Mubadalah.id – Awal Desember 2012, kasus nikah sirri empat hari dan talak via SMS oleh Bupati Garut, Aceng Fikri, terhadap seseorang perempuan 18 tahun, Fanny Oktara menghebohkan publik Indonesia bahkan media International. Tak berselang lama, Wiwi dari Makassar menyampaikan hal serupa dinikahi selama 16 jam oleh Yunus pejabat Dinas Perhubungan Makassar dan diceraikan lewat telepon. Kita yakin banyak kejadian serupa yang tak terungkap di publik. Kita mengapresiasi Presiden SBY yang tegas mengatakan bahwa hal demikian tidak boleh dianggap sepele, apa lagi jika dilakukan oleh pejabat yang sedang mengemban amanah, karena kita bangsa yang beretika.
Itulah realitas yang ada. Pernikahan bagi sebagian orang lebih dimaknai sebagai legalisasi hubungan seks. Perempuan lebih dinilai sebagai objek yang keberadaannya ditentukan secara suka-suka oleh laki-laki. Hak talak dianggap sebagai hak mutlak laki-laki. Lebih menyedihkan lagi, masih banyak yang beranggapan bahwa semua itu tidak ada masalah karena agama membolehkan. Agama menjadi tameng praktek pelecehan lembaga pernikahan dan pelecehan terhadap perempuan. Nikah sirri pun menjadi pilihan cara untuk melegalkan semuanya.
Apa Perspektif Nikah Sirri dalam Islam?
Benarkah Islam membenarkan praktik nikah sirri? Inilah pertanyaan kritis yang mesti kita ajukan kepada diri sendiri, dan sekaligus mesti kita jawab sendiri sesuai kondisi kita saat ini. Menyerahkan jawaban atas pernyataan ini semata-mata kepada pendapat-pendapat ahli fiqh masa lalu bisa menjadikan kita terjebak dalam formalitas hukum yang tidak mampu menangkap keadilan substantif. Sebab, fiqh itu sendiri adalah produk pemikiran yang tidak terlepas dari konteks sosiologi dan antropologis pada masanya masing-masing. Sayangnya, banyak umat Islam yang menutup mata pada realitas saat ini di mana rasa keadilan publik, rasa keadilan perempuan, rasa keadilan anak, serta rasa keadilan kelompok lemah dan rentan semakin mendapat tempat dalam sistem politik dan budaya masyarakat dan negara. Fiqh adalah pemikiran Islam yang bersifat ijtihadi.
Demikian pula fiqh munakahat (fiqh perkawinan). Indonesia sebagai bangsa, bersama sebagian besar bangsa berpenduduk mayoritas Muslim di seluruh dunia, telah melakukan reformasi fiqh munakahat secara cukup signinifikan sejak tahun 1970-an. Undang-Undang Nomor 1 tahun 1974 dan kompilasi hukum Islam yang disahkan melalui Inpres Nomor 1 tahun 1991, adalah terobosan fiqh yang dipositifkan menjadi hukum nasional yang menjadikan keadilan bagi perempuan sebagai salah satu dasar pertimbangannya. Jika saat ini ada norma-norma yang perlu disesuaikan, itu merupakan hal yang wajar karena UU itu sudah lebih dari 40 tahun berlaku, dan KHI telah lebih dari 20 tahun dijalankan.
Fiqh, utamanya fiqh yang terkait dengan kehidupan sosial, bukanlah sesuatu yang statis, yang tak pernah dan tak bisa berubah. Perubahan hukum syar’i terhadap satu kasus bahkan terjadi di masa Nabi Muhammad SAW. Nabi pernah membolehkan nikah mut’ah saat perang Khaibar dan kemudian melarangnya setelah situasi darurat seperti saat perang Khaibar tidak ada lagi. Ziarah kubur pada masa Islam juga dilarang karena takut membawa kemusyrikan, namun saat aqidah umat sudah kuat, ziarah kubur bahkan diperintahkan untuk mengingat kematian.
