• Login
  • Register
Selasa, 21 Maret 2023
Keadilan dan Kesetaraan Gender - Mubadalah
Dukung kami dengan donasi melalui
Bank Syariah Indonesia 7004-0536-58
a.n. Yayasan Fahmina
  • Home
  • Aktual
  • Kolom
  • Khazanah
  • Rujukan
  • Tokoh
  • Kolom Buya Husein
No Result
View All Result
Keadilan dan Kesetaraan Gender - Mubadalah
  • Home
  • Aktual
  • Kolom
  • Khazanah
  • Rujukan
  • Tokoh
  • Kolom Buya Husein
Keadilan dan Kesetaraan Gender - Mubadalah
No Result
View All Result
Home Kolom Publik

Mitos Pemerkosaan: Dosa Terbesar Masyarakat pada Korban-korban Kekerasan Seksual

Kasus kekerasan seksual yang menjadi viral patut diapresiasi, setidaknya karena membuat publik memberikan dukungan, dan menaruh perhatian pada kasus-kasus kekerasan seksual yang terjadi

Cut Novita Srikandi Cut Novita Srikandi
11/12/2021
in Publik, Rekomendasi
0
Masyarakat

Masyarakat

249
VIEWS
Share on FacebookShare on TwitterShare on Whatsapp

Mubadalah.id – “Sudah jatuh tertimpa tangga pula”, inilah yang dialami oleh Novia Widyasari. Seorang mahasiswi dan calon guru dari sebuah universitas terkemuka di kota Malang, yang memutuskan untuk mengkhiri hidupnya di atas pusara sang ayah yang dicintainya, pada Kamis 2 Desember 2021. Depresi, tekanan dan penderitaan batin yang dialami Novia, mendorongnya untuk menenggak sebotol larutan sinida ditemani red velvet kesukaannya.

Tidak ada yang setuju dengan keputusan Novi untuk menyerah pada takdir, namun ia adalah korban dari betapa kejam stigma dan penghakiman masyarakat terhadap para penyintas kekerasan seksual. Sebelumnya, Novi adalah mahasiswi yang berprestasi. Kesehariannya diisi dengan kuliah dan menjadi guru privat bahasa Inggris, sampai akhirnya ia berkenalan dengan seorang laki-laki yang kemudian menghancurkan hidup dan masa depannya.

Dalam chat yang ia kirim ke temannya, Novia mengakui telah diperkosa oleh kekasihnya sendiri setelah sebelumnya diberi obat dan tidak sadarkan diri. Beberapa bulan pasca diperkosa, Novia kemudian dinyatakan hamil, dan ia meminta pertanggung jawaban kepada laki-laki yang menghamilinya.

Namun yang didapat hanyalah kekecewaan, karena oleh laki-laki itu, Novia diminta untuk mengaborsi bayi dalam kandungannya. Bahkan Ibu dari laki-laki itu juga memintanya untuk melakukan hal yang sama dengan dalih sang pacar baru saja diterima menjadi polisi. Akhirnya, ia pun dipaksa menenggak pil penggugur kandungan sampai ia mengalami keguguran.

Penderitaan Novi tidak hanya sampai di situ. Ia pun terus menerus menerima penghakiman dari masyarakat, termasuk pamannya sendiri. Bukan perlindungan yang ia dapatkan dari keluarga besarnya, melainkan penghakiman dan pengutukan.

Daftar Isi

  • Baca Juga:
  • Kekerasan Seksual: Korban tidak selalu Perempuan, Pelaku tidak selalu Laki-laki
  • Budaya Patriarki Picu Perempuan Jadi Mayoritas Korban Kekerasan Seksual
  • Kamu Harus Tahu! Hak-hak Korban Kekerasan Seksual dalam UU TPKS
  • Jangan Menuduh Korban Kekerasan Seksual tidak Melakukan Perlawanan!

Baca Juga:

Kekerasan Seksual: Korban tidak selalu Perempuan, Pelaku tidak selalu Laki-laki

Budaya Patriarki Picu Perempuan Jadi Mayoritas Korban Kekerasan Seksual

Kamu Harus Tahu! Hak-hak Korban Kekerasan Seksual dalam UU TPKS

Jangan Menuduh Korban Kekerasan Seksual tidak Melakukan Perlawanan!

