Mubadalah.id – Sejarah Islam di Nusantara seharusnya lekat dengan her-story. Mengapa begitu? Sebab, fakta sejarahnya selalu ada peran perempuan dalam progres penyebaran Islam di Nusantara. Sehingga khazanah sejarah perempuan seharusnya menjadi bagian dari sejarah Islam Nusantara itu sendiri.
Ya, meski sejauh ini, sejarah perempuan masih kurang mendapat tempat dalam khazanah Islam Nusantara. Namun, itu tidak berarti perempuan tidak punya andil dalam dakwah Islam di negeri ini.
Perempuan dan Penyebaran Islam di Nusantara
Keterlibatan perempuan dalam penyebaran dan perkembangan Islam di Nusantara, itu sudah dimulai sejak masa persentuhan Islam di negeri ini. Umumnya, kata “perempuan” dalam narasi sejarah Islam di Nusantara, sejauh ini, banyak disinggung pada proses Islamisasi melalui jalur pernikahan antara pendatang Muslim dan perempuan pribumi.
Terdengar agak remeh memang, namun proses ini tidak bisa kita pandang sebelah mata. Sebab, pada proses awal penyebaran Islam, dalam masyarakat umum, pernikahan menjadikan jumlah Muslim di wilayah setempat menjadi makin banyak. Bahkan, di tingkat elit, pada beberapa kasus, para raja memeluk Islam melalui pernikahan dengan perempuan Muslim. Dan, pernikahan juga menjadikan posisi pendakwah Islam di masyarakat menjadi makin kuat.
Seperti pada kasus pernikahan Sunan Ampel dan Nyai Ageng Manila, putri Arya Teja yang merupakan penguasa Tuban. Melalui pernikahan ini, posisi Sunan Ampel, yang pada dasarnya merupakan ulama pendatang, menjadi makin kuat dalam masyarakat Jawa kala itu. Hal ini membantu sang sunan dalam meletakkan pondasi dakwah Wali Songo, yang di kemudian hari sukses menyebarkan Islam ke berbagai penjuru Nusantara.
Sejarah Perempuan pada Masa Persentuhan Islam di Nusantara
Tentu keterlibatan perempuan dalam dakwah Islam di Nusantara tidak sesederhana itu. Dan, juga tidak sebatas pada Islamisasi Nusantara melalui jalur pernikahan. Peran dakwah perempuan bahkan sudah ada sejak masa persentuhan Islam di Nusantara.
Pada abad ke-11 M, jauh sebelum era Wali Songo, ada seorang perempuan yang dikenang sebagai asy-syahidah–setidaknya begitu yang tertulis di nisannya yang berkonogram 475 H/1082 M. Namanya Fatimah binti Maimun. Makamnya berada di Leran, Gresik, Jawa Timur.
Di antara banyak pendapat tentang sosoknya, ada yang mengatakan Fatimah binti Maimun merupakan perempuan yang menyebarkan Islam di kawasan Leran. Sebab merupakan penyebar Islam, sehingga tidak heran jika ia terpandang sebagai Muslimah yang syahid (asy-syahidah), karena jalan hidupnya mendakwahkan Islam.
Sosok Fatimah binti Maimun memberi kita gambaran, bahwa perempuan sudah terlibat dalam dakwah sejak masa persentuhan Islam di Nusantara. Ya, meski kehadiran Fatimah binti Maimun, beserta koloni Muslimnya, kala itu belum memberi dampak signifikan dalam perkembangan Islam di Jawa. Namun, itu bukan sesuatu yang perlu kita sesalkan, sebab memang demikian Islamisasi Nusantara bukan proses satu abad, melainkan berabad-abad.
Sebagaimana penjelasan Robert Day McAmis dalam Malay Muslims, “The Islamization of Indonesia was a very gradual process (Islamisasi Indonesia merupakan proses yang amat berangsur-angsur (sangat panjang).” Menariknya, dalam proses yang berangsur-angsur itu, yang selama berabad-abad, selalu ada nama perempuan yang ikut terlibat dalam mendakwahkan Islam.
Sejarah Perempuan dalam Lintasan Abad Dakwah Islam di Nusantara
Pada abad ke-15 M, semasa Sunan Ampel baru memulai aktivitas dakwahnya di tanah Jawa, ia mendapat bantuan yang sangat berarti dari Putri Dwarawati. Perempuan ini adalah putri penguasa Champa, yang juga merupakan bibi Sunan Ampel dan istri Brawijaya (Raja Majapahit).
