Mubadalah.id – Perum Karang Wulan No. 14 terletak di jalan Sembah Dzatu. Dekat juga dengan Kota Kabupaten, Pusat Perbelanjaan, Mall, dan Restoran Bintang 5. Perum ini dulunya area persawahan yang membentang dari ufuk timur hingga barat. Area tersebut adalah satu-satunya sawah yang tersisa di Kabupaten.
Rumah penduduk tak jauh dari sana, yang aku dan keluargaku turut tinggal dalam wilayahnya. Namun semenjak proyek pembangunan perumahan mulai bergerak, perlahan tempat tinggal kami ikut tergusur. Desa kami juga ikut disulap menjadi area pertokoan elektronik.
Salah seorang mandor mengusir kami paksa dari desa dengan pesangon yang tak seberapa. Mulanya kami memberontak. Aku dan suamiku turut melakukan aksi protes. Namun tak lama kemudian aku keheranan, ketika suamiku tiba-tiba berubah dan menyetujui perpindahan kami.
Aku, Haria
“Tenang saja, Dik. Kita tidak pindah dari wilayah ini. Hanya pindah tempat tinggal, Har,” kata suamiku, dengan tatapan misterius.
“Kita akan menempati salah satu perum itu.” Tangannya menunjuk sebuah rumah mungil yang elegan.
“Lalu nanti kita kerja apa, Mas?” tanyaku.
“Gampang. Itu sudah diatur.”
Aku tak tahu apa-apa. Tapi ucapannya terbukti. Kami menempati salah satu rumah. Semakin hari kulihat suamiku memperoleh uang banyak hingga mencukupi kebutuhan kami. Kami pun bisa mengirim uang ke orang tua kami yang sudah pindah dari desa ini.
“Kalau Mas berhasil mengajak warga untuk tetap tinggal di sini dan menyewa satu rumah sambil ada yang mau bekerja sebagai mandor, Mas akan dapat imbalan.”
Namun lambat laun, meski tak tahu aku sadar bahwa semuanya gagal. Suamiku tak handal mengatasi semuanya hingga dengan getir tubuh perempuanku ini mendengar kalau dia memiliki hutang.
Aku, Suami Haria
“Sepertinya judi, Har.”
Suamiku telah menerima uang banyak, namun dia malah menggunakan uang itu untuk hal yang mudharat, bahkan haram. Yakni perjudian.
“Itu namanya menggandakan uang, Haria.”
“Tapi mana hasilnya, Mas?” tuntutku.
Sampai kemudian, tiba-tiba perangainya berubah.
Aku, Vas Bunga
“Mas, kenapa?”
“Jangan, Mas. Ini simpanan kita satu-satunya.”
Suamiku malah mendorong tubuh perempuanku agar menjauh dari jangkauan lemari tempat kalung itu disimpan.
Aku terjatuh.
“Awas, kau!”
“Dasar istri pembawa sial!”
Aku berhasil meraih kotak kalung itu. Tarik-menarik dngan suamiku memperebutkan kalung itu terjadi dengan sengit. Hingga aku tak menyadari, ketika suamiku mengambil vas bunga dan memukulkannya ke kepalaku. Kepalaku berdarah. Setelahnya gelap.
Aku, Seorang Perempuan di Sebuah Kamar
Setelah kejadian itu aku tak ingat apa-apa. Tiba-tiba saja aku merasa kosong. Tubuh perempuanku seolah menjalani hari yang sama setiap hari. Namun anehnya, suatu hari perum tempatku tinggal kedatangan orang baru.
Aku tinggal sendirian di kamar ini. Aku tak melihat seorang pun di luar sana. Bahkan diriku seakan tak ingin keluar dari kamarku ini. Sehingga aku merasa nyaman berada di kamarku. Setiap hari aku merasakan euforia yang sama. Bangun tidur, duduk merenung di samping ranjang, melihat gugur dedaunan dari balik jendela sambil melihat semilir angin yang iseng menggoda ranting-ranting di pohon palem depan rumahku.
