• Login
  • Register
Rabu, 22 Maret 2023
Keadilan dan Kesetaraan Gender - Mubadalah
Dukung kami dengan donasi melalui
Bank Syariah Indonesia 7004-0536-58
a.n. Yayasan Fahmina
  • Home
  • Aktual
  • Kolom
  • Khazanah
  • Rujukan
  • Tokoh
  • Kolom Buya Husein
No Result
View All Result
Keadilan dan Kesetaraan Gender - Mubadalah
  • Home
  • Aktual
  • Kolom
  • Khazanah
  • Rujukan
  • Tokoh
  • Kolom Buya Husein
Keadilan dan Kesetaraan Gender - Mubadalah
No Result
View All Result
Home Kolom Keluarga

Merebut Tafsir: Hari Tua

Dalam Islam, ajaran tentang birr al-walidayn—berbakti kepada orang tua sebetulnya sangatlah kuat. Sejumlah ayat menegaskan posisi penghormatan kepada orang tua yang selalu diletakkan tepat setelah kepatuhan kepada Tuhan. Bahkan digambarkan jika mereka mengajak kepada “jalan lain” kewajiban itu tetap melekat

Lies Marcoes Natsir Lies Marcoes Natsir
12/07/2022
in Keluarga
0
tua

tua

347
VIEWS
Share on FacebookShare on TwitterShare on Whatsapp

Mubadalah.id – Sore tadi, bicara berjam-jam dengan seorang sahabat yang kuanggap adik sendiri. Banyak hal yang dibicarakan: secara timbal balik bicara soal kehidupan sebagai orang tua tunggal, pekerjaan, anak-anak, kesehatan dan tentu soal yang sangat pribadi serta mimpi dan pengharapan.

Di satu titik kami pun membahas umur yang terus merayap. Bukan soal kematian yang terlalu dicemaskan (Insya Allah), tapi justru menghadapi hidup. “Sampai kapan kita harus bekerja, Mbak?”. Sebagai perempuan lajang di usia beranjak tua kami berdua tentu bersyukur bahwa kami masih bekerja, masih menerima bayaran dan masih dicari orang. Memang untuk mempertahankan itu niscaya tidak gampang, butuh stamina ekstra dalam usia yang merambat dan charger stamina yang tak selalu bisa didongkrak. Tapi nasib jutaan perempuan lain bagaimana? Tak mandiri secara ekonomi, tak bekerja lagi dan tak menyiapkan bantal ganjalan.

Pada perempuan dan lelaki niscaya ada persoalan yang tak sama menghadapi masa tua. Lelaki secara kultural dituntut lebih besar untuk mencukupi nafkah keluarga-istri, anak dan kerabat. Dalam kehidupan berpasangan, meski ada, jarang yang tetap melajang setelah terjadi perpisahan (entah cerai atau diceraikan Tuhan). Lelaki punya peluang untuk mencari pengganti yang tentunya bisa melayani kebutuhannya sebagai manusia, minimal meladeni dan menemani sisa hidupnya. Karenanya amat jarang lelaki yang akan memilih usia pasangan lebih tua, minimal setara, atau umumnya lebih muda. Tapi tatkala mereka tak bekerja dan telah masuk purnabakti apalagi tanpa pensiun, kehidupan lelaki tua niscaya tak lebih ringan dari perempuan. Status pencari nafkah bukankah lebih melekat kepada mereka? Ketika tak lagi bekerja apa guna mereka? Begitu kira-kira.

Pada perempuan jika masih ada anak dan kerabat, mereka lebih bisa diterima. Orang Aceh bilang perempuan itu peurumoh “yang empunya rumah”. Minimal ia punya tempat. Terkait mencari pasangan itu juga berbeda dari lelaki. Sebab, jika hendak mencari pasangan lagi, niscaya akan mencari yang lebih tua, mapan, minimal seusia. Memilih yang mapan secara finansial jelas menjadi kriteria, tapi mana ada lelaki siap kecuali perempuan itu pemilik warisan tujuh turunan atau pintar mempesona sebagai mitra. Sebab pada akhirnya memang persoalan hidup sehari-hari yang berbiaya yang harus senantiasa dihadapi dan diatasi.

