Bissu adalah kelompok adat yang bertujuan untuk mendekatkan diri kepada Tuhan Yang Maha Kuasa. Bissu juga merupakan bentuk pertobatan kelompok yang pernah melakukan perilaku menyimpang. Salah kaprahnya, banyak orang yang malah menganalogikan Bissu sebagai pintu masuk waria dan memberikan eksistensi kepada kelompok rentan.
Mubadalah.id – Bissu merupakan tokoh spiritual yang dianggap sakral oleh masyarakat Bugis di Sulawesi Selatan (Sulsel) sejak zaman kerajaan. Mereka dianggap sebagai sosok suci yang dapat menghubungkan manusia dengan Sang Pencipta.
Di masa lalu, Bissu memegang peran sangat penting dalam berbagai kegiatan ritual dan upacara adat. Sebab, mereka memiliki pengetahuan tentang berbagai tradisi dan kearifan hidup. Namun sayangnya, belakangan keberadaan mereka mendapat penolakan karena ada anggapan seolah membenarkan LGBT.
Adalah Fatma Utami Jauharoh, aktivis Moderasi Beragama dan keberagaman yang telah malang melintang di organisasi atau LSM di Jawa Timur dan Jakarta memperjuangkan hak kelompok minoritas. Perempuan asal Pare Kediri ini sejak ditempatkan sebagai Penyuluh Agama di Bone, Sulawesi Selatan oleh Kementerian Agama RI, mulai menemukan adanya pertentangan terhadap kelompok adat dan agama tertentu di wilayahnya.
“Pertama kali berada di Bone, Sulawesi Selatan Fatma melakukan identifikasi wilayah di Watampone dan sekitarnya. Kami menemukan adanya pertentangan terhadap kelompok adat dan agama. Gampangnya, seolah membenturkan antara kelompok adat dengan agama gitu. Hingga akhirnya kami berupaya masuk lewat penguatan moderasi beragama yang memang jadi salah satu program prioritas Kemenag,” ungkap Fatma melalui sambungan telepon.
Menilik Pendekatan Moderasi Beragama
Pendekatan moderasi beragama di Bone, menurut Fatma bisa ia lakukan dengan memberikan advokasi kepada kelompok adat Bissu. Karena narasi yang berkembang adalah Bissu sebagian masyarakat anggap sebagai kelompok yang menyimpang, menyalahi kodrat, tidak sesuai dengan norma agama. Bahkan menyamakan Bissu dengan LGBTQ. “Padahal kedua hal tersebut dua isu yang berbeda. Yang satu isu tentang hak beragama dan yang lain adalah isu tentang gender non mainstream,” tegas gadis kelahiran Kediri, Jawa Timur ini.
Bissu adalah kelompok adat yang bertujuan untuk mendekatkan diri kepada Tuhan Yang Maha Kuasa. Bissu juga merupakan bentuk pertobatan kelompok yang pernah melakukan perilaku menyimpang. Salah kaprahnya, banyak orang yang malah menganalogikan Bissu sebagai pintu masuk waria dan memberikan eksistensi kepada kelompok LGBT. “Padahal sebaliknya, Bissu itu adalah cara seseorang untuk mendekati diri kepada Yang Maha Kuasa dan meninggalkan dunia kelamnya,” tegas Fatma.
Bagi suku Bugis, Bissu menduduki posisi spesial dalam sistem pengakuan gender. Bissu mereka pandang sebagai rohaniwan pria-wanita dalam masyarakat Bugis.
Budaya Bugis tidak mengenal konsep terlahir dalam tubuh yang salah. Masyarakat Bugis mengakui lima gender berbeda. Gender oroani (laki-laki), makkunrai (perempuan), calalai (dilahirkan dengan tubuh perempuan, tetapi berciri maskulin), calabai (dilahirkan dengan tubuh laki-laki, tetapi berciri feminine) dan gender kelima dalam budaya Bugis adalah Bissu.
