Mubadalah.id – Kadang kita salah kaprah dalam menyebut istilah yang digunakan untuk mendefinisikan sesuatu perkara yang berkaitan dengan hukum, yang sebenarnya hal itu sudah ‘paten’ didefinisikan oleh ulama klasik. Misalnya tentang penyebutan ‘nikah sirri’ dalam pengertian hukum di Indonesia. Definisi ini berbeda dengan pengertian yang sudah diberikan oleh fuqaha dalam kutub al mu’tabarah.
Dalam kehidupan berbangsa dan bermasyarakat di Indonesia, warga Muslim menghadapi dualisme hukum. Satu sisi kita dihadapkan pada wawasan dalam fiqh, sedang di sisi lain kita juga dihadapkan hukum aturan negara. Tidak mengapa apabila kedua hukum tersebut tidak kontradiksi. Namun, yang kita temukan kedua hukum tersebut kadang berbeda, bukan saja pengertiannya tetapi juga hukumnya. Keadaan ini kadang membuat masyarakat kesulitan dan menjadi bingung, ikut yang mana?
Seperti halnya dalam nikah sirri. Istilah ini berasal dari bahasa Arab dari kata سر (sirrun) yang artinya rahasia. Yakni pernikahan yang dilaksanakan secara rahasia dan tertutup. Bisa jadi dengan syarat rukun nikahnya sudah terpenuhi. Oleh karenanya hukum nikah demikian menurut fiqh tetap dipandang sah.
Nah, makna ini berbeda dengan ketentuan istilah hukum negara di Indonesia. Nikah sirri di Indonesia tidak dipandang sah. Hal itu karena nikah sirri dilaksanakan di bawah tangan, sehingga tidak dicatatkan.
Perlu diketahui, seperti yang sudah saya jelaskan minggu lalu, bahwa produk hukum keluarga di Indonesia ini bersumber dari fiqh mazhab Syafi’i. Di mana makna nikah sirri menurut mazhab Syafi’i juga sama dengan definisi fuqaha yang lainnya. Lalu dari mana istilah nikah sirri di Indonesia yang demikian itu?
Sebenarnya persoalan nikah demikian itu berpuncak pada persoalan “الإشهاد” (persaksian) dalam akad nikah. Saksi yang dimaksud di sini tentunya kesaksian manusia. Di mana tentang kesaksian ini para ulama memberi ketentuan sebagai syarat sah nikah, antaranya dengan minimal 2 orang saksi laki-laki tidak dari perempuan.
Dalam kitab الفقه على المذاهب الأربعة disebutkan bahwa ulama mayoritas sepakat bahwa saksi harus laki-laki. Sementara mazhab Hanafiyah, saksi nikah tidak harus laki-laki, boleh seorang laki-laki dan dua orang perempuan. Di sini mazhab Hanafi sudah berperspektif gender, perempuan era itu sudah dipandang mempunyai أهلية الأداء (kecakapan bertindak) secara sempurna, sama dengan kaum laki-laki. Lalu, untuk apa isyhad (kesaksian) ini?
Ini menjadi penting untuk difahami karena pengertian النكاح (nikah) adalah الوطء أو الجماع (berhubungan badan atau bersetubuh). Maka untuk memastikan bahwa pasangan laki-laki dan perempuan itu telah menikah, yang menghalalkan mereka untuk bersetubuh itu perlu persaksian beberapa orang. Fikih memberikan ketentuan minimal ada dua orang sudah dipandang memenuhi persyaratan. Manfaat dan tujuannya yaitu agar dapat menghindari manipulasi, cemooh, stigma social, dan syak wasangka masyarakat sekitar terhadap kedua insan tersebut.
Persoalan saksi ini sebenarnya telah menjadi perdebatan dalam fiqh sejak dahulu. Misalnya tentang apakah saksi ini harus hadir dalam akad majlis nikah? Buya Husain dalam pengajiannya telah menguraikan hal ini sangat lugas dan mudah difahami.
