• Login
  • Register
Minggu, 14 Agustus 2022
Keadilan dan Kesetaraan Gender - Mubadalah
Dukung kami dengan donasi melalui
Bank Syariah Indonesia 7004-0536-58
a.n. Yayasan Fahmina
  • Home
  • Aktual
  • Kolom
  • Khazanah
  • Rujukan
  • Tokoh
No Result
View All Result
Keadilan dan Kesetaraan Gender - Mubadalah
  • Home
  • Aktual
  • Kolom
  • Khazanah
  • Rujukan
  • Tokoh
Keadilan dan Kesetaraan Gender - Mubadalah
No Result
View All Result
Home Kolom Publik

Merayakan Iduladha dalam Perspektif Perempuan

Soal bagaimana keluhuran akhlak Ibrahim sang bapak monoteisme dan Ishaq serta Ismail, jangan pernah melupakan peran besar dua orang perempuan atas nama Sarah dan Hajar, di mana mereka ikut andil dalam memberi sumbangsih besar demi terangnya peradaban Islam di dunia

Ela Nurlaela Ela Nurlaela
17/07/2021
in Publik, Rekomendasi
0
Iduladha

Iduladha

187
VIEWS
Share on FacebookShare on TwitterShare on Whatsapp

Mubadalah.id – Ada yang mesti kita ingat saat perayaan Iduladha, ia lebih dari sekedar nyate bersama atau merayakannya dengan semangkuk gulai. Ialah perjuangan serta ketabahan umat manusia tentang manisfestasi kecintaan seorang hamba pada sang pencipta.

Tak salah sebenarnya jika memaknai Idul Qurban sembari euforia bikin sate bersama, sebab ia kental dengan kehangatan solidaritas kemanusiaan. Lebih-lebih saudara atau bahkan keluarga kita yang jarang mengkonsumsi daging, semoga perayaan ini senantiasa menambah rasa syukur sekaligus semangat persaudaraan.

Kembali pada Iduladha, bertahun-tahun kita diwariskan sebuah kisah bahwa Iduladha ialah sebab musabab diturunkannya syariat qurban: salah satu ritual ibadah yang menjadi ciri seberapa besar makhluk mencintai sang pencipta. Bagaimana tidak? Ibrahim adalah utusan Allah, ia diberikan tugas menyampaikan risalah, meski seorang nabi diberi keistimewaan terbebas dari perbuatan melakukan salah bukan berarti hidup mereka terbebas dari masalah bukan?

Ibrahim lahir di keluarga dan kondisi sosial masyarakat yang mengharuskannya jujur sejak kecil. Ia lahir di Syam, ayahnya pembuat patung berhala, besar dihadapkan dengan seorang raja yang mengaku dirinya Tuhan dan harus menerima hukuman:dibakar. Meski pada kejadian tersebutlah kemudian ia menerima mukjizat yakni tidak hangus saat dibakar.

Ibrahim adalah Nabi yang taat, ia bapak monoteisme, membawa ajaran bahwa hanya Tuhan yang satulah yang wajib disembah (disebutkan dalam tulisan Prof. Quraish Shihab: Tuhan seru sekalian alam) dan Ka’bah adalah buah karyanya. Sebuah simbol sekaligus menjadi kiblat umat muslim.

Daftar Isi

  • Baca Juga:
  • Tidak Wajar Jika Perempuan Tidak Bisa Memasak, Benarkah?
  • Nabi Membela Perempuan Korban Kekerasan Seksual
  • Ketika Laki-Laki jadi Seksi Konsumsi, Lalu Perempuan Seksi Perlengkapan, Mengapa Tidak?
  • Jilbabisasi Paksa: Ketika Menutupi, Sebenarnya Mengekspos

Baca Juga:

Tidak Wajar Jika Perempuan Tidak Bisa Memasak, Benarkah?

Nabi Membela Perempuan Korban Kekerasan Seksual

Ketika Laki-Laki jadi Seksi Konsumsi, Lalu Perempuan Seksi Perlengkapan, Mengapa Tidak?

Jilbabisasi Paksa: Ketika Menutupi, Sebenarnya Mengekspos

Mari membaca Iduladha dalam perspektif perempuan yang tak kalah fundamental dan kerapkali jarang diceritakan tetapi sangat besar makna dan pelajarannya yakni ketokohan Siti Sarah dan Siti Hajar. Siapa mereka? Ya, keduanya adalah istri Nabi Ibrahim AS, ibu dari Ishaq dan Ismail. Sarah adalah istri pertama Ibrahim, ia adalah perempuan cantik sekaligus salehah ia juga konsisten mengawal tugas besar Ibrahim, ia mengajak masyarakat pada saat itu untuk menyembah satu Tuhan: bukan benda bukan cuaca bukan pula manusia yang berkuasa. Sayang takdir berkata lain, ia tak juga dikarunia anak dari pernikahannya dengan Nabi Ibrahim.

