Mubadalah.id – Dalam kajian kali ini, saya ingin mengulas persoalan nikah paksa bagi pasangan yang melanggar batas adat. Sebenarnya, budaya ini tak hanya berlaku di masyarakat suku Sasak. Tetapi juga ditemukan di pelbagai daerah di Indonesia. Saya juga mendapati tradisi yang sama di Madura dan Jawa, bahkan sahabat asal Jambi juga menceritakan hal serupa. Itu artinya, tanah Lombok bukan satu-satunya sarang budaya semacam ini.
Ada beberapa contoh pelanggaran adat Sasak yang disanksi dengan nikah paksa. Seperti pulang malam bareng pasangan sampai batas waktu tertentu; jam delapan, sembilan, jam sepuluh malam, dan seterusnya. Atau, tertangkap basah melakukan hal tak senonoh, apalagi yang sampai hamil di luar nikah. Semua itu adalah contoh pelanggaran batas adat yang mengharuskan adanya pernikahan paksa.
Perlu jelas sejak awal, bahwa contoh-contoh pelanggaran adat seperti yang disebutkan, adalah pelanggaran syariat juga. Tak bisa dipungkiri. Dan, itu semua harus disanksi dengan sanksi yang memberi efek jera. Tetapi, jangan sampai nikah paksa diposisikan sebagai sanksi. Sebab ia adalah hukum kausalitas yang mengalir secara alami pada taraf kehidupan manusia normal, yang berperikemanusiaan dan bertanggung jawab. Sampai di sini, bisa ditarik benang merah bahwa nikah paksa bukanlah sanksi, tapi sebuah konsekuensi.
Mari kita telaah kisah pelecehan seksual yang terjadi di Lombok Utara beberapa waktu lalu. Pada suatu malam, guru saya bercerita tentang peristiwa yang cukup menyedihkan. Ia berkisah tentang seorang warga yang terbukti melakukan pelecehan seksual kepada adik iparnya yang masih di bawah umur, hingga hamil.
Karena telah jelas terbukti, para tokoh adat mendesak agar segera dinikahkan sebagai sanksi dan bentuk pertanggungjawaban. Tapi sayang, dorongan tokoh adat ini disetop oleh beberapa tokoh agama di sana; para ustadz dan tuan guru. Dengan alasan pernikahannya tidak mungkin sah, sebab si pelaku masih sebagai suami sah kakak kandung korban. Semua pihak memutar otak, membingungkan lagi menyedihkan. Si pelaku pun diminta untuk menceraikan istrinya demi melangsungkan sanksi adat. Kendati si suami telah sangat mengecewakannya, ia tetap merasa berat bila dirinya diceraikan, dan malah menikah dengan adik kandungnya sendiri.
Menyikapi persoalan ini, para tokoh agama nyaris ‘angkat tangan’ dan membawa pulang teori-teori fikihnya. Demikian juga tokoh adat, tak bisa berbuat banyak di hadapan norma-norma agama yang fundamental. Sayang, sampai saat ini saya belum mendapat cerita tentang jalan keluar persoalannya. Tapi tak jadi soal. Pembahasan kita bukan bagaimana alur cerita selanjutnya. Tapi mempersoalkan, benarkah nikah paksa sebagai sanksi bagi pasangan yang melanggar batas adat? Bijakkah bila itu yang akan terus diterapkan? Jawabannya sudah jelas, tidak bijak. Mari kita kaji pelan-pelan.
Sejak awal, kita memang salah kaprah dengan menjadikan nikah paksa sebagai sanksi atas pelanggaran adat. Wajar ada warisan badaya begini, kakek-buyut kita dahulu, terlebih di pelosok-pelosok desa, mereka masuk dalam kategori ba’id(un) ‘anil ulama’ (jauh jarak dan interaksi dengan ulama).
Dalam tulisan part 1 lalu, dijelaskan bahwa segala bentuk pemaksaan nikah tidak boleh dilakukan. Kecuali pada beberapa kasus fikih seperti yang sudah dijelaskan. Tanpa harus mengulang kajian ihwal nikah paksa, mari sedikit mengulas dampak buruknya, dan bagaimana solusi bagi teman-teman yang melanggar batas adat.
