• Login
  • Register
Selasa, 21 Maret 2023
Keadilan dan Kesetaraan Gender - Mubadalah
Dukung kami dengan donasi melalui
Bank Syariah Indonesia 7004-0536-58
a.n. Yayasan Fahmina
  • Home
  • Aktual
  • Kolom
  • Khazanah
  • Rujukan
  • Tokoh
  • Kolom Buya Husein
No Result
View All Result
Keadilan dan Kesetaraan Gender - Mubadalah
  • Home
  • Aktual
  • Kolom
  • Khazanah
  • Rujukan
  • Tokoh
  • Kolom Buya Husein
Keadilan dan Kesetaraan Gender - Mubadalah
No Result
View All Result
Home Kolom Publik

Menjadi Seorang Ekofeminis yang Feminis

Konflik sumber daya alam berdampak terhadap kelangsungan hidup masyarakat, khususnya kaum perempuan. Posisi perempuan kini menjadi sangat rentan dalam alam dan di kehidupan sosial

Irfan Hidayat Irfan Hidayat
09/08/2021
in Publik
0
Ekofeminis

Ekofeminis

131
VIEWS
Share on FacebookShare on TwitterShare on Whatsapp

Mubadalah.id – Persoalan kerusakan lingkungan yang terjadi di Indonesia merupakan masalah yang belum menemukan penyelesaian secara maksimal. Berbagai konflik sumber daya alam yang telah terjadi menimbulkan perlawanan serius dari masyarakat, terlebih masyarakat adat yang tanah ulayatnya dirampas. Hal tersebut merupakan kulminasi terhadap penindasan yang dialami mereka yang sampai hari ini belum mendapatkan keadilan.

Konflik sumber daya alam berdampak terhadap kelangsungan hidup masyarakat, khususnya kaum perempuan. Posisi perempuan kini menjadi sangat rentan dalam alam dan di kehidupan sosial. Perjuangan menolak pabrik semen di pegunungan Kendeng, penolakan reklamasi yang terjadi di teluk Benoa Bali, penolakan pembangunan bandara NYIA di Yogyakarta, merupakan beberapa potret dari sekian banyak konflik sumber daya alam yang berdampak terhadap hidup perempuan.

Perjuangan perempuan dalam konflik sumber daya alam tidak lepas dari beberapa kegentingan yang terjadi di dalamnya. Hal tersebut perlu dieksplisitkan supaya tidak terjadi kecemasan bahwa keberadaan perempuan di dalam perjuangan tersebut bukan sebagai subjek otonom, melainkan hanya sebatas simbol yang dipergunakan untuk kepentingan yang lain. Atau dengan kata lain, perempuan tersebut tidak mengada sebagai tujuan bagi dirinya sendiri, melainkan hanya sebagai alat dalam mencapai kepentingan yang lainnya.

Saras Dewi, seorang dosen Filsafat Universitas Indonesia, dalam salah satu diskusi yang diadakan Asean Literatur Festival (2017), menjelaskan terkait persoalan perempuan dan alam dengan memberikan fokus perhatian pada kultur. Secara khusus, Ia mengangkat peristiwa reklamasi teluk Benoa, Bali. Menurut Saras, reklamasi yang berorientasi terhadap modernisasi pariwisata Bali akan menimbulkan dampak pada tiga hal, yaitu ekologi, sosial dan religi.

Menurutnya, sejauh ini perjuangan masyarakat adat di Teluk Benoa telah membuahkan hasil yang lumayan baik. Perjuangan yang berlandaskan spiritualitas, adat dan kearifan lokal telah mampu menghentikan perusahaan pengembang beberapa saat, meskipun tidak secara menyeluruh dan aktivitas perusakan tersebut kembali digencarkan. Meski begitu, hal tersebut merupakan salah satu bukti bahwa adat memiliki fungsi pragmatis dan efektif dalam menggerakkan manusia, sehingga menjadi instrumen yang sangat kuat dalam hal advokasi.

Daftar Isi

  • Baca Juga:
  • Dalam Catatan Sejarah, Perempuan Kerap Dilemahkan
  • Perempuan Juga Wajib Bekerja
  • Webinar Zakat Peduli Perempuan Korban Kekerasan akan Digelar Nanti Malam
  • Poligami Banyak Merugikan Kaum Perempuan

Baca Juga:

Dalam Catatan Sejarah, Perempuan Kerap Dilemahkan

Perempuan Juga Wajib Bekerja

Webinar Zakat Peduli Perempuan Korban Kekerasan akan Digelar Nanti Malam

Poligami Banyak Merugikan Kaum Perempuan

Persoalannya ialah dalam perjuangan tersebut terdapat inkonsistensi status perempuan di dalam adat dan kearifan lokal. Perempuan selalu dijadikan simbol yang amat penting dalam setiap revitalisasi alam yang dilakukan oleh masyarakat adat. Salah satu contohnya ialah tarian Sang Hyang Dedari atau tarian bidadari yang diperankan oleh empat anak gadis yang merupakan penjelmaan dewi di bumi.