Sebagai manusia, Ibrahim dan Sarah jelas bersedih akan hal ini, mereka tentu membutuhkan keturunan (kebutuhan-kebutuhan seperti makan, minum, bersosialisasi, bereproduksi ini kemudian dalam kitab klasik disebut sebagai al a’radul basyariah: sifat-sifat kemanusiaan). Bagaimana dengan Sarah sudah pasti ia sangat terpukul, bukankan mitos bahwa perempuan sejati adalah ia yang bisa hamil dan melahirkan bukankah setiap perempuan mendambakan untuk menjadi seorang ibu?

Dan sudah pasti bisa dibayangkan bahwa umpatan orang terhadap seseorang yang tidak bisa melakukan tersebut sudah pasti sangat banyak. Cemooh dan ejekan sosial sudah pasti membanjiri telinga Sarah, apalah daya ia yang menanggung beban ini. Perasaan cemas, kesal  dan khawatir sudah pasti menyelimuti hatinya (bukankah setiap perempuan selalu takut tidak bisa memberi keturunan dan lalu ditinggalkan pasangan karena alasan ini meski suaminya seorang Nabi sekalipun) teman-teman mari melihat Sarah dengan kacamata sosial dan biologis sekaligus.

Dalam beberapa kisah diceritakan, karena sebab inilah Ibrahim kemudian menikah lagi dengan Hajar (seorang budak dari golongan kulit hitam). Diceritakan pula bahwa Hajar sebetulnya adalah budak d irumah Ibrahim dan Sarah. Jika posisi Hajar adalah budak, bisa dibayangkan bagaimana kondisi dia menjalani kehidupan. Ya, sangat rentan (rentan dijadikan barang dagangan, rentan diperas tenaganya secara semena-mena, bahkan rentan menjadi korban kekerasan baik seksual maupun bukan juga rentan menerima perlakuan kriminal seperti pembunuhan).

Beruntung jika ia kemudian dipekerjakan oleh Ibrahim di rumahnya setidaknya ia mendapat rasa aman, tapi bagaimana dengan Sarah? menurut beberapa kisah yang saya dengar, dan literatur yang saya baca justru Sarahlah yang menyarankan Ibrahim untuk menikahi Hajar.

Teman-teman saya berusaha untuk tidak munafik dalam tulisan ini, jangankan menyuruh pasangan untuk menikah lagi melihat dia agak genit dengan lawan jenis meskipun cuma sekedar candaan sudah membuat hati gundah, ini malah disuruh menikah lagi, memang hati siapa yang rela dibagi dua? (Soal ini, lupakan tentang seminar poligami yang para praktisinya merasa keren sampe ke ubun-ubun, sebab punya istri banyak, mereka cuma sombong dan mempolitisir ayat dan hadits demi kepuasan pribadi. Titik!)

Dan benar, di usia Ibrahim yang ke delapan puluh enam Hajar akhirnya dikarunia keturunan ia melahirkan bayi laki-laki yang diberi nama Ismail. Saat Ibrahim berusia seratus tahun Sarah juga akhirnya bisa hamil dan melahirkan bayi laki-laki yang kemudian diberi nama Ishaq. Bagi Ibrahim karena tidak mungkin ada dua orang istri berada dalam satu atap dan dirasa kurang kondusif akhirnya satu diantara mereka harus diam di suatu tempat.

Akhirnya, Hajarlah kemudian yang mendapat giliran itu, ia bersama Ismail yang masih kecil harus tinggal di sebuah tempat yang panas dan tandus (kini adalah Mekah). Saat persediaan makanan dan minuman Hajar habis Ismail kemudian meraung-raung menangis kelaparan, ia dengan sigap mencari cara agar Ismail bisa tetap terisi perutnya dan tidak kehausan, ia mencari bala bantuan tetapi pada siapa, ia bukan tinggal di tempat yang ramai dan dermawan penduduknya.

Lalu ia mencari air ke bukit Safa dan Marwah berlari kesana kemari bukan hanya satu kali tapi beberapa kali (bahkan disebutkan sampai tujuh kali) banyak versi mengenai bagaimana Hajar mendapatkan air salah satunya; ada malaikat yang memberi air, ada genangan air yang sengaja dibuat malaikat tetapi yang paling populer adalah karena hentakan kaki Ismail ke tanah yang kemudian memunculkan air. Air yang keluar inilah yang kemudian menjadi sumur zamzam (lokasinya tak jauh dari Ka’bah) sungguh berat perjuangan Hajar, ia merawat anak sendirian di lokasi yang sangat beresiko.

Baik Hajar maupun Sarah, keduanya mengajarkan ketulusan. Tentang bagaimana perjuangan, mencintai, merawat dan menghamba pada sang pencipta. Keduanya adalah manusia taat, peran dan ketokohan Ibrahim jelas tidak boleh dipisahkan dari dua perempuan hebat ini, mereka dengan gigih berjuang dan memberi asuhan terbaik untuk para keturunannya.