Dampak Buruk Nikah Paksa bagi yang Melanggar Batas Adat
Sesingkat yang saya amati terkait korban-korban nikah paksa akibat pelanggaran batas adat, ada beberapa dampak negatif yang muncul kemudian. Dan sepengamatan kami, ini bukan hal sederhana. Itu artinya, solusi yang ditawarkan budaya kita sejak dahulu adalah solusi yang tak sehat. Adakah solusi yang memberi dampak buruk lanjutan setelah kesusahan dan muram durja yang dirasakan korban? Yang dianggap solusi ini, alih-alih membawa ketenangan, malah memperkeruh keadaan. Sekurangnya, ada dua dampak negatif budaya tak sehat ini:
Ramai Nikah di Bawah Umur
Telah maklum bersama, nikah di bawah umur menyimpan dampak negatif yang rumit, dan tak mungkin kita inginkan. Seperti rentan terjadi perceraian, potensi terjangkit kanker mulut rahim, osteoporosis (kondisi tulang menjadi lemah dan rapuh) dan seterusnya. Adapun batas usia nikah sendiri, sebagaimana dalam undang-undang nomor 16 tahun 2019, adalah mencapai usia 19 tahun baik laki-laki maupun perempuan.
Sementara, di sini lain budaya dan adat kita memiliki hukum tanpa pandang bulu; berapa pun usianya, serendah apapun kondisi kesiapan mental, fisik dan finansialnya. Dan ini adalah kesenjangan yang luar biasa, masalah yang tak boleh diabaikan. Tak sedikit teman-teman yang saya kenal berakhir membawa kertas kuning Pengadilan Agama dan menanggung nasib sebagai janda-duda, lantaran nikah paksa karena melanggar batas adat. Na’udzubillah min dzalik.
Mengalami Gangguan Mental
Diakui atau tidak, nikah paksa karena telah melanggar batas adat ini memicu terjadi depresi, juga kecemasan yang tinggi. Akibatnya, mereka akan merasa dikucilrendahkan di tengah keluarga dan masyarakatnya. Juga, berdampak pada kesehatan jasmani. Mengingat, tak sedikit yang tidak tidur berhari-hari dengan pola makan yang tak teratur lagi. Mereka diserang masalah dari pelbagai sisi; psikis, jasmani, ekonomi, harga diri, dan seterusnya. Semua bertabrakan dalam satu tubuh dan pikiran. Sangat melelahkan.
Tak heran, banyak sahabat-sahabat yang putus sekolah. Jangankan untuk melanjutkan pendidikan, untuk kembali menghembuskan nafas saja nyaris tak berdaya. Dan ini na’udzubillah kita yang kedua. Dan dampak-dampak negatif lainnya yang tak mungkin ditumpuk di tulisan singkat ini.
Mencoba Terobosan Solusi Baru
Sebelum menyuguhkan solusi baru untuk persoalan berat ini, kita harus terlebih dahulu menginventarisir pelanggaran-pelanggaran adat yang biasa terjadi. Pertama, hamil di luar nikah. Kedua, tertangkap basah melakukan hal tak senonoh. Ketiga, pulang malam melebihi batas waktu yang disepakati.
Teruntuk yang pertama, memang harus ditindak tegas. Sebagai bentuk tanggung jawab, mereka harus menikah. Ingat! Sebagai tanggung jawab, bukan sanksi. Selain itu, juga harus disanksi. Karena tanggung jawab berbeda dengan sanksi. Tentu sanksi yang memberi efek jera; sesuai dengan kondisi di daerah masing-masing.
Tujuannya, agar yang lain tak lagi mendekati laku amoral yang sama. Adapun yang banyak terjadi, mereka seakan tak disanksi. Karena nikah paksa yang hanya sebagai konsekuensi itu sekaligus menjadi sanksinya. Inilah faktor mengapa tak ada efek jera. Apalagi pria yang otaknya sejengkal, usai nikah bisa langsung cerai.
Lalu, bagaimana dengan yang menghamili adik iparnya? Pastinya diberi sanksi yang lebih berat. Dan, apakah harus dinikahkan paksa atau tidak sebagai bentuk tanggung jawab, tergantung musyawarah antar keluarga dan para tokoh melihat solusi terbaiknya.
Lebih dari itu semua, kita (terutama pemerintah, tokoh agama, dan adat) sejak hari ini mesti mengedukasi masyarakat lebih masif terkait perlindungan terhadap perempuan dan anak. Inilah aspek urgensitas pengesahan RUU TPKS (Rancangan Undang-undang Tindak Pidana Kekerasan Seksual) yang terus-menerus digagalkan itu.
Demikian juga untuk dua pelanggaran adat lainnya, ini harus memiliki sanksi khusus yang juga memberi efek jera. Bukan malah menjadikan nikah paksa sebagai sanksinya. Dan hemat saya, hanya karena pulang larut malam saja (tanpa terbukti melakukan tindak pelecehan seksual), tak harus berkonsekuensi nikah paksa. Karena pulang terlambat faktornya banyak; macet, ban bocor, dapat musibah di jalan, dan lain-lain. Tolong lebih realistis dan rasional. []