Mubadalah.id – Perempuan selalu menjadi isu yang menarik untuk diperbincangkan. Bagaimana tidak, selama kehidupan di dunia ini berlangsung, perempuan seakan tidak pernah merdeka. Ia selalu berjuang dan berjuang untuk membebaskan diri dari jajahan kemaskulinan kaum laki-laki.
Dalam perjalanan perjuangannya, berbagai hal partikular pun yang menyudutkan perempuan akan dikritisi, demi tercapainya kesetaraan antara laki-laki dan perempuan. Atau yang populer kita dengar dengan istilah kesetaraan gender.
Terjemahan Al-Qur’an Kementerian Agama adalah salah satu yang tidak luput dari kritikan dalam upaya pengarusutamaan gender. Melihat dari dinamika kata “perempuan dan wanita” dalam terjemahan Al-Qur’an Kementerian Agama RI telah melakukan perbaikan sebanyak lima kali setelah diterbitkan pertama kali pada tahun 1965.
Adanya edisi revisi tersebut tentu tidak lepas dari penyesuaian dengan perkembangan bahasa ataupun isu-isu yang dipandang mendiskriminasi satu kelompok tertentu dan hal-hal lain yang memang dibutuhkan revisi.
Revisi Selama Empat Kali
Selama kurang lebih enam dasawarsa ini, Kementerian Agama telah berhasil melakukan revisi di tahun 1971, 1990, 2002, dan 2019. Dalam Al-Qur’an, kata perempuan tersebar di berbagai surah menggunakan term imra’ah, mar’ah, an-nisā’, dan unṡā.
Jika kita lihat, terjemahan Al-Qur’an Kementerian Agama terbitan tahun 1989 akan banyak kita temukan terjemahan yang mengarah pada perempuan menggunakan kata “wanita”.
Berbanding terbalik dengan terjemahan Al-Qur’an Kementerian Agama yang terbit tahun 2002. Pada edisi ini, terjemahan menggunakan kata “wanita” di term yang mengarah pada perempuan nyaris tidak kita temukan. Yang ada hanyalah terjemahan menggunakan kata “perempuan”.
Sedangkan terjemahan termuda yang terbit tahun 2019, terjemahan kata “wanita” dan “perempuan” sama-sama kita temukan. Perempuan dan wanita memang dua kata yang memiliki sinonim. Meski demikian, ternyata keduanya berbeda dari segi makna. Kata wanita pertama kali muncul pada masa orde baru, dan lumrah mereka gunakan di berbagai komunitas.
Banyak kita temukan di berbagai komunitas yang menggunakan diksi perempuan, tidak menggunakan kata wanita. Seperti Asosiasi Perempuan Indonesia untuk Keadilan, Yayasan Perempuan Merdeka, Komisi Nasional Anti Kekerasan terhadap Perempuan, Koalisi Perempuan Indonesia, dan lain sebagainya.
Perubahan diksi pada terjemahan Al-Qur’an Kementerian Agama tersebut tentu bukan tanpa alasan. Penentuan dan penetapan terjemahan kata dari diksi “wanita” ke “perempuan” hingga ke sama-sama ada antara “wanita” dan “perempuan” melalui proses diskusi panjang tim penerjemah.
Alasan perubahan diksi tersebut adalah karena ditinjau dari asal katanya, kata “wanita” berasal dari bahasa Jawa yaitu wani ditata.
Dengan demikian, wanita berarti orang yang berani ditata atau diatur. Ada juga yang menyatakan bahwa asal kata wanita adalah vanita dari bahasa sanskerta.
Makna Vanita
Makna vanita pun tidak memiliki perbedaan yang signifikan dengan kata wani ditata. Jika wani ditata artinya berani dan mau ditata dan diatur, maka vanita memiliki arti “yang diinginkan”.
Penggunaan kata wanita seolah ia menjadi objek dan tak dapat berkutik menjadi subjek. Jika kita maknai seperti itu, maka wanita akan menjadi manusia yang tidak memiliki kendali apa pun karena ia yang akan melakukannya.
Asal kata “wanita” yang mengakibatkan pengertian pendiskriminasian tersebut kemudian mengundang gejolak dari pihak wanita dan yang mendukungnya.
Oleh karena itu, mereka menuntut agar terjemahan term yang mengarah pada perempuan tidak bisa mereka terjemahkan dengan kata “wanita”.
Makna Perempuan
Diksi “perempuan” akhirnya lebih cocok kita gunakan, karena jika melihat pada asal katanya, kata perempuan berasal dari kata “empu” yang mendapat imbuhan “per” di depan dan “an” di belakang.
Kata “empu” yang juga berasal dari bahasa Jawa memiliki arti orang yang mulia dan terhormat. Sehingga, jika terjemahan Al-Qur’an Kementerian Agama menggunakan kata “perempuan”, maka terjemahan Al-Qur’an tersebut menunjukkan penghormatan dan pemuliaan pada makhluk lawan jenis dari laki-laki tersebut.
Makna kata yang kontradiktif antara kata “wanita” dan “perempuan” pada akhirnya menjadi polemik. Jika menggunakan kata “wanita”, maka secara tidak langsung terjemahan Al-Qur’an Kementerian Agama tidak menjadi wadah ataupun busur panah dalam pengarusutamaan kesetaraan gender.
Padahal, terjemahan Al-Qur’an Kementerian Agama posisinya sebagai terjemahan yang terafiliasi dengan pemerintah. Sehingga ia harus mendukung keadilan dengan tidak menyudutkan pihak tertentu.
Teks Al-Qur’an yang telah final menjadikannya sebagai teks statis sakral yang tak dapat manusia ubah. Namun tidak dengan makna dan nilai yang terkandung di dalamnya.
Al-Qur’an akan senantiasa sāliḥ li kulli zaman wa makān, yang berarti bahwa nilai yang terkandung dalam Al-Qur’an akan selalu relevan dalam setiap perkembangan zaman dan tidak akan lekang ditelan waktu.
Dengan sifatnya itulah kemudian, Al-Qur’an akan terus kita adopsi dan gali nilai-nilai yang tersimpan di dalamnya untuk kita implementasikan pada setiap sendi kehidupan manusia. Apalagi terjemahan Al-Qur’an Kementerian Agama menjadi terjemahan yang paling banyak masyarakat Indonesia jadikan rujukan.
Upaya Merealisasikan Kesetaraan Gender
Dengan adanya diskusi terjemahan Al-Qur’an menggunakan kata ”perempuan dan wanita” menunjukkan adanya upaya merealisasikan kesetaraan gender dari aspek kecil berupa terjemahan kata.
Sejatinya, Al-Qur’an tidak pernah merendahkan perempuan. Pembacaan-pembacaan kelirulah yang menggambarkan seolah Al-Qur’an memandang rendah sosok perempuan. Al-Qur’an tergantung pada siapa yang membaca dan menafsirkannya.
Yang perlu kita garisbawahi adalah bahwa Al-Qur’an dengan tafsir dan terjemahnya itu adalah sesuatu yang berbeda. Kita harus memberikan garis pemisah antara Al-Qur’an dengan tafsirannya ataupun terjemahannya. Sampai kapan pun, Al-Qur’an akan tetap dengan kesakralannya. Sedangkan tafsir dan terjemahannya hanyalah pembacaan terhadap Al-Qur’an yang bersifat profan, sehingga ia terbuka lebar untuk kita kritisi dan perbaiki. []