Mubadalah.id – Ramadan tahun 2024 ini, adalah bulan pertama saya dan teman-teman Mahasantriwa SUPI (Sarjana Ulama Perempuan Indonesia) angkatan ll mengikuti kegiatan ngaji Ramadan yang dilaksanakan di Pesantren Luhur Manhajiy Fahmina. Berbagai macam Kegiatan mengaji pun dilaksanakan mulai dari mengaji berbagai macam kitab sampai kegiatan tilawah.
Salah satu kitab yang dikaji di sini dan yang membuat saya ingin menuliskan Adalah Kitab Sittin al-‘Adliyyah karya KH. Faqihuddin Abdul Qodir. Pengajian kitab Sittin al-‘Adliyyah ini disampaikan secara langsung oleh Ibu Nurul Bahrul ulum sebagai pengasuh Pesantren Luhur Manhajiy Fahmina.
Pada pertemuan pertamanya Ibu Nurul Bahrul Ulum memaparkan bahwa kitab Sittin al-‘Adliyyah ini merupakan 60 kumpulan hadis shohih tentang hak-hak perempuan. Ibu Nurul juga menyebutkan bahwa pada saat proses mengarang kitab Sittin al-‘Adliyyah, Kiai Faqih terinspirasi dari karya salah satu ulama Hadis yaitu Syekh Abdul Halim Abu as-Syuqah yang mengarang kitab Tahriir al-Mar’ah fi Ashr ar-Risalah
Jawaban dari Perempuan yang Tidak Dapat Keadilan
Membicarakan mengenai hak-hak perempuan, kitab Sittin al-‘Adliyyah ini hadir sebagai jawaban dari perempuan yang kerap direndahkan, tidak mendapatkan keadilan, stigma sosial bahkan beban ganda yang harus dihadapinya hanya karena menjadi perempuan.
Kebiasaan itu harus dihapus karena pada zaman dahulu Nabi Muhammad Saw selalu mengajarkan kesetaraan dan keadilan kepada kita semua. Hal ini sebagaimana di dalam kitab Sittin al-‘Adliyyah yang menerangkan tentang pentingnya memuliakan sosok ibu (perempuan):
عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ قَالَ جَاءَ رَجُلٌ إِلَى رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَالَ يَا رَسُولَ اللَّهِ مَنْ أَحَقُّ النَّاسِ بِحُسْنِ صَحَابَتِي؟
قَالَ أُمُّكَ. قَالَ ثُمَّ مَنْ؟ قَالَ ثُمَّ أُمُّكَ. قَالَ ثُمَّ مَنْ؟ قَالَ ثُمَّ أُمُّكَ. قَالَ ثُمَّ مَنْ؟ قَالَ ثُمَّ أَبُوكَ.
Artinya: “Seseorang datang kepada Rasulullah Saw dan berkata, “Wahai Rasulullah, kepada siapakah aku harus berbakti pertama kali?” Nabi Saw menjawab, “Ibumu!”.
Dan orang tersebut kembali bertanya, “Kemudian siapa lagi?” Nabi Saw menjawab, “Ibumu!.”
Orang tersebut bertanya kembali, “Kemudian siapa lagi?” Beliau menjawab, “Ibumu.” Orang tersebut bertanya kembali, “Kemudian siapa lagi,” Nabi Saw menjawab, “Kemudian ayahmu.” (HR Al Bukhari dan Muslim).
Dari Hadis tersebut, menegaskan bahwa pada masa jahiliyah orang-orang lebih cenderung memberi penghormatan kepada laki-laki dibandingkan perempuan. Kemudian Nabi Saw membalik kesadaran mereka tersebut dengan memberikan jawaban ibumu, ibumu, ibumu. Lalu bapakmu.
Perempuan di Posisi Tertinggi
Di dalam Hadis tersebut Nabi Saw menerangkan bahwa Islam adalah agama yang menempatkan perempuan berada di posisi tertinggi, dengan menyebut kata ibu tiga kali kemudian baru ayah. Mengapa begitu, karena ibu (perempuan) banyak mendapatkan kesulitan daripada laki-laki.
Misalnya, seperti kita ketahui bersama, perempuan memiliki kesulitan dalam organ reproduksinya, seperti mengandung, melahirkan, menyusui sampai merawat anaknya. Oleh karena itu, memberikan perhatian kepada perempuan lebih penting daripada laki-laki. Karena kelak seorang perempuan akan menjadi seorang ibu dari anak-anaknya.
Ada sebuah istilah menyebutkan :
الأم مدرسة إذا أعددتَها
أعددتَ شَعْباً طَيِّبَ الأعراق
Artinya: “Ibu adalah madrasah (sekolah) pertama bagi anaknya. Jika engkau persiapkan ia dengan baik. Maka sama halnya engkau persiapkan bangsa yang baik pokok pangkalnya”.
Istilah al-ummu madrasatul ula yaitu seorang ibu akan menjadi sekolah atau guru pertama bagi anaknya. Benar adanya dalam istilah tersebut karena ibulah yang pertama akan mendampingi dalam kehidupannya sampai membangun pondasi jati diri si anak. Lalu mengajarkan budi pekerti sejak dini sampai nasihat-nasihat agama dan kehidupan.
Lebih lanjut:
إذا أعددتَها
أعددتَ شَعْباً طَيِّبَ الأعراق
Artinya: “Jika engkau persiapkan dengan baik, maka sama halnya engkau persiapkan bangsa yang baik pokok pangkalnya.”
Akses Pendidikan
Seorang perempuan yakni calon ibu harus mempersiapkan dirinya sebaik mungkin dengan mengakses pendidikan se-tinggi-tingginya agar bisa mencetak generasi yang unggul.
Namun sayangnya, di balik tuntutan ini sebagian masyarakat menyepelekan terhadap pendidikan perempuan dengan menganggap benar kontruksi sosial bahwa perempuan tempatnya hanya sumur, kasur, dan dapur. Hingga membiarkan perempuan menjadi seorang ibu tanpa bekal pendidikan yang cukup.
Saya sendiri sangat setuju jika al-ummu madrasatul ula kita berikan kepada seorang ibu. Oleh karena itu, perempuan wajib mengakses pendidikan dan ruang pemberdayaan perempuan agar kelak bisa mencetak anak bangsa yang bermutu. Mungkin hal ini bisa kita ibaratkan misalnya sekolah terbaik pasti akan menghasilkan anak-anak yang cerdas dan berprestasi sebagaimana seorang anak yang hebat dan pintar dari seorang ibu yang berpendidikan.
Maka dari itu untuk mewujudkan generasi yang baik dan unggul harus mensupport perempuan dengan memberikan akses pendidikan, memberikan makanan yang bergizi, mendidik dan memberdayakan perempuan. Serta mengalokasikan anggaran kesehatan untuk perempuan.
Dengan begitu, Hadis soal memuliakan ibu yang aku kaji di Pesantren Luhur Manhajiy Fahmina itu benar-benar mereka rasakan. Karena semua kebutuhan untuk perempuan kita penuhi. Dan hal inilah yang sebetulnya menjadi bagian dari ajaran Islam. []