• Login
  • Register
Selasa, 20 Mei 2025
Keadilan dan Kesetaraan Gender - Mubadalah
Dukung kami dengan donasi melalui
Bank Syariah Indonesia 7004-0536-58
a.n. Yayasan Fahmina
  • Home
  • Aktual
  • Kolom
  • Khazanah
  • Rujukan
  • Tokoh
  • Monumen
  • Zawiyah
  • Kolom Buya Husein
No Result
View All Result
Keadilan dan Kesetaraan Gender - Mubadalah
  • Home
  • Aktual
  • Kolom
  • Khazanah
  • Rujukan
  • Tokoh
  • Monumen
  • Zawiyah
  • Kolom Buya Husein
Keadilan dan Kesetaraan Gender - Mubadalah
No Result
View All Result
Home Kolom Personal

Mengobati Patah Hati dengan Filsafat Stoikisme atau Filsafat Sufistik Kahlil Gibran?

Patah hati adalah bagian dari bumbu kehidupan. Kita tetap bisa mengambil keputusan melanjutkan hidup dengan aktivitas baru yang lebih produktif

Yulita Putri Yulita Putri
16/07/2024
in Personal
0
Patah Hati

Patah Hati

1.2k
VIEWS
Share on FacebookShare on TwitterShare on Whatsapp

Mubadalah.id – Cinta, memberi kebahagiaan juga rasa sakit. Sebuah dendang mendukung arti demikian: “So, love me like there’s no tomorrow/ hold me in your arms, tell me you mean it/ this is our last goodbye/ and very soon it will be over/ but today just love me like there’s no tomorrow.””, gubahan Freddie Mercury berjudul Love me Like There’s No Tomorrow  (1985).

Novel Kambing dan Hujan (2018) karya Mahfud Ikhwan, mengisahkan asmara yang terbatasi oleh perbedaan ideologi keagamaan. Pada akhirnya, cinta berakhir bahagia. Lalu  A Little Thing Called Love (2010), film Thailand garapan Wasin Pokpong juga mengisahkan akhir serupa. Beberapa kisah cinta berakhir menyenangkan. Tetapi, selebihnya tidak.

Dari Persia kita mengenal Layla Majnun (1192) gubahan Nizami Ganjavi. Bergeser ke Barat, kita berjumpa Romeo Juliet (1595) karya William Shakespeare. Di Indonesia, kita membaca Tenggelamnya Kapal Van der Wijck (1938) gubahan Buya Hamka. Kisah-kisah itu menggetarkan sekaligus menguras air mata. Cinta berakhir dengan perpisahan.

Yang terbaru, semua mata tertuju ke Cina. Negara itu berduka atas kematian Fat Cat, pemuda yang mengakhiri hidup setelah kekasihnya memutuskan hubungan. Peristiwa melahirkan solidaritas banyak orang untuk kembali menengok cinta. Patah hati bisa mengelabui rasionalitas dalam diri.

Barangkali benar yang Sujiwo Tejo katakan: “Bahwa menikah itu nasib, mencintai itu takdir. Kamu dapat berencana menikah dengan siapa, tetapi tak bisa merencanakan cintamu untuk siapa”. Melihat ketidakpastian dari cinta, barangkali mengetahui filsafat stoikisme dan filsafat sufistik Kahlil Gibran bisa menjadi obat ketika patah hati. Ibarat sebelum hujan, kita sudah sedia payung.

Menghadapi Patah hati dengan Filsafat Stoikisme

Filsafat stoikisme adalah aliran filsafat yang  mengajarkan mengenai kendali diri. Filsafat ini mengajak kita untuk hidup realistis, membaca diri, mengevaluasi diri dan antisipasi diri. Filosofi Teras (2019) gubahan Henry Manampiring membantu saya mengerti  konsep stoikisme. Gagasan tersebut sangat relevan untuk menyikapi kondisi patah hati.

Baca Juga:

Jangan Nekat! Pentingnya Memilih Pasangan Hidup yang Tepat bagi Perempuan

Tidak Ada Cinta Bagi Ali

Menikah atau Menjomlo: Mana yang Lebih Baik?

Luna Maya Menikah, Berbahagialah!

Pertama, Hidup Selaras dengan Alam

Selaras dengan alam berarti  sebaik-baiknya menggunakan nalar, akal sehat, dan rasio, karena itulah yang membedakan manusia dengan makhluk lain. Ketika patah hati, bisanya aspek emosi memang lebih dominan, tetapi tidak menghilangkan kemampuan untuk berfikir. Kita tetap bisa berpikir dengan bijak.

Kedua, Dikotomi Kendali

Epictetus pernah mengatakan: “Ada hal-hal di bawah kendali (tergantung pada kita), ada hal-hal yang tidak di bawah kendali (tidak tergantung pada kita)”. Lalu ada juga yang diantara keduanya. Konsep itu disebut trikotomi kendali.

Hal-hal yang ada di bawah kendali kita bersifat merdeka, tidak terikat, tidak terhambat.  Hal-hal  yang tidak di bawah kendali kita bersifat lemah, bagai budak, terikat dan milik orang lain. Dan di antara keduanya, bersifat merdeka sekaligus terikat.

