Mubadalah.id – Kita semua sudah mengetahui bahwa santri, pesantren, Kiai, dan Kitab Kuning merupakan satu rumpun yang saling terintegrasi. Kitab Kuning dipelajari oleh santri sebagai materi wajib kepada mereka selama di pesantren. Seperti Al-Qur’an, Hadits, Fiqih, Akhlak, dan lainnya dipelajari dengan kitab tersendiri. Melalui tulisan ini, kita akan membaca kembali sastra pesantren.
Membaca Sastra Pesantren: Pelajaran dari Kitab Kesusastraannya
Untuk memahami keilmuan dalam Kitab Kuning para santri juga belajar Kitab Kesusastraan atau yang dikenal dengan Ilmu Balaghah (Keilmuan yang membahas kebahasaan dan sastra). Di dalamnya membahas tentang tata bahasa Arab dan sastra Arab.
Membincang sastra pesantren, setiap kehidupan santri begitu dekat dengan kesusasteraan. Bagaimana tidak, bila setiap hari para santri merapalkan nazam dengan irama yang berciri khas. Dan bukankah nazam merupakan syi’ir-syi’ir karya sastra para Ulama terdahulu?
Artinya sastra dan santri sudah menjadi bagian khusus yang tidak memiliki sekat. Sastra pesantren sering dipahami sebagai karya sastra para Kiai dan santri di pesantren. Nyatanya, lebih luas lagi. Badrus Shaleh menyatakan dalam bukunya Sastrawan Santri, bahwa ada motif-motif tertentu lembaga pendidikan yang menjadikannya memiliki keterikatan khusus dengan aktivitas sastra, di antaranya motif bahasa, motif sastra, dan motif ilmu agama (Badrus Shaleh, 2020).
Lembaga pendidikan Islam seperti Pesantren, lambat laun mengalami perkembangan. Ada yang bercorak pesantren salaf dan juga modern. Masing-masing keduanya memiliki visi pengembangan ilmu pengetahuan agama supaya tersampaikan kepada santri dengan maksud yang tepat sebagaimana sumbernya.
Membaca Sastra Pesantren: Soal Genealogi dan Cara Pembelajarannya
Tradisi sastra pesantren berdasarkan rekam historisnya berlangsung berabad-abad lamanya. Apakah sejak zaman Nabi Muhammad? Bahkan jauh lebih lama lagi. Tradisi sastra di bangsa arab dapat ditemukan dari syi’ir-syi’iran, seperti syi’ir Abu Nawas, Imam Ibnu Arabi, Al-Farabi, dan lainnya. Santri banyak juga merapalkan nazam Alfiyah Ibnu Malik, nazam Al-Jurumiyyah, dan lainnya dari pagi hingga malam.
Selain itu, tidakkah kita mengetahui bahwa firman-firman Allah dalam Al-Qur’an merupakan sastra yang perlu kita pahami makna kandungannya dengan penuh kehati-hatian? Artinya Sastra dalam Islam merupakan metodologi dalam memahami keagamaan.
Santri di pesantren tradisional dianjurkan mempelajari Kitab Kuning. Suatu materi yang menjadi basis utama atau prasyarat menjadi seorang ‘santri’. Sebab tujuan didirikannya pesantren yakni mencetak pendakwah yang berkarakter. Maka wajib hukumnya bagi santri mempelajari Kitab Kuning (Kitab Klasik).
Santri menghafalkan Kitab Kuning dan mempelajarinya dengan ragam metode tertentu. Belajar langsung kepada Kiai atau Ustadz dengan tujuan keilmuan tersampaikan dengan tepat. Memahami kandungan makna Kitab Klasik bukan perkara mudah jika tidak imbangi dengan kemampuan berbahasa Arab. Oleh karena itu pesantren juga mengajarkan Bahasa Arab, Ilmu Balaghah, Nahwu, dan Shorof kepada santri.