Secara budaya dan psikologis, orang tua akan mengandalkan masa depannya pada anak-anaknya. Padahal mereka juga tahu bahwa anak juga punya prioritas. prioritas kehidupannya sendiri. Jadi secara praktis setiap orang tua memang harus menyiapkan kehidupannya sendiri untuk melalui masa tuanya. Untuk itu mereka harus bekerja sampai tua dan sempat menabung.

Daftar Isi

  • Baca Juga:
  • Pengalaman Dinafkahi Istri, Perlukah Merasa Malu?
  • Bagaimana al-Qur’an Berbicara Mengenai Gender?
  • Polemik Pembahasan Childfree Hingga Hari Ini
  • Mati Mencari Nafkah untuk Keluarga, Lebih Baik daripada Mati Berjihad

Baca Juga:

Pengalaman Dinafkahi Istri, Perlukah Merasa Malu?

Bagaimana al-Qur’an Berbicara Mengenai Gender?

Polemik Pembahasan Childfree Hingga Hari Ini

Mati Mencari Nafkah untuk Keluarga, Lebih Baik daripada Mati Berjihad

Sejumlah orang tua memiliki investasi dan tabungan, entah itu dari hasil usahanya di waktu muda, atau warisan dari orang tua mereka. Namun pada praktiknya, dalam tradisi kita, sangat jarang orang tua yang memanfaatkannya demi dirinya sendiri. Aneh rasanya, ada orang tua yang menjual rumah untuk bersenang-senang sendiri. Sebaliknya sangat biasa, orang tua yang hidupnya prihatin meskipun memiliki aset yang tak kecil. Rumah tinggalnya misalnya. Semua yang dimilikinya selalu diorientasikan bagi masa depan anak-anaknya. Dan ketika orang tua meninggal mereka menjualnya.

Ketiadaan jaminan tentang masa tua tanpa harus bekerja yang menghasilkan memang mencemaskan. Syukur kalau masih sempat menabung untuk masa tua, jika tidak?

Dalam Islam, ajaran tentang birr al-walidayn—berbakti kepada orang tua sebetulnya sangatlah kuat. Sejumlah ayat menegaskan posisi penghormatan kepada orang tua yang selalu diletakkan tepat setelah kepatuhan kepada Tuhan. Bahkan digambarkan jika mereka mengajak kepada “jalan lain” kewajiban itu tetap melekat. Namun ajaran itu, sejauh bacaan saya, hanya mengandung nilai-nilai normatif, “Tak boleh berkata buruk, tak boleh mengatakan cih!, tak boleh menyakiti hatinya.” Dalam sistem warisan memang ada hak yang juga dihitung, namun secara Umum hidup yang dihadapi jauh lebih kompleks. Ini bukan soal hubungan yang personal individual antara anak dan orang tua melainkan bagaimana menjadi sebuah sistem, “sistem kesejahteraan di hari tua”.

Di negara-negara dengan sistem yang memperhatikan kesejahteraan, tampaknya pemerintahnya memikirkan kesejahteraan yang dapat dirasakan merata oleh orang tua yang telah purnatugas. Panti-panti tak berbayar dengan aktivitas yang sepadan dengan usianya dibangun dengan pemikiran dan program yang matang. Lapangan pekerjaan yang dapat memfasilitasi orang untuk “bekerja sampai tua” juga tersedia dan dipikirkan.

Namun di negara-negara yang tak memperhatikan hal ini, kita sering melihat banyak orang tua yang pada kenyataannya benar-benar terlantar, tak sanggup menyumbang lagi dalam kehidupan, bahkan mungkin kehidupan anak-anaknya dan lalu merasa menjadi beban namun tetap memiliki kebutuhan ekonomi yang makin tidak kecil, apalagi jika sudah mulai sakit.

Tak kalah repot adalah untuk usia-usia “tanggung” -muda tidak, tua belum dengan lapangan pekerjaan yang makin sulit didapat sementara kebutuhan hidup tak dapat ditunda.

Dalam ajaran agama, situasi itu dibebankan kembali kepada anak sebagai bentuk hubungan resiprokal yang seolah niscaya adanya. Tapi bagi anak sendiri, bagaimanakah menjaga kehidupan dengan dua arah panah yang berlawanan membayar masa lalu dan menyicil masa depan?