Patah hati adalah kondisi menyakitkan yang melibatkan orang lain. Situasi mengisahkan sebelah pihak tidak menginginkan hubungan berlanjut atau cinta yang tidak terbalas. Memang tidak mudah untuk kita terima, tetapi bisa kita sikapi bijak dengan menerapkan trikotomi kendali.

Kita memisahkan ranah di bawah kendali diri dan orang lain. Mencintai adalah ranah kendali kita, soal apakah  terbalaskan atau tidak, berada di luar kendali. Memaksakan hal-hal di luar kendali  sama dengan menyerahkan kebahagiaan dan kedamaian hidup ke pihak lain.

Menerapkan trikotomi kendali dalam case patah hati, memungkinkan kita untuk merasa tidak lagi terbebani oleh ekspektasi. Kita bisa lebih tenang karena memahami apa yang berada dalam kemampuan kita dan sebaliknya.

Ketiga, Mengendalikan Interpretasi dan Persepsi

Sebenarnya masalah bobotnya 10%, 90 % adalah proyeksi pikiran dalam melihatnya. Ketika mengalami sebuah peristiwa, sering kali ada penilaian otomatis yang muncul. Penilaian bisa rasional dan tidak.  Jika tidak rasional, penilaian itu akan memicu emosi negatif. Dalam case patah hati, persepsi negatif biasanya lebih sering muncul.

Kita memiliki kemampuan untuk tidak tidak menuruti penilaian atau value judgment otomatis tersebut. Manusia mampu menganalisis sebuah peristiwa atau objek dengan rasional, khususnya untuk memisahkan antara fakta objektif dari penilaian subjektif. Langkah itu bisa dilakukan adalah dengan menggunakan konsep berpikir S-T-A-R (Stop-Think & Assess-Respond).

Misalnya dalam kasus patah hati, sebaiknya jangan habiskan waktu untuk memikirkan kenapa hal ini bisa terjadi lalu meratapinya berlarut-larut. Yang terjadi, terjadilah. Kita bisa menginterpretasikan itu sebagai hal yang lumrah, bukan malah memberikan ruang untuk pikiran negative. Kita tidak bisa hidup tanpa dia, hidup pasti akan menjadi gelap atau menyalahkan diri sendiri.

Sejak berabad-abad lalu, ribuan orang pernah mengalami patah hati. Apa istimewanya, mengapa hal ini tidak boleh terjadi pada kita? Patah hati adalah bagian dari bumbu kehidupan. Kita tetap bisa mengambil keputusan untuk melanjutkan hidup dengan aktivitas baru yang lebih produktif.

Apa manfaat yang bisa diambil dari kejadian itu? Pertama sebagai ujian terhadap kesabaran, maka kita perlu menanggung rasa sakit secara batin. Toh ini hanya patah hati, bukan patah kaki atau tangan yang bisa mengakibatkan cacat seumur hidup. Kedua, kita menjadi bisa berempati dengan orang-orang yang mengalami hal yang sama.

Dalam filsafat Stoikisme, terlihat jelas menekankan kendali pada diri, dimulai dari cara berpikir dan tingkah laku. Stoik mengajarkan untuk tidak pasif ketika berada dalam keadaan menyedihkan tetapi bangkit dengan menggunakan nalar yang logis,  mengesampingkan asumsi negatif dan berani mengambil keputusan.

Menghadapi Patah Hati dengan Filsafat Sufistik Kahlil Gibran

Langkah selanjutnya dalam menyikapi patah hati  adalah dengan jalan yang lebih sufiistik. Gibran, memandang cinta lebih merupakan urusan penghayatan dan pengalaman ketimbang urusan perumusan dan pendefinisian. Meski sukar untuk kita definisikan, bagi Gibran cinta dapat kita katakan sebagai landasan eksistensi manusia. Seluruh aspek kehidupan manusia tidak bisa kita lepaskan dari cinta.

Fahrudin Faiz dalam bukunya Dunia Cinta Filosofis Khalil Gibran (2019) mengatakan: “Menurut Gibran, hidup tanpa cinta ibarat pohon tanpa bunga, bunga tanpa wangi dan buah tanpa isi”. Cinta dalam pandangan Gibran baik berwajah membahagiakan maupun menyakitkan diterima dengan hati yang terbuka dan rasa syukur.

Biarkan Cinta Mengalir

Berikut adalah tulisan Kahlil Gibran dalam Sang Nabi (1923) yang mengisahkan  cinta.

“.. jika cinta memanggilmu, ikutilah dia, walaupun melewati jalan terjal dan berliku. Dan apabila sayapnya merengkuhmu, pasrahlah, walaupun pedang  yang tersembunyi di sela sayapnya melukaimu. Dan apabila dia bicara kepadamu, percayalah, walau ucapannya membuyarkan mimpi indahmu, bagai angin utara mengobrak-abrik petamanan di hatimu.