Khalifah Umar bin Khatab juga terkenal sebagai pemimpin yang berani mengambil terobosan hukum demi keadilan dengan melakukan hal yang secara lahiriyah tampak “menyimpang” dari apa yang diputuskan Nabi saat beliau hidup. Khalifah Umar menempuh langkah tersebut demi keadilan kepada korban, kemaslahatan umum, serta menutup pintu pemanfaatan hukum yang longgar oleh orang-orang tak bertanggung jawab yang mengakibatkan kemadharatan dan tidak tercapainya tujuan hukum itu sendiri. Beberapa kasus bisa dijadikan contoh. Misalnya, khalifah Umar melarang nikah sirri yang dilakukan secara rahasia tanpa wali dan disaksikan hanya seorang laki-laki dan perempuan serta menetapkan hukum rajam kepada pelakunya. Sebaliknya khalifah Umar tidak mempermasalahkan kesaksian perempuan dalam nikah dan talak. Hukum ini diterapkan dengan pertimbangan ketertiban sosial. Soal talak tiga yang diucapkan sekaligus, Umar juga melakukan pengetatan. Pada masa Rasulullah saw, hingga awal pemerintahannya, talak tiga yang diucapkan sekaligus dihitung satu. Namun ketika masyarakat memulai meremehkan talak dan menjadikanya mainan, diberlakukanlah talak yang demikian sebagai talak tiga untuk memberi efek jera kepada mereka yang mempermainakan talak dan melindungi perempuan dari talak yang dijatuhkan sembarangan. Dalam fiqh praktek pengetatan hukum demi kemaslahatan umum demikian itu dinaungi oleh kaidah:
تصرف الامام على الرعية منوط بالمصلحة
“Kebijakan pemerintah untuk rakyatnya dilakukan berdasarkan asas kemaslahatan”.
Ada Potensi Perdagangan Orang dalam Nikah Sirri
Kini, talah nyata terjadi desakralisasi perkawinan dan pelecahan perempuan di balik praktek nikah sirri. Nikah sirri bahkan telah berubah menjadi praktek perdagangan orang. Ada laki-laki yang ingin mencari perempuan untuk dijadikan istri sebagai pengisi “kekosongan”, bukan dengan niat membentuk keluarga sakinah dan abadi. Lalu ada yang bertindak sebagai “penghulu”, pencari mempelai perempuan. Setelah ketemu, dinikahkanlah perempuan dengan laki-laki tanpa catatan resmi. Sang pencari perempuan mendapatkan imbalan tertentu, begitu pula pihak terkait. Betul-betul menjadikan perempuan sebagai barang dagangan yang menghasilkan keuntungan bagi setiap orang terkait dengan proses perjodohannya. Setelah itu pernikahan sudah bisa dikategorikan tindak pidana yang bisa dijerat oleh UU Penghapusan Tindak Pidana Perdagangan Orang (UU No 21 tahun 2007).
Mari Berupaya!
Melihat fakta yang marak terjadi ini, saatnya aturan nikah sirri dan pencatatan pernikahan lebih diperkuat dengan adanya sanksi bagi para pelakunya yang menjadikan perkawinan sebagai mainan dan menjadikan perempuan sebagai objek seks dan dagangan. Untuk pencatatan perkawinan, UU Perkawinan sudah mewajibkan. Yang belum adalah sanksi bagi pelanggarnya yang mendesakralisasikan pernikahan, melecehkan perempuan, dan menzalimi isteri dan anak yang sah. Kita bisa mengupayakan perlindungan hukum ini. Kalau lah UU Perkawinan belum diamandemen, pintu yudisial review bisa dipergunakan.
Fiqh adalah produk ijtihad. Undang-Undang adalah juga produk kesepakatan politik. Baik fiqh maupun undang-undang bisa diubah untuk menjadi instrumen agama dan negara dalam rangka menegakkan keadilan dan mencapai kemaslahatan umum, melindungi yang lemah dan rentan, serta menutup celah pemanfaatan hukum untuk hal-hal yang melawan tujuan hukum itu sendiri. Kita perlu fiqh dan fatwa serta aturan dan perundang-undangan yang diktum-diktumnya betul-betul bisa menangkap subtansi keadilan. Mari berupaya!