• Login
  • Register
Sabtu, 10 Mei 2025
Keadilan dan Kesetaraan Gender - Mubadalah
Dukung kami dengan donasi melalui
Bank Syariah Indonesia 7004-0536-58
a.n. Yayasan Fahmina
  • Home
  • Aktual
  • Kolom
  • Khazanah
  • Rujukan
  • Tokoh
  • Monumen
  • Zawiyah
  • Kolom Buya Husein
No Result
View All Result
Keadilan dan Kesetaraan Gender - Mubadalah
  • Home
  • Aktual
  • Kolom
  • Khazanah
  • Rujukan
  • Tokoh
  • Monumen
  • Zawiyah
  • Kolom Buya Husein
Keadilan dan Kesetaraan Gender - Mubadalah
No Result
View All Result
Home Kolom Publik

Mengasuh dengan Kekerasan? Menimbang Ulang Ide Barak Militer untuk Anak Nakal

Anak-anak bukan musuh negara. Mereka bukan ancaman yang harus "ditertibkan" dengan gaya militer.

Muhaimin Yasin Muhaimin Yasin
07/05/2025
in Publik, Rekomendasi
0
Barak Militer

Barak Militer

935
VIEWS
Share on FacebookShare on TwitterShare on Whatsapp

Mubadalah.id – Beberapa waktu lalu, Dedi Mulyadi kembali mencuri perhatian publik dengan gagasannya yang kontroversial, yaitu mengirim anak-anak yang ia anggap “nakal” ke barak militer untuk dibina selama enam bulan.

Dalam program ini, sebanyak 40 siswa yang terlibat dalam tawuran, bolos sekolah, hingga pelanggaran lain dikirim untuk “didisiplinkan” di lingkungan semi-militer. Gagasan ini memicu banyak perdebatan, baik dari kalangan pendidik, psikolog, hingga lembaga perlindungan anak.

Sebagai warga negara yang peduli dan tertarik dengan isu sosial, saya merasa perlu menyuarakan kekhawatiran. Apakah benar militerisasi adalah cara terbaik untuk menyelesaikan persoalan kenakalan remaja? Atau justru ini menunjukkan kemiskinan imajinasi kebijakan publik dalam menangani masalah anak?

Barak Militer Bukan Tempat Tumbuh Anak

Lingkungan militer diinisiasi untuk membentuk fisik dan mental tentara dewasa yang siap menghadapi tekanan, bukan untuk anak-anak yang sedang mencari jati diri. Menghadapkan remaja bermasalah pada pola hidup militer yang keras, penuh perintah dan hukuman, hanya akan mengubah bentuk kekerasan yang mungkin sudah mereka alami di rumah atau sekolah ke bentuk yang lebih dilegalkan secara sistemik.

Saya khawatir gagasan ini lahir dari logika yang keliru. Dengan menganggap bahwa disiplin bisa tertanamkan lewat ketakutan. Padahal, segala sesuatu yang kita tanam dari rasa takut hanya akan tumbuh menjadi kepatuhan palsu.

Anak mungkin akan “taat” untuk sementara, tetapi bukan karena mereka memahami nilai kedisiplinan, melainkan karena mereka takut kita hukum. Begitu tekanan kita hilangkan, perilaku lama bisa muncul kembali atau bahkan dengan intensitas yang lebih besar.

Baca Juga:

Mengirim Anak ke Barak Militer, Efektifkah?

Vasektomi untuk Bansos: Syariat, HAM, Gender hingga Relasi Kuasa

Tafsir Sosial Kemanusiaan: Vasektomi, Kemiskinan, dan Hak Tubuh

Film Pengepungan di Bukit Duri: Bagaimana Sistem Pendidikan Kita?

Kenakalan Anak Adalah Simptom, Bukan Akar Masalah

Penting untuk melihat kenakalan anak bukan sebagai kejahatan, melainkan sebagai sinyal adanya sesuatu yang tidak beres. Apakah mereka mengalami kekerasan di rumah? Terkucilkan di sekolah? Sedang berjuang dengan kesehatan mental mereka?

Karena bisa saja kenakalan anak ini, tidak lahir dari niat buruk, melainkan sering kali muncul sebagai bentuk protes atau ajakan kompromi yang tidak terdengar. Anak-anak yang kita anggap nakal mungkin sebenarnya sedang berusaha mencari perhatian. Mereka mengungkapkan rasa frustrasi, atau menunjukkan bahwa ada sesuatu dalam hidup mereka yang tidak sedang baik-baik saja.

Dengan alasan tersebut, menghukum mereka tanpa terlebih dahulu mencoba memahami latar belakang perilakunya hanya akan memperdalam luka yang mereka rasakan. Anak-anak tidak butuh hukuman yang keras. Akan tetapi mereka butuh kita pahami, kita dampingi, dan kita beri kesempatan untuk tumbuh dalam ruang yang memberi rasa aman.

Alternatif yang Lebih Manusiawi

Alih-alih mengirim mereka ke barak militer, mengapa kita tidak memperkuat sistem pendidikan karakter di sekolah? Kita bisa membangun ruang reflektif, konseling yang aktif, hingga pendekatan komunitas berbasis kearifan lokal.

Program seperti “restorative justice” dalam dunia pendidikan sudah terbukti berhasil di banyak negara, termasuk Finlandia dan Selandia Baru. Anak-anak kita beri ruang untuk memperbaiki kesalahan mereka lewat dialog, bukan hukuman.