Bisa dibayangkan sehebat apapun Ibrahim jika tidak ada rahim Sarah dan Hajar tentu tidak akan ada Ishaq dan Ismail. dua orang Nabi penerus Ibrahim dengan akhlak yang sangat mulia. Hal ini tentu tidak lepas dengan pola pengasuhan yang diberikan Sarah dan Hajar. Jika Sarah harus menunggu lama untuk bisa punya keturunan dan sakit hati suaminya menikah lagi, apa kabar dengan Hajar yang justru anak kesayangannya harus dikorbankan untuk disembelih oleh suaminya sendiri.

Saya rasa kedua perempuan mulia itu merasakan ujian yang sama berat. Sekali lagi, satu yang harus dijadikan benang merah bukan Nabi Ibrahim yang memiliki istri lebih dari satu. Tetapi bagaimana satu sama lain kemudian saling menjaga, saling merawat, saling berjuang, dan meneguhkan diri pada sang khalik dalam setiap sendi kehidupan.

Soal bagaimana keluhuran akhlak Ibrahim sang bapak monoteisme dan Ishaq serta Ismail, jangan pernah melupakan peran besar dua orang perempuan atas nama Sarah dan Hajar, di mana mereka ikut andil dalam memberi sumbangsih besar demi terangnya peradaban Islam di dunia. Selamat merayakan Iduladha. Semoga sifat-sifat kehewanan dari diri, bisa kita sembelih. []

Tags: Iduladha 1442 Histri nabiKisah NabiMonoteismePeradaban DuniaperempuanSejarah NabiSyariat Islam
Ela Nurlaela

Ela Nurlaela

Alumni Fakultas Syariah dan Hukum UIN SGD Bandung dan tergabung dalam PMII Cabang Kabupaten Bandung

Terkait Posts

Makna Kemerdekaan

Makna Kemerdekaan bagi Para Penyintas Kesehatan Mental

14 Agustus 2022
Ketimpangan Gender

Masalah Ketimpangan Gender dalam Dunia Pendidikan

14 Agustus 2022
Nabi Melarang Menyakiti

Tegas! Nabi Melarang Menyakiti Warga Non-Muslim

13 Agustus 2022
Kesejahteraan Ibu

RUU KIA, Perdebatan Kesejahteraan Ibu dan Anak Negeri Ini

12 Agustus 2022
Akhlak Nabi

Akhlak Nabi Saw Kepada Pelayan yang Beragama Yahudi

12 Agustus 2022
Jilbabisasi Paksa

Jilbabisasi Paksa: Ketika Menutupi, Sebenarnya Mengekspos

11 Agustus 2022

Discussion about this post

No Result
View All Result

TERPOPULER

  • Berbagi Suami

    Ini Bukan tentang Drama Berbagi Suami, Tapi Nyata Ada

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Sebagai Manusia, Sudahkah Kita Beragama?

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Masalah Ketimpangan Gender dalam Dunia Pendidikan

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Fiqh Itu Tidak Statis

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Makna Kemerdekaan bagi Para Penyintas Kesehatan Mental

    0 shares
    Share 0 Tweet 0

TERBARU

  • Beri Sanksi Tegas Bagi Pelaku Nikah Sirri
  • Makna Kemerdekaan bagi Para Penyintas Kesehatan Mental
  • Masalah Ketimpangan Gender dalam Dunia Pendidikan
  • Keluarga Satu Visi Ala Nabi Ibrahim As (4)
  • Sebagai Manusia, Sudahkah Kita Beragama?

Komentar Terbaru

  • Tradisi Haul Sebagai Sarana Memperkuat Solidaritas Sosial pada Kecerdasan Spiritual Menurut Danah Zohar dan Ian Marshal
  • 7 Prinsip dalam Perkawinan dan Keluarga pada 7 Macam Kondisi Perkawinan yang Wajib Dipahami Suami dan Istri
  • Konsep Tahadduts bin Nikmah yang Baik dalam Postingan di Media Sosial - NUTIZEN pada Bermedia Sosial Secara Mubadalah? Why Not?
  • Tasawuf, dan Praktik Keagamaan yang Ramah Perempuan - NUTIZEN pada Mengenang Sufi Perempuan Rabi’ah Al-Adawiyah
  • Doa agar Dijauhkan dari Perilaku Zalim pada Islam Ajarkan untuk Saling Berbuat Baik Kepada Seluruh Umat Manusia
  • Tentang
  • Redaksi
  • Kontributor
Kontak kami:
redaksi@mubadalah.id

© 2021 MUBADALAH.ID

No Result
View All Result
  • Home
  • Aktual
  • Kolom
  • Khazanah
  • Rujukan
  • Tokoh
  • Login
  • Sign Up

© 2021 MUBADALAH.ID

Selamat Datang!

Login to your account below

Forgotten Password? Sign Up

Create New Account!

Fill the forms bellow to register

All fields are required. Log In

Retrieve your password

Please enter your username or email address to reset your password.

Log In

Add New Playlist