Aku tak mengingat sedikit pun tentang suamiku. Yang kuingat setiap hari pada masa-masa itu, adalah suamiku bekerja dan sedikit ingatan saat dia meminta kalungku. Selain itu, aku tak mengingat apa pun. Keseharianku bersama tubuh perempuan ini, duduk-duduk di sini, ialah untuk menunggu suamiku. Ingin menanyakan perihal kalung itu.
Aku, Para Penghuni
Setiap hari perumku ini kedatangan penghuni baru. Bermacam-macam profesi dan kepribadiannya. Tingkah lakunya pun kadang membuatku geleng-geleg kepala. Ada seorang mahasiswa agamis, seorang profesor yang penelitian, dan yang paling sering satu keluarga.
Aku memperhatikan mereka semua dari dekat maupun kejauhan. Dalam pandanganku melihat keseharian mereka, aku merasa berinteraksi dengan mereka. Mereka tertawa aku ikut tertawa, mereka menangis aku turut menangis. Di sini, aku merasa aku bukan pemilik perumku ini, namun aku pun seperti tak keberatan dengan kedatangan mereka.
Aku, Mahasiswi
Saat ini perumku itu ditempati seorang mahasiswi yang sering kedatangan kekasihnya. Aku jugalah saksi saat mereka pertama kali melakukan hubungan seksual. Aku tahu semuanya.
Lama-kelamaan laki-laki itu sering meminta tubuh perempuan kekasihnya. Hingga setiap kali datang, dia pasti melakukan hubungan seksual itu. Lambat laun mahasiswi menolak. Sayangnya penolakan itu justru mendapat kekerasan dari kekasihnya.
Aku, Kekasih Mahasiswi
Sampai suatu hari, kekasihnya itu mulai berani memukul dengan benda. Mahasiswi yang melawan balik justru kalah telak karena kekasihnya memukul lebih keras.
Saat itu, aku mulai geram. Aku ingin bertindak untuk membela mahasiswa itu. Namun aku tak bisa apa-apa. Sampai kemudian mahasiswi itu mengambil pencukur alis dari meja riasnya dan menusukkannya ke leher kekasihnya. Seketika, pria kasar itu meregang nyawa. Aku puas melihatnya.
Aku, Polisi
Tapi tentu saja aksi mahasiswi itu akan mendapat ganjarannya. Tak butuh waktu lama untuk polisi mengetahui pembunuhan itu. Meski sang mahasiswi memasukkanya ke dalam karung beras dan menyembunyikannya di dalam kulkas, teman kekasihnya yang mencari melaporkan kasus kehilangan.
Seminggu kemudian, perum nomor 14 itu digeledah. Saat itulah, seorang polisi yang melakukan pelacakan TKP melihat suatu hal yang janggal. Dia memandang lama ke arah kaca rias. Saat memindahkan kaca rias tersebut, tampaklah tembok putih dengan noda darah kering yang telah memudar. Seketika mata kami bertatapan.
Aku, Berita
“Pemirsa. Telah terjadi pembunuhan di perum Karang Wulan No. 14. Seorang gadis mengaku menusuk kekasihnya dengan pisau cukur di bagian leher. Sang kekasih yang terus meminta melakukan hubungan seks, saat mendapat penolakan dia memukul gadis itu.”
Namun saat melakukan penyelidikan, tragedi tak kalah mengerikan ditemukan pada dinding di balik kaca rias. Mayat tersebut adalah tubuh perempuan korban KDRT oleh suami yang membunuhnya dan mengecornya di balik tembok. Saat ini, suami korban diduga telah merantau ke pulau Sumatra sebagai seorang mandor bangunan dan memiliki keluarga baru. Suami korban menjadi tersangka polisi.
Mayat tubuh perempuan berinisial H itu sudah di bawa ke badan forensik untuk di otopsi lebih lanjut untuk menyelidiki penyebab kematiannya.”
Akulah, Mayat
Itulah ingatan paling terakhirku. Karena setelahnya, aku telah terkubur di bawah tanah. []