Terbukanya ruang dakwah Sunan Ampel di Ampel dan saudaranya, Ali Murtadho, di Gresik, tidak lepas dari pengaruh Putri Dwarawati dalam Keraton Majapahit. Sehingga, dapat kita katakan perempuan ini punya peran penting dalam kesuksesan dakwah Wali Songo di tanah Jawa.
Pada abad ke-16 M, di Gorontalo, ada Putri Owutango yang mengembangkan Islam mula-mula di Tamalate. Perempuan ini kemudian menikah dengan Raja Amai, penguasa Gorontalo kala itu. Putri Owutango mensyaratkan raja dan rakyat harus memeluk Islam. Ini menjadi permulaan Islam berkembang secara masif di Gorontalo. Jadi, perkembangan Islam di daerah yang kini kita kenal sebagai serambi Madinah, itu tidak lepas dari kepedulian seorang perempuan terhadap penyebaran Islam.
Pada akhir abad ke-18 M hingga awal abad ke-19 M, di Banjar, Kalimantan, ada seorang perempuan ulama yang bernama Fatimah al-Banjari. Dia mendakwahkan Islam di kalangan perempuan Banjar. Dalam aktivitas dakwahnya, Fatimah al-Banjari menulis kitab yang dia beri judul Perukunan. Kitab Perukunan menjadi sangat terkenal dalam masyarakat Muslim Nusantara.
Pada masa yang hampir sama, awal abad ke-19 M, Putri Kilingo ikut serta dalam rombongan dakwah Imam Tueko, ayahnya, di Bolaang Mongondow, Sulawesi Utara. Dia mendakwahkan Islam melalui lantunan tilawah dan qasidah kepada masyarakat. Putri Kilingo juga diketahui menikah dengan Raja Jakobus Manuel Manoppo, yang kemudian memasifkan penyebaran Islam di daerah tersebut.
Dan masih banyak lagi nama-nama perempuan yang ikut mengisi peran dakwah dalam Islamisasi Nusantara. Ya, begitulah fakta sejarahnya, dalam setiap lintasan abad, di berbagai penjuru Nusantara, perempuan terlibat dalam berbagai upaya mendakwahkan Islam.
Sejarah Perempuan Terabaikan dalam Khazanah Islam Nusantara
Proses Islamisasi Nusantara, yang sebagaimana McAmis, secara gradual process itu berlangsung dengan damai. Dalam bahasa M. Abdul Karim, sebagaimana dalam bukunya yang berjudul Islam Nusantara, sebagai Islamisasi yang terjadi secara penetration pacifique (pebebasan secara damai). Maksudnya, Islamisasi Nusantara bukan melalui jalan penaklukan dengan perang, melainkan melalui jalan dakwah secara berangsur-angsur dan damai.
Kondisi Islamisasi Nusantara yang berlangsung secara gradual process dan penetration pacifique, memang menjadi arena ideal untuk kiprah banyak perempuan. Sebab, proses penyebaran Islam bukan terjadi secara maskulin, pembebasan dengan perang, melainkan Islam menyebar secara damai, setahap demi tahap, masuk dalam masyarakat akar rumput hingga menyentuh tingkat elit.
Dalam setiap proses damai itu, banyak perempuan yang terlibat. Dari Islamisasi jalur pernikahan, hingga turut serta dalam dakwah di garis depan. Kekurangan kita sejauh ini adalah, sering kali terjebak pada menjadikan laki-laki sebagai tokoh utama, dan perempuan sekadar figuran, sehingga kehadiran mereka malah jadi terabaikan.
Pada peran Wali Songo, misalnya, kita melihat tokoh utamanya sebatas para sembilan wali. Padahal, peran Putri Dwarawati dan Nyai Ageng Manila juga sangat urgen dalam kesuksesan dakwah Sunan Ampel. Namun, posisi mereka menjadi terabaikan sebab sekadar sebagai sosok pelengkap.
Begitu juga semisal pada sejarah Putri Kilingo. Umumnya, dia sekadar menjadi pelengkap penjelasan keislaman Raja Jakobus Manuel Manoppo. Padahal dia juga punya peran dakwah dalam jejaring Imam Tueko.
Kecenderungan memosisikan perempuan sebagai figuran dalam sejarah ini, yang menjadi satu sebab, sebagaimana yang saya jelaskan di awal, sejarah perempuan kurang mendapat tempat dalam khazanah Islam Nusantara. Maka, kita perlu mencoba membaca sejarah dengan lebih adil, dengan tidak menjadikan perempuan sekadar figuran. Dengan begitu, banyak kiprah perempuan yang dapat kita sadari dalam sejarah Islam di Nusantara. []