Ritual tersebut menjadi akar pelestarian bumi di daerah Karang Asem, Bali. Terdapat ambiguitas yang terjadi di dalam fenomena tersebut, bahwa di dalam dunia spiritual perempuan selalu diagungkan, dijelmakan dengan sifat-sifat dewi yang kuat, sakral dan paling diandalkan, akan tetapi dalam kehidupan sosial, perempuan selalu diabaikan, terpinggirkan dan selalu mengalami penindasan.

Dalam realitanya, perempuan Bali selalu dihadapkan pada persoalan ketidakadilan gender. Mereka jauh dari akses pendidikan yang layak, serta tingginya tingkat kekerasan seksual yang terjadi di Bali termasuk juga persoalan kasta. Dalam menyiasati hal tersebut, beberapa aktivis lingkungan mengajukan serta mengupayakan revitalisasi kebudayaan, melalui agenda feminisme yang disusupkan ke dalam perjuangan lingkungan.

Artinya, kearifan lokal dan adat harus sejalan dengan penghargaan hak asasi seorang perempuan. Hal Ini merupakan tawaran yang menarik, dekonstruksi spiritualitas dan adat apabila keduanya bertentangan dengan nilai-nilai kesetaraan.

Persoalannya adalah perjuangan perempuan atas nama ‘alam’ seringkali terbuai dengan romantisisme naturisasi tubuh, sehingga kita selalu terjebak dalam konsep esensialisme. Penulis berpendapat bahwa dalam setiap perjuangan menjaga dan mempertahankan alam, harus selalu jeli dan teliti terhadap kandungan femininisasi alam dan naturisasi tubuh keperempuanan.

Setiap gerakan perjuangan perempuan yang menekankan femininitas harus selalu kita pertanyakan. Dalam satu sisi, hal itu bisa dijadikan sebagai strategi dalam memperjuangkan dan mempertahankan alam, tetapi di lain sisi, hal tersebut bisa saja menyimpan potensi untuk kembali menindas serta mendomestikkan peran perempuan.

Ekofeminis yang Feminis

Menganalogikan perempuan dengan alam harus ditelaah secara mendalam. Naturisasi tubuh perempuan berpotensi memperpanjang praktik seksisme, atau bahkan dualisme patriarki yang dapat mendikotomi maskulinitas-femininitas serta budaya-alam. Setiap wacana pengagungan tubuh perempuan serta penghubungan perempuan dengan alam harus selalu diwaspadai, supaya argumen tersebut tidak kembali melanggengkan otoritas budaya patriarki.

Dewi Candraningrum, dalam Trilogi Ekofeminisme (2013), menjelaskan bahwa terdapat beberapa persoalan yang perlu digarisbawahi dalam melihat setiap fenomena penindasan yang berkaitan terhadap perempuan dan alam. Pertama, pada dasarnya dominasi atas alam dan penindasan terhadap perempuan saling berkaitan. Kedua, setiap faham dan gerakan ekofeminisme harus berangkat serta bersumber dari paradigma feminisme.

Ketiga, persoalan ekologi, dalam pemecahan masalahnya harus juga menggugat ketidakadilan yang selalu dialami perempuan di dalam kehidupan masyarakatnya. Menurut Dewi, konsep patriarki yang opresif harus selalu diwaspadai. Konsep patriarki ini dapat menyelinap ke dalam berbagai hal, termasuk spiritualitas dan budaya.

Pertanyaan yang kemudian muncul ialah apakah kita dapat berpegang terhadap argumen-argumen agama dan budaya ketika keduanya terindikasi mengandung atau bahkan merawat ideologi patriarki? Bagi penulis secara pribadi, hal ini merupakan persoalan serius, mengingat kita tidak bisa melihat persoalan alam dan perempuan secara parsial.

Setiap perjuangan perempuan dan alam harus selalu dielaborasi, demi mencapai kesetaraan dan keadilan untuk perempuan. karena jika tidak, hal tersebut hanya akan memberikan keadilan semu saja, yang kemudian digunakan perjuangan kelompok lain dengan mengatasnamakan perempuan.

Perjuangan perempuan yang bertumpu terhadap spiritualitas dan adat secara esensialistik tidak memandang perempuan secara setara. Hal itu mengakibatkan persoalan yang terjadi tidak terlihat secara holistik. Bagi seorang feminisme, perjuangan melindungi alam dengan berbasis keadilan terhadap perempuan dengan cara berani membongkar akar penindasan patriarki yang masih bersarang di dalam wilayah yang bahkan tak kasat mata.

