Catatan tahunan Komnas Perempuan tahun 2019 melansir jumlah angka kekerasan terhadap perempuan yang dicatat dan dilaporakan mencapai 406.178 kasus. Angka ini mengalami peningkatan yang cukup signifikan jika dibandingkan dengan tahun sebelumnya yang berkisar sebanyak 348.466 kasus.
Selain itu berdasarkan data dari KPAI menunjukkan hingga Oktober, kasus kekerasan seksual di dunia pendidikan mencapai 17 kasus dengan 89 anak menjadi korban. Mereka terdiri dari 55 perempuan dan 34 laki-laki. Dari sini terlihat bahwa perempuan, masih menjadi objek kekerasan yang kian tahun mengalami peningkatan.
Pemerintah Indonesia sejak diratifikasinya Konvensi Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi terhadap Perempuan atau Konvensi CEDAW melalui UU No. 7 Tahun 1984, telah terlihat adanya upaya sungguh-sungguh untuk melindungi hak-hak perempuan sebagai warga negara. Dengan berkomitmen melakukan penghapusan terhadap segala bentuk kekerasan terhadap perempuan.
Hal ini tertuang dalam kebijakan tentang Pengarusutamaan Gender (PUG) dalam pembangunan, yang dimulai sejak keluarnya Intruksi Presiden No.9 Tahun 2000. Selain itu juga adanya Peraturan Presiden No.2 tahun 2015 tentang RPJMN 2015-2019 menyatakan bahwa PUG merupakan bagian arus utama yang perlu dilaksanakan dalam pembangunan, disamping pengarusutamaan sustainable development dan good governance.
Komitmen pemerintah dalam upaya mengurangi angka kekerasan terhadap perempuan dan mengangkat kesetaraan gender sebagai sebagai salah satu arus utama pembangunan, juga dilakukan untuk melaksanakan agenda Sustainable Development Goals (SDGs).
Demikian terlihat dengan terintegrasinya 169 indikator SDGs ke dalam RPJMN 2020-2024 dan penerbitan Peraturan Presiden No.59 tahun 2017 tentang Pelaksanaan Tujuan Pembangunan Berkelanjutan (Pepres SDGs). Terkait kesetaraan gender, SDGs secara eksplisit ditunjukkan dalam Tujuan ke-5: “Mencapai kesetaraan gender dan memberdayakan semua perempuan dan anak perempuan”
Kesetaraan gender ini juga dapat tercapai ketika relasi yang terbangun antar dua pihak, mengandung nilai dan semangat kemitraan, kerjasama, kesalingan, timbal balik, dan prinsip resiprokal. Untuk itu kemudian paradigma Mubadalah secara general dapat dijadikan dasar prinsip kesalingan laki-laki dan perempuan baik dalam ruang publik maupun domestik.
Namun, tidak sebatas antara laki-laki dan perempuan saja. Tetapi, prinsip tersebut juga untuk relasi dengan orang lain, baik dalam skala keluarga, komunitas, bahkan antarwarga negara. Sehingga, dengan adanya relasi kesalingan ini diharpakan, kesetaraan gender dapat tercapai dengan membahagiakan.
Di sini kemudian perlu adanya paradigma Mubaadalah yang hadir sebagai solusi yang lebih mudah diterima untuk mencapai Tujuan ke-5 SDGs atau goals 5 Pembangunan Berkelanjutan. Berdasarkan Tujuan ke-5 SDGs itu, terdapat beberapa upaya-upaya yang dapat dilakukan untuk memenuhi tujuan tersebut. Hal ini yang kemudian dapat dijadikan topik khusus tulisan tekait isu-isu gender dalam mencapai Tujuan ke-5 SDGs berlandaskan konsep mubadalah.
Upaya-upaya yang dapat dilakukan tersebut antara lain dengan mengakhiri segala bentuk diskriminasi terhadap kaum perempuan dimanapun, menghilangkan segala bentuk kekerasan terhadap perempuan, menghilangkan semua praktek berbahaya bagi perempuan seperti sunat perempuan, perkawinan anak dan praktek berbahaya lainnya.
Selain itu juga, menjamin partisipasi penuh dan efektif perempuan, serta kesempatan yang sama bagi perempuan di berbagai ruang publik, mulai dari politik, kesehatan, budaya, pendidikan, seni, hingga sektor-sektor yang dianggap hanya bagi laki-laki saja, menjamin akses universal terhadap kesehatan seksual dan reproduksi serta hak reproduksi yang kerap kali jarang diperhatikan dan dianggap sepele.
Selain upaya secara eksplisit di atas bidang-bidang lain yang juga bersinggungan dengan isu perempuan dan gender juga menjadi ranah penting yang harus dimaksimalkan dalam menunjang tercapainya kesetaraan gender dalam masyarakat. Bidang-bidang ini diantaranya bidang pendidikan, kesehatan, ketenagakerjaan, lingkungan, dan lainnya dimana kondisi yang adil dan setara antara laki-laki dan perempuan harus diwujudkan.
Isu gender memiliki kompleksitas yang sangat tinggi. Hal ini dikarenakan kasus-kasus kekerasan pada perempuan terus mengalami peningkatan, sehingga menjadi sangat krusial untuk senantiasa dikaji dan ditekan perkembangannya.
Fokus dalam pembahasan ini adalah berangkat dari isu-isu yang kompleks tadi dilakukan kajian yang lebih dalam untuk menciptakan kesetaraan gender yang berlandaskan pada konsep mubadalah, untuk memunculkan narasi dan konten di media yang dapat menjadi konsumsi masyarakat luas agar lebih memiliki pemikiran terbuka terkait isu-isu gender serta upaya-upaya menanganinya.
Paradigma mubadalah yang diinisiatori oleh Dr.Faqihuddin ini, tidak sebatas menjadi paradigma semata saja, melainkan sudah menjadi pijakan dalam gerakan-gerakan untuk mencapai kesetaraan. Terlebih salah satunya dapat dijadikan acuan dan pondasi untuk mencapai Tujuan ke-5 SDGs.
Sehingga Paradigma Mubaadalah tidak hanya bisa diaplikasikan oleh muslim Indonesia saja, akan tetapi dapat diimplementasikan oleh masyarakat dunia untuk mencapai kesetaraan gender dan menghapuskan kekerasan dan ketidaksetaraan yang sering dan kerap kali dialami oleh perempuan. Sehingga, nantinya akan tercipta kesalingan yang bahagia dan membahagiakan untuk perdamaian masyarakat dunia secara keseluruhan. []