• Login
  • Register
Minggu, 22 Juni 2025
Keadilan dan Kesetaraan Gender - Mubadalah
Dukung kami dengan donasi melalui
Bank Syariah Indonesia 7004-0536-58
a.n. Yayasan Fahmina
  • Home
  • Aktual
  • Kolom
  • Khazanah
  • Rujukan
  • Tokoh
  • Monumen
  • Zawiyah
  • Kolom Buya Husein
No Result
View All Result
Keadilan dan Kesetaraan Gender - Mubadalah
  • Home
  • Aktual
  • Kolom
  • Khazanah
  • Rujukan
  • Tokoh
  • Monumen
  • Zawiyah
  • Kolom Buya Husein
Keadilan dan Kesetaraan Gender - Mubadalah
No Result
View All Result
Home Kolom Personal

Merawat Niat dalam 22 Tahun Pernikahan

Ketika kebosanan itu menghinggapi, salah satu solusinya adalah kembali pada niat awal pernikahan.

Ahsan Jamet Hamidi Ahsan Jamet Hamidi
17/02/2025
in Personal
0
22 Tahun Pernikahan

22 Tahun Pernikahan

1.3k
VIEWS
Share on FacebookShare on TwitterShare on Whatsapp

Mubadalah.id – Saya baru saja merayakan 22 tahun pernikahan. Seorang teman dekat menyampaikan ucapan selamat yang disertai dengan kata-kata menghibur. Menurutnya, ketika usia pernikahan sebuah pasangan sudah melewati angka dua puluh tahun, pintu kebahagiaan akan semakin terbuka.

Ibarat botol yang selama ini kosong, akhirnya ia menemukan tutupnya. Mengapa? Karena durasi waktu yang cukup lama itu memberikan kesempatan bagi pasangan untuk belajar menerima, memaklumi, dan menoleransi setiap perbedaan yang kadang membuat hubungan terasa tidak nyaman.

Pernikahan yang telah berlangsung selama itu sering kita sebut sebagai fase keemasan. Waktu yang cukup bagi pasangan untuk menjadi lebih dewasa, sehingga kebahagiaan mereka bisa menyempurna.

Pada fase ini, pasangan mencapai kedewasaan dalam hubungan, dengan komunikasi yang lebih baik, kesiapan lebih dalam menghadapi perubahan hidup, serta peningkatan kualitas hubungan intim yang berdasarkan pada saling menjaga rasa hormat dan kasih sayang.

Namun, ada pandangan dari teman lain yang berbeda. Dia mengatakan bahwa 20 tahun adalah waktu yang cukup bagi pasangan pernikahan untuk memutuskan hal-hal penting dalam hubungan mereka. Masa belajar memahami, menerima, dan menoleransi kebiasaan serta karakter negatif pasangan dianggap sudah cukup.

Baca Juga:

Kebaikan Yang Justru Membunuh Teman Disabilitas

Relasi Hubungan Seksual yang Adil bagi Suami Istri

Pentingnya Relasi Timbal Balik dalam Hubungan Intim Suami Istri

Fiqh Al Usrah: Menemukan Sepotong Puzzle yang Hilang dalam Kajian Fiqh Kontemporer

“Masak sudah belajar selama itu, kebiasaan buruk yang sama tetap tak bisa diubah? Berarti, perlu ada metode lain untuk mengubah perilaku pasangan. Mungkin perlu terapi kejutan!” kata seorang teman perempuan yang setengah frustrasi dengan perilaku negatif pasangannya.

Meski tak ada patokan pasti, 20 tahun adalah waktu yang cukup lama untuk seseorang belajar mewujudkan perubahan dalam dirinya. Pada fase itulah, pasangan harus menentukan sikap secara tegas, apakah akan melanjutkan ikatan pernikahan atau mengakhiri. Jika selama itu tak ada perubahan seperti yang disepakati, maka kesabaran pun harus ada batasnya.