Indonesia sendiri tidak kekurangan pendekatan semacam ini. Program seperti Sekolah Ramah Anak atau Jabar Masagi yang pernah berjalan di Jawa Barat justru patut kita kembangkan. Namun sayangnya, program seperti ini seringkali tenggelam oleh narasi “cepat dan keras” yang lebih atraktif secara politik, meski tak menjawab akar persoalan.

Kebijakan Populis dan Krisis Imajinasi

Saya melihat usulan Dedi Mulyadi ini sebagai bentuk populisme pendidikan. Ia memunculkan kesan seolah bertindak tegas. Padahal sesungguhnya tidak menyentuh inti masalah. Ini bukan hanya tentang disiplin, tetapi juga tentang cara negara memperlakukan anak sebagai warga negara muda yang memiliki hak untuk tumbuh dalam lingkungan yang aman dan mendidik.

Ketika seorang pemimpin mengandalkan solusi keras terhadap masalah anak, ini mencerminkan krisis imajinasi dalam kebijakan publik. Kita seolah kehilangan kemampuan untuk berpikir kreatif dan menyeluruh dalam menyelesaikan masalah sosial. Padahal, justru masa depan bangsa ditentukan oleh bagaimana kita mendidik anak-anak hari ini.

Penutup: Anak Bukan Musuh Negara

Saya ingin mengingatkan kita semua: anak-anak bukan musuh negara. Mereka bukan ancaman yang harus “ditertibkan” dengan gaya militer. Mereka adalah manusia muda yang sedang belajar memahami diri dan dunianya. Tugas kita sebagai orang dewasa adalah menjadi pembimbing, bukan penghukum.

Kita tentu tidak ingin menciptakan generasi yang disiplin karena trauma, patuh karena ketakutan, dan tertib karena terpaksa. Kita ingin generasi yang sadar, yang berempati, dan yang tumbuh dalam cinta serta pengertian.

Gagasan mengirim anak nakal ke barak militer adalah alarm bagi kita semua: sudah saatnya kita merumuskan ulang cara kita mendidik. Jangan lagi kita mengira bahwa keras adalah tegas, bahwa hukuman adalah pendidikan. Mari kita mulai dari mendengar anak-anak kita dengan sungguh-sungguh. []

Tags: Barak MiliterDedi MulyadiGubernur Jawa Baratkebijakanparentingpendidikan
Muhaimin Yasin

Muhaimin Yasin

Pegiat Kajian Keislaman dan Pendidikan. Tinggal di Lombok, Nusa Tenggara Barat.

Terkait Posts

Neng Dara Affiah

Islam Memuliakan Perempuan Belajar dari Pemikiran Neng Dara Affiah

10 Mei 2025
Vasektomi untuk Bansos

Vasektomi untuk Bansos: Syariat, HAM, Gender hingga Relasi Kuasa

9 Mei 2025
Vasektomi

Tafsir Sosial Kemanusiaan: Vasektomi, Kemiskinan, dan Hak Tubuh

8 Mei 2025
Jukir Difabel

Jukir Difabel Di-bully, Edukasi Inklusi Sekadar Ilusi?

6 Mei 2025
Budaya Seksisme

Budaya Seksisme: Akar Kekerasan Seksual yang Kerap Diabaikan

6 Mei 2025
Energi Terbarukan

Manusia Bukan Tuan Atas Bumi: Refleksi Penggunaan Energi Terbarukan dalam Perspektif Iman Katolik

6 Mei 2025
Please login to join discussion
No Result
View All Result

TERPOPULER

  • PRT

    Mengapa PRT Identik dengan Perempuan?

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Perempuan di Ruang Domestik: Warisan Budaya dan Tafsir Agama

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Perempuan Bukan Fitnah: Membongkar Paradoks Antara Tafsir Keagamaan dan Realitas Sosial

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Mengirim Anak ke Barak Militer, Efektifkah?

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Mengapa Waktu Berlalu Cepat dan Bagaimana Mengendalikannya?

    0 shares
    Share 0 Tweet 0

TERBARU

  • Merebut Tafsir: Membaca Kartini dalam Konteks Politik Etis
  • Perempuan Bekerja, Mengapa Tidak?
  • Islam Memuliakan Perempuan Belajar dari Pemikiran Neng Dara Affiah
  • Perempuan Bukan Fitnah: Membongkar Paradoks Antara Tafsir Keagamaan dan Realitas Sosial
  • Mengirim Anak ke Barak Militer, Efektifkah?

Komentar Terbaru

  • Asma binti Hamad dan Hilangnya Harapan Hidup pada Mengapa Tuhan Tak Bergeming dalam Pembantaian di Palestina?
  • Usaha, Privilege, dan Kehendak Tuhan pada Mengenalkan Palestina pada Anak
  • Salsabila Septi pada Memaknai Perjalanan Hidup di Usia 25 tahun; Antara Kegagalan, Kesalahan dan Optimisme
  • Zahra Amin pada Perbincangan Soal Jilbab
  • Nolimits313 pada Perbincangan Soal Jilbab
  • Tentang
  • Redaksi
  • Kontributor
  • Kirim Tulisan
Kontak kami:
[email protected]

© 2023 MUBADALAH.ID

Selamat Datang!

Login to your account below

Forgotten Password? Sign Up

Create New Account!

Fill the forms bellow to register

All fields are required. Log In

Retrieve your password

Please enter your username or email address to reset your password.

Log In

Add New Playlist

No Result
View All Result
  • Home
  • Aktual
  • Kolom
  • Khazanah
  • Rujukan
  • Tokoh
  • Monumen
  • Zawiyah
  • Kolom Buya Husein
  • Login
  • Sign Up

© 2023 MUBADALAH.ID

Go to mobile version