Mubadalah.id – Cinta, memberi kebahagiaan juga rasa sakit. Sebuah dendang mendukung arti demikian: “So, love me like there’s no tomorrow/ hold me in your arms, tell me you mean it/ this is our last goodbye/ and very soon it will be over/ but today just love me like there’s no tomorrow.””, gubahan Freddie Mercury berjudul Love me Like There’s No Tomorrow (1985).
Novel Kambing dan Hujan (2018) karya Mahfud Ikhwan, mengisahkan asmara yang terbatasi oleh perbedaan ideologi keagamaan. Pada akhirnya, cinta berakhir bahagia. Lalu A Little Thing Called Love (2010), film Thailand garapan Wasin Pokpong juga mengisahkan akhir serupa. Beberapa kisah cinta berakhir menyenangkan. Tetapi, selebihnya tidak.
Dari Persia kita mengenal Layla Majnun (1192) gubahan Nizami Ganjavi. Bergeser ke Barat, kita berjumpa Romeo Juliet (1595) karya William Shakespeare. Di Indonesia, kita membaca Tenggelamnya Kapal Van der Wijck (1938) gubahan Buya Hamka. Kisah-kisah itu menggetarkan sekaligus menguras air mata. Cinta berakhir dengan perpisahan.
Yang terbaru, semua mata tertuju ke Cina. Negara itu berduka atas kematian Fat Cat, pemuda yang mengakhiri hidup setelah kekasihnya memutuskan hubungan. Peristiwa melahirkan solidaritas banyak orang untuk kembali menengok cinta. Patah hati bisa mengelabui rasionalitas dalam diri.
Barangkali benar yang Sujiwo Tejo katakan: “Bahwa menikah itu nasib, mencintai itu takdir. Kamu dapat berencana menikah dengan siapa, tetapi tak bisa merencanakan cintamu untuk siapa”. Melihat ketidakpastian dari cinta, barangkali mengetahui filsafat stoikisme dan filsafat sufistik Kahlil Gibran bisa menjadi obat ketika patah hati. Ibarat sebelum hujan, kita sudah sedia payung.
Menghadapi Patah hati dengan Filsafat Stoikisme
Filsafat stoikisme adalah aliran filsafat yang mengajarkan mengenai kendali diri. Filsafat ini mengajak kita untuk hidup realistis, membaca diri, mengevaluasi diri dan antisipasi diri. Filosofi Teras (2019) gubahan Henry Manampiring membantu saya mengerti konsep stoikisme. Gagasan tersebut sangat relevan untuk menyikapi kondisi patah hati.
Pertama, Hidup Selaras dengan Alam
Selaras dengan alam berarti sebaik-baiknya menggunakan nalar, akal sehat, dan rasio, karena itulah yang membedakan manusia dengan makhluk lain. Ketika patah hati, bisanya aspek emosi memang lebih dominan, tetapi tidak menghilangkan kemampuan untuk berfikir. Kita tetap bisa berpikir dengan bijak.
Kedua, Dikotomi Kendali
Epictetus pernah mengatakan: “Ada hal-hal di bawah kendali (tergantung pada kita), ada hal-hal yang tidak di bawah kendali (tidak tergantung pada kita)”. Lalu ada juga yang diantara keduanya. Konsep itu disebut trikotomi kendali.
Hal-hal yang ada di bawah kendali kita bersifat merdeka, tidak terikat, tidak terhambat. Hal-hal yang tidak di bawah kendali kita bersifat lemah, bagai budak, terikat dan milik orang lain. Dan di antara keduanya, bersifat merdeka sekaligus terikat.
Patah hati adalah kondisi menyakitkan yang melibatkan orang lain. Situasi mengisahkan sebelah pihak tidak menginginkan hubungan berlanjut atau cinta yang tidak terbalas. Memang tidak mudah untuk kita terima, tetapi bisa kita sikapi bijak dengan menerapkan trikotomi kendali.
Kita memisahkan ranah di bawah kendali diri dan orang lain. Mencintai adalah ranah kendali kita, soal apakah terbalaskan atau tidak, berada di luar kendali. Memaksakan hal-hal di luar kendali sama dengan menyerahkan kebahagiaan dan kedamaian hidup ke pihak lain.
Menerapkan trikotomi kendali dalam case patah hati, memungkinkan kita untuk merasa tidak lagi terbebani oleh ekspektasi. Kita bisa lebih tenang karena memahami apa yang berada dalam kemampuan kita dan sebaliknya.
Ketiga, Mengendalikan Interpretasi dan Persepsi
Sebenarnya masalah bobotnya 10%, 90 % adalah proyeksi pikiran dalam melihatnya. Ketika mengalami sebuah peristiwa, sering kali ada penilaian otomatis yang muncul. Penilaian bisa rasional dan tidak. Jika tidak rasional, penilaian itu akan memicu emosi negatif. Dalam case patah hati, persepsi negatif biasanya lebih sering muncul.