Perubahan

Menjalani 22 tahun pernikahan, saya menyadari bahwa saya tidak pernah berada dalam satu situasi yang tetap. Saya lebih banyak berada dalam situasi yang samar, di antara dua kondisi kebatinan yang telah saya sebutkan sebelumnya. Tidak selalu dalam kegembiraan menyambut kebahagiaan, dan pun sebaliknya, saya—amit-amit—tidak pernah berada dalam situasi yang menginginkan mengakhiri pernikahan karena tidak tahan dengan amarah atau kejengkelan.

Tentu saya harus bersyukur karena berada di antara keduanya. Setiap keberhasilan kecil dalam usaha saya untuk menemukan kebahagiaan hidup patut saya syukuri. Saya pun tidak boleh lelah untuk terus berjuang, bersabar, serta memahami, menerima, dan menoleransi setiap sikap dan perilaku pasangan yang kadang membuat jengkel.

Seperti roda yang terus berputar, begitulah hubungan saya dan pasangan. Ketika hari ini saya yang membuat pasangan jengkel, esok atau lusa, pasangan saya pun bisa melakukan hal yang sama. Peristiwa itu terus berulang dengan berganti-ganti.

Saya berkesimpulan bahwa perubahan adalah hal yang paling konsisten dalam relasi pernikahan. Manusia terus berubah. Dari yang kasar bisa menjadi lembut, dari yang penuh perhatian menjadi abai, dari berantakan menjadi lebih rapi dan bersih, dari yang pendiam bisa berubah menjadi cerewet dan membosankan, atau sebaliknya.

Apakah perubahan itu akhirnya menjadi baik atau buruk, menyenangkan atau menjengkelkan? Masing-masing orang akan punya alasan sendiri untuk menilai dan merasakannya. Pola perubahan itu tak berlaku umum dan tidak selalu cocok untuk semua pasangan. Namun, berusaha mewujudkan dan menerima setiap perubahan adalah keniscayaan bagi setiap pasangan.

Kembali Pada Niat

Kebosanan adalah kenyataan lain dalam relasi pernikahan. Ada yang mengatakan bahwa kebosanan sejatinya hanyalah akibat. Ia muncul karena seseorang telah menodai komitmen pernikahan atau melakukan tindakan lain yang melukai perasaan pasangan. Kebosanan tidak terjadi hanya karena terjebak dalam rutinitas yang monoton.

Rasa bosan bisa muncul karena pasangan—mungkin—gemar membandingkan pasangannya dengan orang lain yang dianggap lebih baik, atau dalam kasus yang lebih ekstrem, seseorang telah mengalihkan perhatiannya kepada orang lain selain pasangannya.

Ketika kebosanan itu menghinggapi, salah satu solusinya adalah kembali pada niat awal pernikahan. Ada pepatah Arab yang mengatakan, “Buah dari setiap pekerjaan itu tergantung pada niat.” Itulah saatnya saya harus kembali pada niat pernikahan.

Jika niat saya menikahi pasangan hanya karena fisiknya yang menarik, maka saya harus siap menghadapi kekecewaan, karena kecantikan itu pasti akan memudar seiring waktu. Standar kecantikan yang dulu begitu istimewa, akan segera digantikan oleh karakter dan sifat asli yang tercermin dalam perilaku keseharian.

Jika saya menikahi pasangan hanya untuk melampiaskan hasrat seksual secara sah, saya pun harus siap menerima kenyataan bahwa dalam kehidupan sehari-hari, aktivitas seksual tidak akan mendominasi.

Jika niat saya menikahi pasangan hanya karena ingin memperoleh harta, jabatan, atau karir, saya harus siap menghadapi kenyataan bahwa semua itu tidak ada jaminannya. Tidak ada yang abadi di dunia ini—harta, jabatan, dan kekuasaan bisa lenyap dalam sekejap.

Melakukan tinjauan ulang terhadap niat dalam pernikahan dan berusaha untuk memperbaruinya, merupakan langkah penting dalam menjaga kehidupan rumah tangga yang tidak hanya menggembirakan, tetapi juga membahagiakan.

