• Login
  • Register
Rabu, 9 Juli 2025
Keadilan dan Kesetaraan Gender - Mubadalah
Dukung kami dengan donasi melalui
Bank Syariah Indonesia 7004-0536-58
a.n. Yayasan Fahmina
  • Home
  • Aktual
  • Kolom
  • Khazanah
  • Rujukan
  • Tokoh
  • Monumen
  • Zawiyah
  • Kolom Buya Husein
No Result
View All Result
Keadilan dan Kesetaraan Gender - Mubadalah
  • Home
  • Aktual
  • Kolom
  • Khazanah
  • Rujukan
  • Tokoh
  • Monumen
  • Zawiyah
  • Kolom Buya Husein
Keadilan dan Kesetaraan Gender - Mubadalah
No Result
View All Result
Home Kolom Publik

Nakes Julid, Bukti Pentingnya Pengarusutamaan Gender dalam Kesehatan

Perjuangan melawan diskriminasi dan stigma atas permasalahan reproduksi pada perempuan masih panjang. Nakes seharusnya menjalankan kode etik profesinya dan harus meninggalkan nilai-nilai patriaki sebelum bekerja.

Wanda Roxanne Wanda Roxanne
13/11/2021
in Publik, Rekomendasi
0
Nafkah kesehatan bagi istri

Nafkah kesehatan bagi istri

251
VIEWS
Share on FacebookShare on TwitterShare on Whatsapp

Mubadalah.id – Belakangan sosial media ramai dengan video TikTok seorang bidan “ekspresi aku ketika ketemu pasien KB yang belum punya suami”. Salah satu utas @angewwie kemudian menjadi viral yang menceritakan pengalamannya bahwa dia disarankan mengkonsumsi pil KB (Keluarga Berencana) yang digunakan untuk melancarkan siklus menstruasinya dan dysmenorrhea.

Topik mengenai kontrasepsi ini menjadi diskusi panjang yang membuat warganet menceritakan pengalaman negatifnya ketika mengakses layanan kesehatan terutama yang berkaitan dengan sistem reproduksinya. Setelah mendapatkan banyak feedback, bidan ini meminta maaf pada Ikatan Bidan Indonesia, bidan senior, institusinya, tenaga kesehatan lainnya dan perempuan yang mengkonsumsi KB karena gangguan hormonal (PCOS).

Kode etik menjadi salah satu hal yang menjadi fokus dalam pembicaraan warganet karena bidan seperti ini dianggap julid sebagai nakes yang menyalahi kode etik profesinya. Dalam poin-poin sumpah bidan, bidan bersedia untuk “mengabdikan ilmunya dengan jujur dan adil, sejalan dengan profesi bidan”, “mengabdikan diri dalam pelayanan kebidanan dan kesehatan, tanpa membedakan agama, pangkat, suku, dan bangsa”, serta “membela hak dan menghargai tradisi budaya dan spiritual pasien”.

Respon nakes yang julid (judgemental) dan menyalahi kode etik seperti contoh bidan di atas membuat sebagian orang enggan untuk mengakses hak kesehatan reproduksi dan seksualnya. Saya termasuk salah satunya. Saya pernah melakukan tes pap smear pada 2018 dengan status belum menikah, dan nakes yang melayani saya memberikan ekspresi yang kurang menyenangkan karena itu. Saya juga tidak melanjutkan tes, hanya sampai pada tahap screening namun mendapatkan hasil.

Nakes yang penuh penghakiman sepertinya masih banyak dilakukan di Indonesia. Seperti yang dicuitkan dr. Putri Widi yang mengatakan bahwa sudah banyak penelitian yang membuktikan bahwa sikap nakes yang judgemental menjadi penghalang akses kesehatan terutama pada kelompok yang termarjinalisasi secara sosial.

Baca Juga:

Mengapa Perempuan Lebih Religius Daripada Laki-laki?

Mengapa Pengalaman Biologis Perempuan Membatasi Ruang Geraknya?

Meruntuhkan Mitos Kodrat Perempuan

Menggugat Batas Relasi Laki-Laki dan Perempuan di Era Modern-Industrialis

Salah satu warganet mengatakan bahwa dia berumur 24 tahun bersama suaminya mengunjungi bidan untuk suntik KB. Namun justru bidan itu berkhotbah bahwa seks sebelum menikah itu dosa, padahal dia sudah menikah. Ada juga yang menceritakan bahwa nakes yang dikunjunginya pernah menghakimi pekerjaan suaminya “pencekik rakyat” dan riba, mengetawakan pasien yang melahirkan dan keluar kotorannya, mengomentari tubuh pasien, dll.

Saya sedih melihat nakes yang penuh penghakiman pada pasien, yang melanggar kode etiknya. Selain itu, Peraturan Pemerintah Nomor 61 tahun 2014 pasal 22 menjelaskan “Setiap orang berhak memilih metode kontrasepsi untuk dirinya tanpa paksaan” namun hanya ditujukan pada pasangan suami istri untuk pengaturan anak. Padahal seperti @angewwie, tidak semua orang yang mengakses kontrasepsi hanya bertujuan untuk mencegah kehamilan.

Menurut saya, pengarusutamaan gender juga harus ditekankan pada nakes agar tidak menghakimi pasien. Nakes harus memahami bahwa kontrasepsi masih secara dominan dilakukan oleh perempuan yang memiliki beragam kondisi dan identitas. Peran setiap perempuan berbeda dengan yang lainnya, sehingga kebutuhannya pun berbeda. Perempuan sebagai peserta KB aktif  seringkali mendapatkan respon negatif atas kehamilan, kontrasepsi dan infertile. Tanpa menarik laki-laki yang terlibat langsung.

