• Login
  • Register
Rabu, 9 Juli 2025
Keadilan dan Kesetaraan Gender - Mubadalah
Dukung kami dengan donasi melalui
Bank Syariah Indonesia 7004-0536-58
a.n. Yayasan Fahmina
  • Home
  • Aktual
  • Kolom
  • Khazanah
  • Rujukan
  • Tokoh
  • Monumen
  • Zawiyah
  • Kolom Buya Husein
No Result
View All Result
Keadilan dan Kesetaraan Gender - Mubadalah
  • Home
  • Aktual
  • Kolom
  • Khazanah
  • Rujukan
  • Tokoh
  • Monumen
  • Zawiyah
  • Kolom Buya Husein
Keadilan dan Kesetaraan Gender - Mubadalah
No Result
View All Result
Home Kolom Publik

Mitos Maskulinitas yang Memarjinalkan Laki-laki Korban Pelecehan

Melihat kondisi ini, menjadi penting untuk RUU TPKS segera disahkan karena data dan fakta menunjukkan bahwa kekerasan seksual tidak hanya menyasar perempuan, tapi juga laki-laki

Hasna Azmi Fadhilah Hasna Azmi Fadhilah
04/01/2022
in Publik
0
Gangguan Mental

Gangguan Mental

277
VIEWS
Share on FacebookShare on TwitterShare on Whatsapp

Mubadalah.id – Beberapa waktu lalu, seorang pria muda asal Tarakan ditangkap pihak kepolisian atas laporan pencabulan 12 anak laki-laki. Menurut pemeriksaan sementara, ia menjerat para korban dengan akun palsu menggunakan foto perempuan di media sosial.

Para korban anak lelaki itu rata-rata berusia 15 sampai 16 tahun dan masih berpendidikan SMP. Ketika korban sudah terjerat bujuk rayunya, tersangka lalu minta foto korban yang memperlihatkan alat vitalnya. Kemudian mengajak korban melakukan pertemuan dan mereka juga diancam untuk menyebarkan foto korban bila tidak mengikuti kehendaknya. Yang menyedihkan, tersangka terindikasi positive HIV/AIDS yang kemungkinan berisiko menjangkiti korban pencabulannya.

Kasus naas dari Kalimantan Timur tersebut semakin menambah daftar panjang laporan Studi Kuantitatif Barometer Kesetaraan Gender yang diluncurkan Indonesia Judicial Research Society (IJRS) dan INFID Tahun 2020, dimana tercatat ada 33% laki-laki yang mengalami kekerasan seksual khususnya dalam bentuk pelecehan seksual.

Meski persentasenya jauh lebih kecil, namun sama halnya dengan korban pelecehan dari kaum hawa, jauh lebih banyak korban yang enggan speak up karena dilatarbelakangi oleh banyak faktor, termasuk ketidakpercayaan lingkungan sekitar. Bahkan ketika sudah menyampaikan pun, kisah mereka seringkali dihakimi karena dianggap tindakan pelecehan laki-laki hanyalah joke yang tidak perlu dianggap serius, seperti kasus yang dialami oleh pegawai KPI baru-baru ini.

Padahal data dari Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) memperlihatkan bahwa korban kekerasan seksual di tahun 2018 lebih banyak dialami oleh anak laki-laki, di mana ada 60% anak laki-laki dan 40% anak perempuan menjadi korban kekerasan seksual. Lebih lanjut, catatan dari Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak di tahun 2017 lalu, menunjukkan bahwa untuk kelompok umur 13-17 tahun prevalensi kekerasan seksual terlihat lebih tinggi pada laki-laki dibanding perempuan yaitu sebesar 8,3% atau dua kali lipat dari prevalensi kekerasan seksual pada perempuan yang mencapai 4,1%.

Baca Juga:

Ketika Istilah Marital Rape Masih Dianggap Tabu

Ketika Patung Molly Malone Pun Jadi Korban Pelecehan

Kekerasan Seksual Bisa Dicegah Kalau Islam dan Freud Ngobrol Bareng

Difabel dan Kekerasan Seksual: Luka yang Sering Tak Dianggap

Hasil riset tadi semakin mematahkan mitos bahwa laki-laki hanya bisa menjadi pelaku pelecehan seksual saja. Selama ini terlanjur menjadi kepercayaan salah kaprah bahwa kasus laki-laki yang menjadi korban pemerkosaan adalah hal yang tidak masuk akal, laki-laki dianggap selalu menginginkan hubungan seksual—sehingga mereka tidak bisa diperkosa.

Laki-laki harus cukup kuat untuk bisa melawan—sehingga mereka seharusnya dapat melawan dan kejahatan perkosaan hampir tidak mungkin terjadi. Mitos tersebut berkontribusi pada budaya di mana pemerkosaan terhadap laki-laki seringkali diabaikan dan tidak dilaporkan. Nyatanya, realitas memperlihatkan, sama halnya dengan perempuan, laki-laki pun telah banyak yang menjadi korban pelecehan.

Sama halnya dengan korban perempuan, laki-laki dan anak laki-laki yang telah diserang atau dilecehkan secara seksual akan memiliki perasaan dan bereaksi yang sama seperti para penyintas kekerasan seksual lainnya, tetapi mereka juga menghadapi beberapa tantangan tambahan karena sikap sosial dan stereotip tentang laki-laki dan maskulinitas yang disalahpahami.

Temuan dari RAINN, suatu organisasi yang bergerak dalam kerja-kerja anti kekerasan seksual di Amerika, menemukan bahwa beberapa pria yang selamat dari serangan seksual saat dewasa merasa malu atau ragu, percaya bahwa mereka seharusnya “cukup kuat” untuk melawan pelaku. Banyak pria yang mengalami ereksi atau ejakulasi selama penyerangan mungkin bingung dan bertanya-tanya apa artinya ini.