Mungkin karena tak tersedianya jaminan masa tua yang pasti, orang lalu menjadi sangat rakus di usia kerja. Dan itu baik-baik saja. Tapi karena tak tersedianya jaminan itu orang lalu menganggap “masuk akal” untuk menabung dan menimbun. Patutlah bersyukur jika kita bekerja di sebuah jaringan kerja yang di dalamnya tak memungkinkan terjadinya korupsi. Jika tidak, jalan itu pun ditempuh dengan resiko menanggung kejahatan yang dibawa mati.

Saya melihat ada persoalan besar di sini, padahal setiap yang lahir niscaya menuju ke sana: sejahtera di hari tua tanpa meninggalkan beban kepada yang lain. Seharusnya ada solusi!. []

Tags: Ayah. Ibuhari tuakeluargaMerebut Tafsirorang tuatafsir
Lies Marcoes Natsir

Lies Marcoes Natsir

Direktur Rumah Kitab Jakarta

Terkait Posts

Marital Rape

Marital Rape itu Haram, Kok Bisa?

21 Maret 2023
Dinafkahi Istri

Pengalaman Dinafkahi Istri, Perlukah Merasa Malu?

20 Maret 2023
Generasi Strawberry

Self Diagnose, Parenting, dan Labelling: Penyebab Munculnya Generasi Strawberry

16 Maret 2023
Positive Vibes Keluarga

Pentingnya Kesalingan Membentuk Positive Vibes Keluarga

15 Maret 2023
Akhlak Mulia dalam Rumah Tangga

Tiket Masuk Majlis Rasulullah Saw adalah Akhlak Mulia dalam Rumah Tangga

14 Maret 2023
Terburu-buru Segera Menikah

Bestie, Jangan Terburu-buru untuk Segera Menikah

11 Maret 2023
Please login to join discussion
No Result
View All Result

TERPOPULER

  • Menjadi Minoritas

    Refleksi: Sulitnya Menjadi Kaum Minoritas

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Pentingnya Pembagian Kerja Istri dan Suami

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Nilai Inklusif dalam Perayaan Nyepi 2023

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Ramadan dan Nyepi; Lagi-lagi Belajar Toleransi

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Tips Aman Berpuasa untuk Ibu Hamil dan Menyusui

    0 shares
    Share 0 Tweet 0

TERBARU

  • Rahmat Allah Swt Untuk Orang Islam dan Orang Kafir
  • Islam Adalah Agama yang Menjadi Rahmat Bagi Seluruh Alam Semesta
  • Ramadan dan Nyepi; Lagi-lagi Belajar Toleransi
  • Nilai Inklusif dalam Perayaan Nyepi 2023
  • Pentingnya Pembagian Kerja Istri dan Suami

Komentar Terbaru

  • Perempuan Boleh Berolahraga, Bukan Cuma Laki-laki Kok! pada Laki-laki dan Perempuan Sama-sama Miliki Potensi Sumber Fitnah
  • Mangkuk Minum Nabi, Tumbler dan Alam pada Perspektif Mubadalah Menjadi Bagian Dari Kerja-kerja Kemaslahatan
  • Petasan, Kebahagiaan Semu yang Sering Membawa Petaka pada Maqashid Syari’ah Jadi Prinsip Ciptakan Kemaslahatan Manusia
  • Berbagi Pengalaman Ustazah Pondok: Pentingnya Komunikasi pada Belajar dari Peran Kiai dan Pondok Pesantren Yang Adil Gender
  • Kemandirian Perempuan Banten di Makkah pada Abad ke-20 M - kabarwarga.com pada Kemandirian Ekonomi Istri Bukan Melemahkan Peran Suami
  • Tentang
  • Redaksi
  • Kontributor
  • Kirim Tulisan
Kontak kami:
[email protected]

© 2023 MUBADALAH.ID

No Result
View All Result
  • Home
  • Aktual
  • Kolom
  • Khazanah
  • Rujukan
  • Tokoh
  • Kolom Buya Husein
  • Login
  • Sign Up

© 2023 MUBADALAH.ID

Selamat Datang!

Login to your account below

Forgotten Password? Sign Up

Create New Account!

Fill the forms bellow to register

All fields are required. Log In

Retrieve your password

Please enter your username or email address to reset your password.

Log In

Add New Playlist