Ada dua hal yang akan selalu terjadi dalam perjalanan pernikahan, yaitu perubahan dan keunikan. Keduanya melekat pada kepribadian manusia dan akan senantiasa ada dalam setiap proses perjalanan rumah tangga yang kita jalani bersama, layaknya perahu kecil yang kita dayung bersama menuju pulau impian. []

 

Tags: 22 Tahun PernikahanCintaKesalinganRelasirumah tangga
Ahsan Jamet Hamidi

Ahsan Jamet Hamidi

Ketua Ranting Muhammadiyah Legoso, Ciputat Timur, Tangerang Selatan

Terkait Posts

Teman Disabilitas

Kebaikan Yang Justru Membunuh Teman Disabilitas

21 Juni 2025
Jangan Bermindset Korban

Bukan Sekadar “Jangan Bermindset Korban Kalau Ingin Sukses”, Ini Realita Sulitnya Jadi Perempuan dengan Banyak Tuntutan

21 Juni 2025
Lelaki Patriarki

Lelaki Patriarki : Bukan Tidak Bisa tapi Engga Mau!

19 Juni 2025
Kesalehan Perempuan

Kesalehan Perempuan di Mata Filsuf Pythagoras

16 Juni 2025
Pesantren Disabilitas

Sebuah Refleksi atas Kekerasan Seksual di Pesantren Disabilitas

16 Juni 2025
Catcalling

Mari Berani Bersuara Melawan Catcalling di Ruang Publik

15 Juni 2025
Please login to join discussion
No Result
View All Result

TERPOPULER

  • Fiqh Al Usrah

    Fiqh Al Usrah: Menemukan Sepotong Puzzle yang Hilang dalam Kajian Fiqh Kontemporer

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Pentingnya Relasi Timbal Balik dalam Hubungan Intim Suami Istri

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Stereotipe Perempuan sebagai Ibu Rumah Tangga

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Urgensi Ijtihad Fikih yang Berpihak Kepada Perempuan

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Bukan Sekadar “Jangan Bermindset Korban Kalau Ingin Sukses”, Ini Realita Sulitnya Jadi Perempuan dengan Banyak Tuntutan

    0 shares
    Share 0 Tweet 0

TERBARU

  • Kebaikan Yang Justru Membunuh Teman Disabilitas
  • Urgensi Ijtihad Fikih yang Berpihak Kepada Perempuan
  • Bukan Sekadar “Jangan Bermindset Korban Kalau Ingin Sukses”, Ini Realita Sulitnya Jadi Perempuan dengan Banyak Tuntutan
  • Relasi Hubungan Seksual yang Adil bagi Suami Istri
  • Mengapa Cinta Alam Harus Ditanamkan Kepada Anak Sejak Usia Dini?

Komentar Terbaru

  • Asma binti Hamad dan Hilangnya Harapan Hidup pada Mengapa Tuhan Tak Bergeming dalam Pembantaian di Palestina?
  • Usaha, Privilege, dan Kehendak Tuhan pada Mengenalkan Palestina pada Anak
  • Salsabila Septi pada Memaknai Perjalanan Hidup di Usia 25 tahun; Antara Kegagalan, Kesalahan dan Optimisme
  • Zahra Amin pada Perbincangan Soal Jilbab
  • Nolimits313 pada Perbincangan Soal Jilbab
  • Tentang
  • Redaksi
  • Kontributor
  • Kirim Tulisan
Kontak kami:
redaksi@mubadalah.id

© 2023 MUBADALAH.ID

Selamat Datang!

Login to your account below

Forgotten Password? Sign Up

Create New Account!

Fill the forms bellow to register

All fields are required. Log In

Retrieve your password

Please enter your username or email address to reset your password.

Log In

Add New Playlist

No Result
View All Result
  • Home
  • Aktual
  • Kolom
  • Khazanah
  • Rujukan
  • Tokoh
  • Monumen
  • Zawiyah
  • Kolom Buya Husein
  • Login
  • Sign Up

© 2023 MUBADALAH.ID