Karena seperti cinta memberimu sebuah mahkota, demikian juga dia akan menyalibkanmu. Demi pertumbuhanmu, begitu juga demi pemangkasanmu. Seperti halnya dia membumbung, mengecup puncak-puncak ketinggianmu, membelai mesra ranting-ranting terlembut yang bergetar dalam cahaya matahari, demikian juga dia menghujam ke dasar akarmu, mengguncang-guncangnya dari ikatanmu dengan tanah.

Laksana butir-butir gandum, engkau telah diraih dan ditumbuk sampai polos telanjang serta diketamnya hinggga bebas dari kulitmu. Digosok terus sampai menjadi putih bersih, diremas-remasnya menjadi bahan yang lemas dibentuk, dan akhirnya diantarkan kepada api suci, seperti roti suci yang dipersembahkan pada Pesta Kudus Tuhan..

Cinta tidak akan memberimu apa-apa, kecuali seluruhan dirinya, seutuhnya pun tidak mengambil apa-apa, kecuali dari dirinya sendiri. Cinta tidak memiliki apapun atau bahkan dimiliki, karena cinta telah cukup untuk cinta.”

Dalam pandangan Gibran, gagasan cinta terlepas dari kalkulasi keuntungan-kerugian. Membiarkan cinta mengalir sebagaimana mestinya. Baginya, cinta adalah dasar eksistensi manusia tidak sebatas karena ia kodrat atau fitrah manusia. Hanya di dalam cinta, manusia menemukan dimensi kesejatian hidup yang layak dipercaya dan diikuti. Cinta mengandung ketulusan, kemerdekaan, penyucian dan sekaligus keindahan meski mematahkan hati. []

 

 

Tags: CintafilsafatKahlil Gibranpatah hatistoikismesufistik
Yulita Putri

Yulita Putri

Penulis lepas dan pegiat di komunitas Pusat Kajian Perempuan Solo (PUKAPS)"

Terkait Posts

Inspirational Porn

Stop Inspirational Porn kepada Disabilitas!

19 Mei 2025
Kehamilan Tak Diinginkan

Perempuan, Kehamilan Tak Diinginkan, dan Kekejaman Sosial

18 Mei 2025
Noble Silence

Menilik Relasi Al-Qur’an dengan Noble Silence pada Ayat-Ayat Shirah Nabawiyah (Part 1)

17 Mei 2025
Suami Pengangguran

Suami Pengangguran, Istri dan 11 Anak Jadi Korban

16 Mei 2025
Keadilan Semu

Membuka Tabir Keadilan Semu: Seruan Islam untuk Menegakkan Keadilan

15 Mei 2025
Memahami Disabilitas

Memahami Disabilitas: Lebih Dari Sekadar Tubuh

14 Mei 2025
Please login to join discussion
No Result
View All Result

TERPOPULER

  • Kekerasan Seksual Sedarah

    Menolak Sunyi: Kekerasan Seksual Sedarah dan Tanggung Jawab Kita Bersama

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Rieke Diah Pitaloka: Bulan Mei Tonggak Kebangkitan Ulama Perempuan Indonesia

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Nyai Nur Channah: Ulama Wali Ma’rifatullah

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Memanusiakan Manusia Dengan Bersyukur dalam Pandangan Imam Fakhrur Razi

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Alasan KUPI Jadikan Mei sebagai Bulan Kebangkitan Ulama Perempuan Indonesia

    0 shares
    Share 0 Tweet 0

TERBARU

  • Rieke Diah Pitaloka Soroti Krisis Bangsa dan Serukan Kebangkitan Ulama Perempuan dari Cirebon
  • Nyai Nur Channah: Ulama Wali Ma’rifatullah
  • Rieke Diah Pitaloka: Bulan Mei Tonggak Kebangkitan Ulama Perempuan Indonesia
  • Menolak Sunyi: Kekerasan Seksual Sedarah dan Tanggung Jawab Kita Bersama
  • KUPI Dorong Masyarakat Dokumentasikan dan Narasikan Peran Ulama Perempuan di Akar Rumput

Komentar Terbaru

  • Asma binti Hamad dan Hilangnya Harapan Hidup pada Mengapa Tuhan Tak Bergeming dalam Pembantaian di Palestina?
  • Usaha, Privilege, dan Kehendak Tuhan pada Mengenalkan Palestina pada Anak
  • Salsabila Septi pada Memaknai Perjalanan Hidup di Usia 25 tahun; Antara Kegagalan, Kesalahan dan Optimisme
  • Zahra Amin pada Perbincangan Soal Jilbab
  • Nolimits313 pada Perbincangan Soal Jilbab
  • Tentang
  • Redaksi
  • Kontributor
  • Kirim Tulisan
Kontak kami:
[email protected]

© 2023 MUBADALAH.ID

Selamat Datang!

Login to your account below

Forgotten Password? Sign Up

Create New Account!

Fill the forms bellow to register

All fields are required. Log In

Retrieve your password

Please enter your username or email address to reset your password.

Log In

Add New Playlist

No Result
View All Result
  • Home
  • Aktual
  • Kolom
  • Khazanah
  • Rujukan
  • Tokoh
  • Monumen
  • Zawiyah
  • Kolom Buya Husein
  • Login
  • Sign Up

© 2023 MUBADALAH.ID

Go to mobile version