Mereka mewakili keseluruhan spektrum gender, berkat tidak dianggap baik laki-laki maupun perempuan. Bissu mewujudkan kekuatan semua gender sekaligus, dan mencampurkan elemen-elemen yang mereka anggap feminin dengan unsur maskulin. “Jadi Bissu lebih kita sakralkan sehingga dipercaya mampu menjadi perantara dari Tuhan ke Manusia. Kurang lebih seperti itu,” tukas lulusan cumlaude Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta ini.
Bekerjasama dengan Pemerhati Budaya Bone
Dengan adanya fakta di lapangan itu, sebagai penyuluh agama, Fatma berinisiatif bekerjasama kelompok pemerhati budaya di Bone. Anak-anak muda Bone ini kemudian membuat proposal untuk penguatan atas masyarakat adat Bissu. Proposal yang ia tujukan ke Kementerian Agama RI membuahkan hasil. Mereka mendapatkan grant (dana) dari Kemenag untuk advokasi masyarakat adat Bissu di Bone.
Perempuan yang juga lulusan Fakultas Ushuluddin dan Filsafat UIN Syarif Hidayatullah Jakarta ini mengaku kendala atau tantangan yang ia hadapi atas kasus pengakuan masyarakat adat di Bone lebih ke masalah struktural. “Karena itu, advokasi yang kami lakukan pertama kali adalah lebih ke pendekatan kepada para elit. Baru-baru di tahun 2024 ini pelan-pelan kami mulai masuk ke masyarakat,” terang Fatma.
Upaya yang ia lakukan diawali dengan audiensi bersama pemerintah daerah (Pemda) setempat. Di antaranya pertemuan terkait dengan pembatasan atas aktivitas dan keberadaan Bissu ia lakukan dengan Kesbangpol, Sekretaris Daerah (Sekda), Kejaksaan, Polisi, TNI dan Dinas Kebudayaan. Setelah bertemu para pemangku kebijakan, audiensi ia lanjutkan dengan menemui sesepuh adat atau tokoh budaya di Bone.
“Setelah semua audiensi itu, kami menyepakati untuk bertemu dalam sebuah forum khusus. Forum tersebut meghadirkan peneliti Bissu yang berkompeten yakni dari Litbang Kementerian Agama Pusat dan peneliti BRIN. Keduanya adalah peneliti Bissu yang secara akademis bisa memberikan penjelasan kepada para pemangku kebijakan. Pertemuan ini sebagai upaya kami menghadirkan relasi kuasa. Siapalah kami ini tak akan mereka dengar jika yang bicara bukan pihak pusat yang pasti dianggap lebih kompeten,” tuturnya.
Tantangan Advokasi
Fatma mengaku tantangan advokasinya lebih kepada Pemda tingkat Provinsi. Sementara Pemkab Bone yang memang sudah terbiasa dengan keberadaan kelompok Adat ini tidak pernah melakukan penolakan. Namun, karena adanya penolakan dari tingkatan yang lebih tinggi yakni di Pemprov, pihak Pemkab tidak bisa berbuat banyak.
Buntutnya, terjadilah peristiwa di tahun 2020 di mana untuk pertama kalinya kelompok adat Bissu tidak mereka libatkan dalam upacara adat Hari Jadi Bone. Dengan semakin banyaknya penolakan atas Bissu ini, akhirnya didatangkanlah pejabat dari Kemanag dan BRIN untuk penguatan Pemkab Bone. “Tidak apa-apa Ci, untuk melestarikan budaya luhur Bissu di Bone.
Bissu itu adalah bagian dari kearifkan lokal yang perlu kita rawat karena memang leluhur gitu. Justru hal itu adalah solusi untuk orang bisa menjauhkan diri dari perbuatan-perbuatan yang menyimpang,” ujar Penyuluh Agama Islam Fungsional pada KUA Kecamatan Tanete Riattang, Kemenag Kabupaten Bone, Sulawesi Selatan ini.
Akhirnya, upaya ini bisa meluruskan segala hoaks yang beredar di masyarakat. Apalagi pemerintah kabupaten yang juga mendapat tekanan dari masyarakat atas keberadaan Bissu. Pertemuan para pihak yakni pemerintah dan komunitas Bissu berhasil mereka laksanakan meski harus mendapat penjagaan ekstra ketat baik oleh petugas berseragam maupun intel.