Nakes harus meninggalkan nilai-nilai patriarkal sebelum melakukan profesinya, karena setiap orang memiliki hak untuk mengakses kesehatan reproduksi dengan aman dan nyaman. Negara kita tidak melegalkan aborsi, namun juga tidak memudahkan masyarakat untuk mengakses kontrasepsi yang sesuai kebutuhan. Lalu kita menyalahkan kehamilan di luar pernikahan, padahal kita belum maksimal dalam memberikan pendidikan seksual dan menyediakan akses pada kesehatan?

Angka Kematian Ibu (AKI) juga masih menjadi salah satu permasalahan di Indonesia. Korban perkosaan justru diminta melanjutkan kehamilan yang tidak diinginkan atau dikriminalisasi karena mengaborsi. Kesehatan seharusnya mengutamakan keselamatan pasien, bukannya dipenuhi penghakiman moral yang berhubungan dengan nilai agama konservatif dan budaya yang meminggirkan perempuan.

Pada akhirnya, perempuan mendapatkan diskriminasi sekalipun itu di ruang kesehatan. Masyarakat membebankan reproduksi hanya pada perempuan, memberikan stigma atas akses kontrasepsi dan menyalahkan perempuan jika terjadi KTD. Nakes harusnya berfokus pada kesehatan dan keselamatan pasien, memberikan pelayanan, merekomendasikan kontrasepsi sesuai kondisi dan kebutuhan pasien, bukannya menghakimi pasien.

Hal-hal seperti ini justru membuat perempuan takut, khawatir dan menolak untuk mengakses hak kesehatan reproduksi dan seksualnya. Karena itu pasien datang ketika sudah mengalami komplikasi. Apalagi mereka yang berada dalam kelompok marjinal seperti difabel, perempuan pra sejahtera, lansia, dan kelompok rentan lainnya. []

 

Tags: Alat KontrasepsiHak Kesehatan ReproduksikesehatanperempuanTenaga Kesehatan
Wanda Roxanne

Wanda Roxanne

Wanda Roxanne Ratu Pricillia adalah alumni Psikologi Universitas Airlangga dan alumni Kajian Gender Universitas Indonesia. Tertarik pada kajian gender, psikologi dan kesehatan mental. Merupakan inisiator kelas pengembangan diri @puzzlediri dan platform isu-isu gender @ceritakubi, serta bergabung dengan komunitas Puan Menulis.

Terkait Posts

Melawan Perundungan

Melawan Perundungan dengan Asik dan Menyenangkan

9 Juli 2025
Perempuan Lebih Religius

Mengapa Perempuan Lebih Religius Daripada Laki-laki?

9 Juli 2025
Nikah Massal

Menimbang Kebijakan Nikah Massal

8 Juli 2025
Intoleransi di Sukabumi

Intoleransi di Sukabumi: Ketika Salib diturunkan, Masih Relevankah Nilai Pancasila?

7 Juli 2025
Retret di sukabumi

Pengrusakan Retret Pelajar Kristen di Sukabumi, Sisakan Trauma Mendalam bagi Anak-anak

7 Juli 2025
Sejarah Ulama Perempuan

Mencari Nyai dalam Pusaran Sejarah: Catatan dari Halaqah Nasional “Menulis Ulang Sejarah Ulama Perempuan Indonesia”

7 Juli 2025
Please login to join discussion
No Result
View All Result

TERPOPULER

  • Pernikahan Tradisional

    Sadar Gender Tak Menjamin Bebas dari Pernikahan Tradisional

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Kemanusiaan sebagai Fondasi dalam Relasi Sosial Antar Manusia

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Mengapa Perempuan Lebih Religius Daripada Laki-laki?

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Mengapa Pengalaman Biologis Perempuan Membatasi Ruang Geraknya?

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Mengebiri Tubuh Perempuan

    0 shares
    Share 0 Tweet 0

TERBARU

  • Melawan Perundungan dengan Asik dan Menyenangkan
  • Relasi Imam-Makmum Keluarga dalam Mubadalah
  • Mengebiri Tubuh Perempuan
  • Mengapa Perempuan Lebih Religius Daripada Laki-laki?
  • Mengapa Pengalaman Biologis Perempuan Membatasi Ruang Geraknya?

Komentar Terbaru

  • M. Khoirul Imamil M pada Amalan Muharram: Melampaui “Revenue” Individual
  • Asma binti Hamad dan Hilangnya Harapan Hidup pada Mengapa Tuhan Tak Bergeming dalam Pembantaian di Palestina?
  • Usaha, Privilege, dan Kehendak Tuhan pada Mengenalkan Palestina pada Anak
  • Salsabila Septi pada Memaknai Perjalanan Hidup di Usia 25 tahun; Antara Kegagalan, Kesalahan dan Optimisme
  • Zahra Amin pada Perbincangan Soal Jilbab
  • Tentang
  • Redaksi
  • Kontributor
  • Kirim Tulisan
Kontak kami:
redaksi@mubadalah.id

© 2023 MUBADALAH.ID

Selamat Datang!

Login to your account below

Forgotten Password? Sign Up

Create New Account!

Fill the forms bellow to register

All fields are required. Log In

Retrieve your password

Please enter your username or email address to reset your password.

Log In

Add New Playlist

No Result
View All Result
  • Home
  • Aktual
  • Kolom
  • Khazanah
  • Rujukan
  • Tokoh
  • Monumen
  • Zawiyah
  • Kolom Buya Husein
  • Login
  • Sign Up

© 2023 MUBADALAH.ID