Mubadalah.id – Menyajikan konten mengenai kekerasan seksual dapat kita katakan tidak mudah. Banyak hal harus dipertimbangkan bahkan jauh sebelum konten itu kita tulis atau ditayangkan. Beberapa waktu lalu, sebuah konten dalam kanal Youtube menghadirkan narasumber seorang penyanyi, di tengah sesi tanya jawab pembawa acara tersebut bertanya apakah si narasumber pernah mengalami kekerasan seksual.
Sontak hal ini menuai berbagai reaksi warganet, sebagian mereka menyayangkan sikap pembawa acara tersebut karena dianggap tidak memahami trauma yang telah penyintas kekerasans seksual hadapi. Sebagian lain tidak mempermasalahkannya, karena si pembawa acara juga memberi jeda kepada narasumber untuk menjawab.
Tentu kita akan atau bahkan sudah menemukan banyak kasus serupa dan bertanya-tanya bagaimana sepatutnya mengahadirkan penyintas sebagai narasumber. Apa yang perlu kita pertimbangkan. Pertanyaan apa saja yang boleh dan tidak boleh kita ajukan. Bahkan sampai di mana kita mempertimbangkan apakah konten ini aman untuk kita publikasi atau tidak. Karena poin terpenting dari penyajian konten mengenai kekerasan seksual adalah menciptakan ruang aman bagi penyintas.
Tiga Langkah sebelum Meliput Kasus Kekerasan Seksual
Dalam buku “Panduan Meliput Kekerasan Seksual Bagi Persma dan Jurnalis” yang diterbitkan oleh Project Multatuli, sebelum melakukan liputan beberapa hal ini perlu kita pertimbangkan dengan matang,
Pertama, apakah cerita ini menggambarkan masalah kebijakan publik yang lebih besar? Kedua, apakah cerita ini akan membantu pembaca memahami trauma mendalam korban/ penyintas kekerasan seksual?
Ketiga, apakah cerita ini akan menyediakan informasi yang membantu masyarakat untuk pulih dari trauma? Keempat, apakah cerita ini akan membantu korban/ penyintas kekerasan seksual?
Tentu pertimbangan di atas tidak berlaku untuk konten berita semata, melihat bentuk konten yang beragam saat ini dan di dalamnya seringkali mengangkat isu kekerasan seksual. Beberapa hal di atas bisa kita jadikan acuan bagaimana sepatutnya konten yang kita sajikan menghindari eksploitatif, dan tidak sekadar memanfaatkan informasi yang telah penyintas berikan.
Pertimbangan risiko yang telah saya sebutkan di atas masih berada di luar kegiatan wawancara. Jika kita katakan sulit memang sulit. Karena menyajikan konten kekerasan seksual dengan menghadirkan narasumber yang notabene penyintas tidak semudah sekedar bertanya lalu terjawab. Akan tetapi ada kesiapan yang matang dari narasumber maupun pembawa acara. Mengingat yang kita libatkan adalah peristiwa traumatis masa lalu narasumber.
Empat Tahap Mempersiapkan Wawancara
Saat konten ditayangkan pun bukan tidak mungkin akan memicu penyintas lainnya. Oleh karena itu, berikut ini tahap-tahap yang dapat kita perhatikan untuk mempersiapkan wawancara penyintas:
Pertama, menghindari mendekati penyintas tanpa pemberitahuan atau secara tiba- tiba, karena kita tidak tahu kesiapan penyintas apakah dia bersedia untuk menemui kita lalu menceritakannya. Kita perlu menghindari adanya risiko dan tekanan bagi penyintas. Alternatif lain yang perlu kita lakukan adalah, kita bisa mendekati narasumber terpercaya yang dekat dengan penyintas, seperti keluarga atau kerabat.
Kedua, bertanya ke narasumber tentang keinginan, prioritas, kekhawatiran, risiko, dan situasi mereka saat ini. Kembali lagi ke poin terpenting, yaitu memberikan ruang aman bagi penyintas.
Ketiga, menyiapkan daftar pertanyaan, kita perlu membuat daftar pertanyaan yang diberikan kepada narasumber. Selain narasumber bisa mempersiapkan diri, hal ini juga bisa mengantisipasi kemungkinan pertanyaan yang kurang berkenan bagi narasumber.
Keempat, membangun kepercayaan, narasumber akan semakin nyaman ketika proses wawancara. Jika sebelumnya ada pendekatan dan terbangunnya hubungan.
Menunjukkan Perhatian dan Sikap Empati
Ini hanya beberapa dari masih banyak yang perlu kita perhatikan saat hendak melakukan wawancara kepada penyintas. Begitu pula saat proses wawancara, beberapa hal ini perlu kita perhatikan.
Seperti menunjukan perhatian dan empati, tidak mudah bagi penyintas menceritakan pengalaman kekerasan seksual yang ia alami. Kita perlu menunjukkan empati dan pengertian, tidak menginterupsi narasumber ketika sedang berbicara, dan tidak mempermalukan atau menyalahkan narasumber atas kekerasan yang terjadi.
Kita juga perlu bertanya bagaimana narasumber ingin diidentifikasi, seperti penyintas, korban, seseorang yang mengalami kekerasan atau lainnya. Penting juga untuk tidak melakukan stigmatisasi, tidak juga menambahkan pertanyaan yang tidak sesuai dengan persiapan sebelumnya.
Kita juga sebaiknya tidak mengambil foto maupun video narasumber kecuali jika sebelumnya mereka telah setuju. Lalu, karena ketahanan mental tiap orang berbeda-beda, pengalaman atau pengetahuan tentang pemulihan pasca trauma tiap orang juga berbeda-beda, lebih bijak jika kita tidak menyamaratakan pengalaman narasumber satu dengan yang lainnya.
Kita perlu mendengarkan dengan bijak hingga kita memahami kerentanan, hingga kekhawatiran penyintas tersebut. Poin penting yang terakhir ialah mengakhiri wawancara dengan baik, kita perlu bertanya kepada narasumber apakah ia memiliki hal lain untuk disampaikan atau tidak. Kita juga perlu mejelaskan langkah selanjutnya yang akan kita lakukan bersama tim.
Melihat persiapan, proses, langkah-langkah yang sangat berisiko itu, kita menyadari bahwa tidak mudah berada di posisi penyintas. Itulah mengapa, konten yang menceritakan kejadian kekerasan seksual seseorang hendaknya dapat memuat beberapa poin penting di atas. Tentunya demi keamanan dan kenyamanan penyintas. Sudah saatnya kita menyajikan konten yang inklusif menciptakan ruang aman bagi penyintas. []