“Kegiatan kami satu-satunya yang mendapat perijinan dari pemerintah daerah yang menghadirkan Bissu. Kami datangkan Matoa Bissu sebagai pemuka Bissu bersama komunitasnya. Padahal dua tahun terakhir itu kegiatan yang menghadirkan Bissu dipastikan tidak mendapat perizinan. Dan itupun harus terjaga setidaknya oleh 17 intel di luar dan dalam lokasi FGD di ruang pertemuan hotel,” katanya.
Para intel itu memastikan, tidak ada pelibatan waria dalam FGD. “NO kami tidak melibatkan waria. Mereka semua Bissu bukan waria,” tegas Fatma yang memahami kekeliruan aparat yang mengira acara akan menjadi ajang pembenaran atas LGBT.
Sosialisasi ke Akar Rumput
Tak hanya sosialisasi kepada pemegang kuasa, Fatma juga memandang sosialisasi kepada masyarakat di tingkat grassroot sangatlah penting. Karena itu mereka melakukan sosialisasi dengan kelompok pemuda yang dalam hal ini dengan mahasiswa IAIN.
Setelah itu, sasaran sosialisasi ia lanjutkan ke majelis taklim. “Sulitnya pemahaman isu ini membuat sosialisasi majelis taklim terbatas hanya majelis taklim binaan saya. Penyuluh yang kurang memiliki latar belakang terkait advokasi bakal berat memahami isu ini. Apalagi kebanyakan penyuluh disini kebanyakan berlatar belakang pengajar TPA atau TPQ,” ucapnya.
Pengakuan atas komunitas adat Bissu ini juga mendapatkan dukungan dari ormas keagamaan di Bone. Setidaknya PCNU Bone, Muhammadiyah dan Ahmadiyah setempat hadir dalam FGD dan menyampaikan dukungannya. “PCNU Kabupaten Bone memberikan pernyataan ke kami, membenarkan bahwa Bissu bagian dari kita yang perlu kita rawat. Pointnya disana!” tegas Fatma.
Alumni SMA Negeri 2 Pare Kediri ini berharap, tim penggerak moderasi beragama di Kabupaten Bone tidak pernah lelah untuk terus menyuarakan isu-isu keragaman dan budaya. Kemudian, dialog terkait dengan penguatan moderasi agama dan budaya beserta ekosistem advokasinya terus berjalan. Dengan demikian tujuan agar stigma masyarakat kepada kelompok Bissu bisa terurai.
“Kami juga berharap pemerintah daerah memberikan dukungan untuk pelestarian dan menginisiasi adanya Perda Budaya yang tujuannya untuk penguatan eksistensi masyarakat adat ini. Karena mau nggak mau pelestarian budaya ini butuh dukungan kekuasaan dari pemerintah. Ini penting bagi masyarakat adat akan menjadi legalitas mereka terus lestari,” harap Fatma.
UU Pelestarian Budaya
Seperti kita ketahui, selama ini telah ada UU pelestarian budaya. Karena itu, Fatma juga mendorong UU tersebut diturunkan menjadi Perda yang menguatkan eksistensi masyarakat adat. Sebelumnya perda serupa sudah pernah terbit di Kabupaten Bulukumba. “Kami ingin keberadaan Bissu didukung pemerintah dengan penerbitan Perda Masyarakat Adat,” tukasnya.
Menurut Fatma hal ini penting agar budaya ini tidak punah. Mengingat, saat ini hanya tinggal 1 orang yang berhasil melewati serangkaian prosesi adat menjadi Bissu. “Hanya ada satu orang se-kabupaten Bone yang berhasil menjadi “Puang Matoa Bissu”. Sementara yang lainnya masih proses dan masih panjang perjalanannya untuk menjadi Bissu.
Bissu itu bukan tiba-tiba dilantik. Ada serangkaian prosesi panjang dan rumit untuk menjadi seorang Bissu. Jadi yang sekarang masih hidup tinggal 1 orang yang lainnya itu sudah meninggal dan belum ada kaderisasi. Apalagi pusat budaya mereka di “Bola Soba” terbakar beberapa waktu lalu,” tutur perempuan yang pernah aktif di Wahid Foundation ini. []