Kita memiliki kemampuan untuk tidak tidak menuruti penilaian atau value judgment otomatis tersebut. Manusia mampu menganalisis sebuah peristiwa atau objek dengan rasional, khususnya untuk memisahkan antara fakta objektif dari penilaian subjektif. Langkah itu bisa dilakukan adalah dengan menggunakan konsep berpikir S-T-A-R (Stop-Think & Assess-Respond).
Misalnya dalam kasus patah hati, sebaiknya jangan habiskan waktu untuk memikirkan kenapa hal ini bisa terjadi lalu meratapinya berlarut-larut. Yang terjadi, terjadilah. Kita bisa menginterpretasikan itu sebagai hal yang lumrah, bukan malah memberikan ruang untuk pikiran negative. Kita tidak bisa hidup tanpa dia, hidup pasti akan menjadi gelap atau menyalahkan diri sendiri.
Sejak berabad-abad lalu, ribuan orang pernah mengalami patah hati. Apa istimewanya, mengapa hal ini tidak boleh terjadi pada kita? Patah hati adalah bagian dari bumbu kehidupan. Kita tetap bisa mengambil keputusan untuk melanjutkan hidup dengan aktivitas baru yang lebih produktif.
Apa manfaat yang bisa diambil dari kejadian itu? Pertama sebagai ujian terhadap kesabaran, maka kita perlu menanggung rasa sakit secara batin. Toh ini hanya patah hati, bukan patah kaki atau tangan yang bisa mengakibatkan cacat seumur hidup. Kedua, kita menjadi bisa berempati dengan orang-orang yang mengalami hal yang sama.
Dalam filsafat Stoikisme, terlihat jelas menekankan kendali pada diri, dimulai dari cara berpikir dan tingkah laku. Stoik mengajarkan untuk tidak pasif ketika berada dalam keadaan menyedihkan tetapi bangkit dengan menggunakan nalar yang logis, mengesampingkan asumsi negatif dan berani mengambil keputusan.
Menghadapi Patah Hati dengan Filsafat Sufistik Kahlil Gibran
Langkah selanjutnya dalam menyikapi patah hati adalah dengan jalan yang lebih sufiistik. Gibran, memandang cinta lebih merupakan urusan penghayatan dan pengalaman ketimbang urusan perumusan dan pendefinisian. Meski sukar untuk kita definisikan, bagi Gibran cinta dapat kita katakan sebagai landasan eksistensi manusia. Seluruh aspek kehidupan manusia tidak bisa kita lepaskan dari cinta.
Fahrudin Faiz dalam bukunya Dunia Cinta Filosofis Khalil Gibran (2019) mengatakan: “Menurut Gibran, hidup tanpa cinta ibarat pohon tanpa bunga, bunga tanpa wangi dan buah tanpa isi”. Cinta dalam pandangan Gibran baik berwajah membahagiakan maupun menyakitkan diterima dengan hati yang terbuka dan rasa syukur.
Biarkan Cinta Mengalir
Berikut adalah tulisan Kahlil Gibran dalam Sang Nabi (1923) yang mengisahkan cinta.
“.. jika cinta memanggilmu, ikutilah dia, walaupun melewati jalan terjal dan berliku. Dan apabila sayapnya merengkuhmu, pasrahlah, walaupun pedang yang tersembunyi di sela sayapnya melukaimu. Dan apabila dia bicara kepadamu, percayalah, walau ucapannya membuyarkan mimpi indahmu, bagai angin utara mengobrak-abrik petamanan di hatimu.
Karena seperti cinta memberimu sebuah mahkota, demikian juga dia akan menyalibkanmu. Demi pertumbuhanmu, begitu juga demi pemangkasanmu. Seperti halnya dia membumbung, mengecup puncak-puncak ketinggianmu, membelai mesra ranting-ranting terlembut yang bergetar dalam cahaya matahari, demikian juga dia menghujam ke dasar akarmu, mengguncang-guncangnya dari ikatanmu dengan tanah.
Laksana butir-butir gandum, engkau telah diraih dan ditumbuk sampai polos telanjang serta diketamnya hinggga bebas dari kulitmu. Digosok terus sampai menjadi putih bersih, diremas-remasnya menjadi bahan yang lemas dibentuk, dan akhirnya diantarkan kepada api suci, seperti roti suci yang dipersembahkan pada Pesta Kudus Tuhan..
Cinta tidak akan memberimu apa-apa, kecuali seluruhan dirinya, seutuhnya pun tidak mengambil apa-apa, kecuali dari dirinya sendiri. Cinta tidak memiliki apapun atau bahkan dimiliki, karena cinta telah cukup untuk cinta.”
Dalam pandangan Gibran, gagasan cinta terlepas dari kalkulasi keuntungan-kerugian. Membiarkan cinta mengalir sebagaimana mestinya. Baginya, cinta adalah dasar eksistensi manusia tidak sebatas karena ia kodrat atau fitrah manusia. Hanya di dalam cinta, manusia menemukan dimensi kesejatian hidup yang layak dipercaya dan diikuti. Cinta mengandung ketulusan, kemerdekaan, penyucian dan sekaligus keindahan meski mematahkan hati. []