Penulis sepakat dengan apa yang dijelaskan oleh Dewi Candraningrum, bahwa seorang ekofeminis haruslah seorang feminis. Logika penindasan hanya bisa dipatahkan dengan argumentasi feminisme. Feminisme merupakan upaya untuk melawan esensialisme dan naturisme. Artinya, feminisme berupaya menghapus budaya seksisme. Gagasan tersebut kini menjadi penting dalam ekofeminisme, karena dengan logika ini, dapat mendeteksi bahwa secara konseptual naturisme beririsan dengan seksisme.

Logika dominasi dalam memperjuangkan alam harus kita hilangkan sejak dalam pikiran. Jangan sampai konsep ‘Ibu Bumi’ secara tidak sadar, kita gunakan untuk kepentingan budaya patriarki. Bagi penulis sendiri,  perjuangan ekofeminisme harus selalu konsekuen dan konsisten, karena dengan begitu ia akan mendapat kesetaraan dan keadilan. []

Tags: EkofeminismeEkologifeminismeGenderKerusakan AlamLingkunganperempuanseksisme
Irfan Hidayat

Irfan Hidayat

Alumni Hukum Tata Negara UIN Sunan Kalijaga, Kader PMII Rayon Ashram Bangsa

Terkait Posts

Travel Haji dan Umroh

Bagaimana Menghindari Penipuan Biro Travel Umroh dan Haji?

20 Maret 2023
Perempuan Harus Berpolitik

Ini Alasan, Mengapa Perempuan Harus Berpolitik

19 Maret 2023
Pembahasan Childfree

Polemik Pembahasan Childfree Hingga Hari Ini

18 Maret 2023
Bimbingan Skripsi, Kekerasan Seksual

Panduan Bimbingan Skripsi Aman dari Kekerasan Seksual

17 Maret 2023
Kekerasan Simbolik

Bibit Kekerasan Simbolik di Lembaga Pendidikan

16 Maret 2023
Berbuat Baik pada Non Muslim

Meneladani Akhlak Nabi dengan Berbuat Baik pada Non Muslim

16 Maret 2023
Please login to join discussion
No Result
View All Result

TERPOPULER

  • Kerja Istri

    Pentingnya Pembagian Kerja Istri dan Suami

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Prinsip Perkawinan Menjadi Norma Dasar Bagi Pasangan Suami Istri

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Siti Walidah: Ulama Perempuan Progresif Menolak Peminggiran Peran Perempuan

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Refleksi: Sulitnya Menjadi Kaum Minoritas

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Perempuan Juga Wajib Bekerja

    0 shares
    Share 0 Tweet 0

TERBARU

  • Pentingnya Pembagian Kerja Istri dan Suami
  • Refleksi: Sulitnya Menjadi Kaum Minoritas
  • Dalam Catatan Sejarah, Perempuan Kerap Dilemahkan
  • Tips Aman Berpuasa untuk Ibu Hamil dan Menyusui
  • Perempuan Juga Wajib Bekerja

Komentar Terbaru

  • Perempuan Boleh Berolahraga, Bukan Cuma Laki-laki Kok! pada Laki-laki dan Perempuan Sama-sama Miliki Potensi Sumber Fitnah
  • Mangkuk Minum Nabi, Tumbler dan Alam pada Perspektif Mubadalah Menjadi Bagian Dari Kerja-kerja Kemaslahatan
  • Petasan, Kebahagiaan Semu yang Sering Membawa Petaka pada Maqashid Syari’ah Jadi Prinsip Ciptakan Kemaslahatan Manusia
  • Berbagi Pengalaman Ustazah Pondok: Pentingnya Komunikasi pada Belajar dari Peran Kiai dan Pondok Pesantren Yang Adil Gender
  • Kemandirian Perempuan Banten di Makkah pada Abad ke-20 M - kabarwarga.com pada Kemandirian Ekonomi Istri Bukan Melemahkan Peran Suami
  • Tentang
  • Redaksi
  • Kontributor
  • Kirim Tulisan
Kontak kami:
[email protected]

© 2023 MUBADALAH.ID

No Result
View All Result
  • Home
  • Aktual
  • Kolom
  • Khazanah
  • Rujukan
  • Tokoh
  • Kolom Buya Husein
  • Login
  • Sign Up

© 2023 MUBADALAH.ID

Selamat Datang!

Login to your account below

Forgotten Password? Sign Up

Create New Account!

Fill the forms bellow to register

All fields are required. Log In

Retrieve your password

Please enter your username or email address to reset your password.

Log In

Add New Playlist