Kisah Novia Widyasari memancing amarah publik, khususnya bagi mereka yang memperjuangkan para korban dan penyintas kekerasan seksual yang sering diabaikan, hingga kemudian kisah ini menjadi viral dan diwarnai oleh hastag #SAVENOVIAWIDYASARI

Kasus kekerasan seksual yang sempat viral di media sosial bukan hanya sekali dua kali saja terjadi di Indonesia. Banyak cerita kasus kekerasan seksual sempat viral di media sosial dan mendapatkan perhatian publik, yang ditandai dengan munculnya berbagai hastag untuk mendukung korban. Fenomena ini terjadi karena korban tidak mendapatkan penyelesaian yang memuaskan, seperti kurangnya alat bukti sehingga sulit untuk mendapat keadilan.

Para korban juga kerap diminta untuk menyelesaikan secara kekeluargaan. Mereka yang merasa belum puas ini, akhirnya mencari keadilan melalui jalan lain, yaitu membagikan kisahnya di media sosial, atau mencari pendamping untuk men-support mereka agar berani speak up di depan publik. Akan tetapi, tidak selamanya para penyintas yang membagikan ceritanya di media sosial ini dapat selalu menjadi viral, karena banyak juga yang ceritanya tertanam dalam ruang siber.

Pada faktanya, kekerasan seksual juga sering tidak dilaporkan kepada pihak yang berwajib. Ini disebabkan oleh berbagai faktor seperti; penyangkalan, takut, rasa bersalah, bingung, dan malu yang dirasakan korban. Khususnya sikap dalam menghadapi pandangan masyarakat yang cenderung menghakimi korban. Hal ini mengingatkan saya pada tulisan Marta Burt (1980) yang berjudul “Cultural Myths and Supports for Rape”.

Penelitian Burt merupakan langkah awal untuk memberikan landasan empiris bagi kombinasi analisis teoretis psikologis sosial dan feminis tentang sikap pemerkosaan dan pendahulunya.

Mitos dalam hal ini didefinisikan sebagai keyakinan salah yang merugikan, tentang tindak pemerkosaan, korban, dan pelaku, yang didasarkan oleh stereotip yang berkembang di masyarakat sehingga menciptakan ketidakberpihakan, bahkan penghakiman pada korban pemerkosaan.

Contoh mitos pemerkosaan ini misalnya, “Perempuan diperkosa karena pakaiannya memancing untuk diperkosa”; “Hanya perempuan nakal yang diperkosa”;  “Perempuan dapat menolak diperkosa jika dia benar-benar berniat untuk melakukannya”;  “Sebenarnya perempuan yang meminta untuk diperkosa”; “perempuan melaporkan pemerkosaan karena dia merasa dicampakkan oleh pelaku” dan yang paling sering berkembang di masyarakat, “Pelaku pemerkosaan adalah mereka yang mengalami kelainan seksual dan terganggu jiwanya”.

Penelitian Burt menunjukkan adanya hubungan antara penerimaan mitos pemerkosaan di masyarakat dengan stereotipe peran gender dan Penerimaan kekerasan interpersonal. Penerimaan mengacu pada gagasan bahwa kekuatan dan paksaan adalah cara yang sah untuk mendapatkan kepatuhan dan secara khusus bahwa mereka bisa saja terjadi dalam hubungan intim dan seksual.

Penerimaan kekerasan interpersonal adalah penentu terkuat penerimaan mitos pemerkosaan dalam masyarakat. Jika stereotip peran gender adalah prasyarat untuk menempatkan perempuan selalu menjadi calon korban seksual, penerimaan kekerasan interpersonal merupakan pendorong sikap tindakan penyerangan dan pemerkosaan hanyalah salah satu cara ekspresinya.

Dampak dari mitos pemerkosaan yang diyakini oleh masyarakat bahkan penegak hukum adalah sulitnya mencari keadilan bagi korban pemerkosaan. Kredibilitas korban pemerkosaan/pelapor kerap dipertanyakan untuk meyakinkan para penegak hukum, dari polisi hingga hakim. Jika perempuan yang menjadi korban dan melapor dinilai sebagai bukan ‘perempuan baik-baik’, maka ia cenderung kurang dipercaya sehingga tidak mendapat keadilan, bahkan dilecehkan, baik dalam bentuk verbal maupun kekerasan fisik.

Dengan kata lain, mitos pemerkosaan bukan hanya diyakini oleh para pelaku, melainkan cukup mendikte pemikiran masyarakat umum untuk menyudutkan korban, sehingga memperbesar kemungkinan korban enggan untuk melaporkan apa yang terjadi, karena takut akan mengalami berbagai bentuk  pelecehan lainnya dan kekerasan lanjutan dari masyarakat.