Respon fisiologis normal ini sama sekali tidak menyiratkan bahwa mereka bukan menginginkan, mengundang, atau menikmati serangan itu. Reaksi-reaksi tadi adalah respon fisik dari tubuh ketika ada rangsangan yang masuk. Dan hal itu bukan merupakan bentuk pembenaran bahwa pelecehan seksual adalah suatu yang normal.

Laki-laki yang mengalami pelecehan seksual di usia kanak-kanak atau remaja akan merespon secara berbeda dari pria yang mengalami pelecehan seksual saat dewasa. Dampak yang ditimbulkan sangatlah beragam, namun semua itu berkonsekuensi negatif terhadap kesehatan mental para korban.

Di antara tanda-tandanya antara lain: merasa seperti “kurang jantan” karena tidak lagi memiliki kendali atas tubuh sendiri; terus menerus merasa gelisah, tidak bisa rileks, dan sulit tidur; kerap merasa bersalah atau malu karena tidak bisa menghentikan serangan atau pelecehan, terutama jika secara refleks tubuh mengalami ereksi atau ejakulasi.

Jika saat dilecehkan, korban memiliki pasangan atau memiliki sahabat dekat, secara teratur ia akan menarik diri dari hubungan atau pertemanan dan rasa keterasingan yang meningkat; hingga memiliki kekhawatiran lebih untuk menyampaikan kejadian yang dialami karena takut akan penghakiman atau ketidakpercayaan dari orang-orang di sekitarnya.

Melihat kondisi ini, menjadi penting untuk RUU TPKS segera disahkan karena data dan fakta menunjukkan bahwa kekerasan seksual tidak hanya menyasar perempuan, tapi juga laki-laki. Sebagai contoh, kekerasan seksual yang dialami pegawai KPI baru terkuak tahun ini, padahal ia telah mengalami perlakuan tidak menyenangkan tersebut bertahun-tahun lamanya. Hal ini semakin memperlihatkan bagaimana dampak negatif dan trauma berat yang menekan korban untuk urung speak up.

Oleh sebab itu penting bagi DPR dan pemerintah untuk segera mengesahkan regulasi tersebut agar budaya maskulinitas rapuh yang masih diamini oleh mayoritas kita tidak menimbulkan lebih banyak korban lagi. []

Tags: Kekerasan seksualkorbanSahkan RUU TPKS
Hasna Azmi Fadhilah

Hasna Azmi Fadhilah

Belajar dan mengajar tentang politik dan isu-isu perempuan

Terkait Posts

Melawan Perundungan

Melawan Perundungan dengan Asik dan Menyenangkan

9 Juli 2025
Nikah Massal

Menimbang Kebijakan Nikah Massal

8 Juli 2025
Intoleransi di Sukabumi

Intoleransi di Sukabumi: Ketika Salib diturunkan, Masih Relevankah Nilai Pancasila?

7 Juli 2025
Retret di sukabumi

Pengrusakan Retret Pelajar Kristen di Sukabumi, Sisakan Trauma Mendalam bagi Anak-anak

7 Juli 2025
Ahmad Dhani

Ahmad Dhani dan Microaggression Verbal pada Mantan Pasangan

5 Juli 2025
Tahun Hijriyah

Tahun Baru Hijriyah: Saatnya Introspeksi dan Menata Niat

4 Juli 2025
Please login to join discussion
No Result
View All Result

TERPOPULER

  • Pernikahan Tradisional

    Sadar Gender Tak Menjamin Bebas dari Pernikahan Tradisional

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Kemanusiaan sebagai Fondasi dalam Relasi Sosial Antar Manusia

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Mengapa Perempuan Lebih Religius Daripada Laki-laki?

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Mengapa Pengalaman Biologis Perempuan Membatasi Ruang Geraknya?

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Mengebiri Tubuh Perempuan

    0 shares
    Share 0 Tweet 0

TERBARU

  • Melawan Perundungan dengan Asik dan Menyenangkan
  • Relasi Imam-Makmum Keluarga dalam Mubadalah
  • Mengebiri Tubuh Perempuan
  • Mengapa Perempuan Lebih Religius Daripada Laki-laki?
  • Mengapa Pengalaman Biologis Perempuan Membatasi Ruang Geraknya?

Komentar Terbaru

  • M. Khoirul Imamil M pada Amalan Muharram: Melampaui “Revenue” Individual
  • Asma binti Hamad dan Hilangnya Harapan Hidup pada Mengapa Tuhan Tak Bergeming dalam Pembantaian di Palestina?
  • Usaha, Privilege, dan Kehendak Tuhan pada Mengenalkan Palestina pada Anak
  • Salsabila Septi pada Memaknai Perjalanan Hidup di Usia 25 tahun; Antara Kegagalan, Kesalahan dan Optimisme
  • Zahra Amin pada Perbincangan Soal Jilbab
  • Tentang
  • Redaksi
  • Kontributor
  • Kirim Tulisan
Kontak kami:
redaksi@mubadalah.id

© 2023 MUBADALAH.ID

Selamat Datang!

Login to your account below

Forgotten Password? Sign Up

Create New Account!

Fill the forms bellow to register

All fields are required. Log In

Retrieve your password

Please enter your username or email address to reset your password.

Log In

Add New Playlist

No Result
View All Result
  • Home
  • Aktual
  • Kolom
  • Khazanah
  • Rujukan
  • Tokoh
  • Monumen
  • Zawiyah
  • Kolom Buya Husein
  • Login
  • Sign Up

© 2023 MUBADALAH.ID