Beberapa ilmu tersebut merupakan basis mempelajari ilmu agama Islam dengan menyeluruh. Di situ kita akan mengetahui sumber-sumber keotentikan makna kandungan Hadits sebagai bekal menjalani hidup. Sebelum para santri pulang ke tempat asal masing-masing, mereka wajib memiliki kemampuan baca kitab dan wawasan keilmuan yang memadai.
Dengan memperoleh pendidikan yang baik dan tepat, para santri yang kemudian pulang ke tempat asal dengan keadaan sudah berbekal pengetahuan. Harapannya adalah mereka dapat menyampaikan kebenaran kepada masyarakat, tentang baik buruk, hal-hal yang mubah dan yang tidak.
Membaca Sastra Pesantren: Tradisi di Nusantara
Dalam sejarah Nusantara, ditemukan pula banyak karya ulama terdahulu dalam beragam bahasa dan tulisan, semisal tulisan pegon. Sastra pesantren tidak hanya terbatas pada Kitab Kuning berbahasa Arab. Ulama di Indonesia contohnya banyak memiliki karya tulis dalam bentuk tulisan pegon, hanacaraka dan lainnya. Hal itu dimaksudkan untuk lebih memudahkan masyarakat Nusantara memahami hikmah ilmu agama non lisan.
Ahmad Baso juga menyetujui hal itu, bahwa banyak karya tulis para ulama ditulis sesuai bahasa daerah masing-masing, seperti Madura, Jawa, Lombok, dan lainnya. Hal itu untuk memudahkan masyarakat memahami ajaran agama Islam tanpa membaca kitab klasik yang notabene memiliki keilmuan khusus (Ahmad Baso, 2019).
Karya Ulama tersebut merupakan tradisi sastra yang kemudian diabadikan dalam bentuk tulisan, kemudian menjadi bahan bacaan sebagai tambahan wawasan. Karya merupakan hasil budaya, cipta rasa dan karsa manusia.
Tradisi sastra pesantren dengan kata lain dapat menjadi ciri khas santri. Salah satu contohnya pesantren Annuqayah Madura, yang identik dengan lumbung sastrawan santri. Dalam Kajian Badrus Shaleh menemukan bahwa Santri Pesantren Annuqayah memiliki keintiman dengan sastra. Bahkan nyaris tidak ada sekat antara keduanya. Hal itu pula dibuktikan dengan karya tulis para santri yang mayoritas puisi.
Hal itu sudah mewakili bahwa para santri menikmati sastra menjadi bagian hidupnya. Dalam Kajian hasil studi Herlina juga menyebutkan bahwa ketertarikan santri terhadap sastra dibuktikan dari hasil karya mereka, tahun 2019 ditemukan 87 karya puisi. Namun tentu masih banyak lainnya yang membutuhkan kajian lebih mendalam (Herlina, 2019).
Tradisi sastra pesantren membuat santri tumbuh dan memiliki skill atau kemampuan membaca, bahkan menulis karya sastra. Dengan begitu, perlu merawat tradisi ini supaya terus hidup di lingkungan pesantren. Tradisi sastra pesantren yang berkembang menumbuhkan banyak hal positif lainnya bagi santri. Sastra pesantren selain memberi ciri khas pada santri juga secara tidak langsung memberi ciri khas bagi pesantren. Banyaknya karya sastra mengindikasikan budaya dan lingkungan yang tepat untuk santri dalam berproses.
Secara tidak langsung, Pesantren yang awalnya berfungsi sebagai lembaga pendidikan tempat menanamkan keilmuan, ia juga merupakan tempat persemaian tradisi sastra pesantren. Merawat tradisi dari nenek moyang yang diturunkan dari generasi ke generasi. Hal itu untuk menyambung sanad keilmuan atau menjaga ketersambungan ikatan, bahwa tradisi sastra pernah masyhur di masanya dan berimplikasi positif jika terus dirawat. []