Dampak lebih sadisnya dari berkembang luasnya mitor pemerkosaan ini adalah bahwa kita sebagai bagian dari masyarakat turut serta membangun “The Rape Culture.” Novia Widyasari adalah contoh konkret dari dampak mitos pemerkosaan yang berkembang dalam masyarakat

Kasus kekerasan seksual yang menjadi viral patut diapresiasi, setidaknya karena membuat publik memberikan dukungan, dan menaruh perhatian pada kasus-kasus kekerasan seksual yang terjadi. Meski demikian, menjadi viral baru sebuah awalan untuk proses penyelesaian kasus yang panjang dan berliku. Cerita viral tidak selalu berakhir bahagia. Beberapa cerita berakhir tanpa penyelesaian dan bahkan berujung pada kriminalisasi korban dengan dalih Undang-Undang (UU) Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE).

Oleh karena itu, diperlukan langkah hukum yang nyata untuk menanggulangi ini semua, seperti adanya undang-undang yang selain membahas aspek hukum dan pidana untuk pelaku kekerasan seksual, tetapi juga membahas bagaimana mengubah pola pikir masyarakat dalam memandang kekerasan seksual. []

 

Tags: korban kekerasan seksualmitos pemerkosaannovia widyasari
Cut Novita Srikandi

Cut Novita Srikandi

Alumni Women Writers Conference Mubadalah tahun 2019, Dosen dan Peneliti Sastra

Terkait Posts

Peminggiran Peran Perempuan

Siti Walidah: Ulama Perempuan Progresif Menolak Peminggiran Peran Perempuan

21 Maret 2023
Travel Haji dan Umroh

Bagaimana Menghindari Penipuan Biro Travel Umroh dan Haji?

20 Maret 2023
Perempuan Harus Berpolitik

Ini Alasan, Mengapa Perempuan Harus Berpolitik

19 Maret 2023
Pembahasan Childfree

Polemik Pembahasan Childfree Hingga Hari Ini

18 Maret 2023
Pembuktian Perempuan

Cerita tentang Raisa; Mimpi, Ambisi, dan Pembuktian Perempuan

18 Maret 2023
Bimbingan Skripsi, Kekerasan Seksual

Panduan Bimbingan Skripsi Aman dari Kekerasan Seksual

17 Maret 2023
Please login to join discussion
No Result
View All Result

TERPOPULER

  • Rethink Sampah

    Meneladani Rethink Sampah Para Ibu saat Ramadan Tempo Dulu

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Tujuan Perkawinan Dalam Al-Qur’an

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Prinsip Perkawinan Menjadi Norma Dasar Bagi Pasangan Suami Istri

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Siti Walidah: Ulama Perempuan Progresif Menolak Peminggiran Peran Perempuan

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Webinar Zakat Peduli Perempuan Korban Kekerasan akan Digelar Nanti Malam

    0 shares
    Share 0 Tweet 0

TERBARU

  • Perempuan Juga Wajib Bekerja
  • Siti Walidah: Ulama Perempuan Progresif Menolak Peminggiran Peran Perempuan
  • Prinsip Perkawinan Menjadi Norma Dasar Bagi Pasangan Suami Istri
  • Marital Rape itu Haram, Kok Bisa?
  • Webinar Zakat Peduli Perempuan Korban Kekerasan akan Digelar Nanti Malam

Komentar Terbaru

  • Perempuan Boleh Berolahraga, Bukan Cuma Laki-laki Kok! pada Laki-laki dan Perempuan Sama-sama Miliki Potensi Sumber Fitnah
  • Mangkuk Minum Nabi, Tumbler dan Alam pada Perspektif Mubadalah Menjadi Bagian Dari Kerja-kerja Kemaslahatan
  • Petasan, Kebahagiaan Semu yang Sering Membawa Petaka pada Maqashid Syari’ah Jadi Prinsip Ciptakan Kemaslahatan Manusia
  • Berbagi Pengalaman Ustazah Pondok: Pentingnya Komunikasi pada Belajar dari Peran Kiai dan Pondok Pesantren Yang Adil Gender
  • Kemandirian Perempuan Banten di Makkah pada Abad ke-20 M - kabarwarga.com pada Kemandirian Ekonomi Istri Bukan Melemahkan Peran Suami
  • Tentang
  • Redaksi
  • Kontributor
  • Kirim Tulisan
Kontak kami:
[email protected]

© 2023 MUBADALAH.ID

No Result
View All Result
  • Home
  • Aktual
  • Kolom
  • Khazanah
  • Rujukan
  • Tokoh
  • Kolom Buya Husein
  • Login
  • Sign Up

© 2023 MUBADALAH.ID

Selamat Datang!

Login to your account below

Forgotten Password? Sign Up

Create New Account!

Fill the forms bellow to register

All fields are required. Log In

Retrieve your password

Please enter your username or email address to reset your password.

Log In

Add New Playlist