Mangkuk Minum Nabi, Tumbler dan Alam pada Perspektif Mubadalah Menjadi Bagian Dari Kerja-kerja Kemaslahatan
  • Petasan, Kebahagiaan Semu yang Sering Membawa Petaka pada Maqashid Syari’ah Jadi Prinsip Ciptakan Kemaslahatan Manusia
  • Berbagi Pengalaman Ustazah Pondok: Pentingnya Komunikasi pada Belajar dari Peran Kiai dan Pondok Pesantren Yang Adil Gender
  • Tentang
  • Redaksi
  • Kontributor
  • Kirim Tulisan
Kontak kami:
[email protected]

© 2023 MUBADALAH.ID

No Result
View All Result
  • Home
  • Aktual
  • Kolom
  • Khazanah
  • Rujukan
  • Tokoh
  • Kolom Buya Husein
  • Login
  • Sign Up

© 2023 MUBADALAH.ID

Selamat Datang!

Login to your account below

Forgotten Password? Sign Up

Create New Account!

Fill the forms bellow to register

All fields are required. Log In

Retrieve your password

Please enter your username or email address to reset your password.

Log In

Add New Playlist