Persoalan saksi nikah, ulama sepakat bahwa transaksi nikah yang tidak ada saksi dipandang tidak sah. Hal ini berdasar pd redaksi Hadits: لانكاح إلابولي وشاهدي عدل
(Tidak dipandang sah sebuah pernikahan tanpa wali dan dua saksi yg adil). Hadits ini telah diriwayatkan oleh banyak perawi dan menjadi dalil pendapat mayoritas fuhaqa. Namun dalam pengertian Imam Hanafi makna لانكاح diartikan “tidak sempurna sebuah pernikahan….”, artinya tetap sah nikahnya, hanya dipandang kurang sempurna saja. Makna ini berbeda dengan imam mazhab yang lain.
Namun kehadiran saksi di sini menjadi ikhtilaf fuqaha. Sebagai wawasan saja, saya akan kutipkan di sini aqwal fuqaha tersebut.
Pertama, Mazhab Maliki, Asal ada saksi namun kahadiran saksi nikah tidak wajib. Menurutnya inti nikah adalah declare (الإعلان). Apabila kedua pasangan pasca akad cukup memberi pengumuman kepada beberapa orang bahwa mereka telah menikah, sudah dipandang cukup dan sah nikahnya. Hal ini berdasar pada Hadits Nabi saw dari Zubair bin Awam Nabi saw bersabda,
أعلنوا النكاح “Umumkanlah nikah.” (HR. Ahmad 16130, Ibnu Hibban 4066 dan dihasankan Syuaib al-Arnauth).
Kedua, Mazhab Hanbali, bahkan lebih liberal bahwa akad nikah tidak batal apabila diwasiatkan atau diperintahkan kepada para pihak untuk merahasiakan pernikahan tersebut, mungkin demi tujuan kebaikan tertentu. Jadi tanpa ada deklarasi atau pengumuman sama sekali juga tetap dipandang sah.
Ketiga, Pendapat Ibn Laila, Al-Tsauri, dan lain-lain tidak disyaratkan ada persaksian dalam nikah. Jadi saksi nikah tidak wajib yang penting ada akad nikah. Pokoknya menikah dengan berdalil pada zhahir ayat:فانكحوا ما طاب لكم من النساء (…Menikahlah dengan perempuan yang kamu sukai nan baik-baik…..). Namun pendapat ini dipandang qaul syadz (pendapat sesat). Apabila sudah dinyatakan syadz, maka sebaiknya tidak harus diikuti, hanya sebagai wawasan saja.
Menurut KH Husein, makna وشاهدي عدل penting difahami ‘mengapa harus ada kata adil? Sehingga tidak cukup yang penting ada saksi dan tanpa mempertimbangkan pribadinya. Misalnya yang penting ada dua orang saja sebagai formalitas sebuah pernikahan. Menurut KH Husein, ini sudah mereduksi makna adil itu sendiri. Makna adil adalah integritas yang bisa dipertanggungjawabkan. و العدالة هي الإستقامة واتباع تعاليم الدين، , ajeg, konsisten, dan mengikuti ajaran agama. Menurut beliau yang penting tidak kelihatan dominan kejahatannya. Itu sudah mencukupi.
Persoalan الإشهاد (persaksian) dalam nikah di sini bahkan dianjurkan untuk diumumkan minimal ke tetangga kanan kiri karena menyangkut masalah kehormatan. Misalnya pengumumannya dengan bunyi-bunyian rebana atau lainnya. Ketika dirahasiakan, bisa jadi akan menimbulkan isu negatif dan bahan gunjingan di tengah masyarakat, karena mereka dikira berduaan dengan lawan jenis.
Menurut saya di sini urgensi الإشهاد (kesaksian) dalam nikah, bukan pada pentingnya untuk diumumkan saja, tetapi juga penting untuk ikut dalam penentuan keabsahan ijab qabul nikah selama akad berlangsung. Apa sudah betul penyebutannya dan apakah ada korelasi antara ijab dan qabulnya? Yakni التوافق بين الإيجاب والقبول, harus ada kesesuaian antara ijab dan qabul, ini juga penting diperhatikan. Jangan-jangan yang bagian ijab menyebut nama si A, sedang qabul menyebut nama si B. Nah untuk memastikan hal tersebut perlu ada saksi yang tidak cukup hanya seorang saja.
Selain itu, dengan ada saksi, dapat memperkuat tanggung jawab dan kesungguhan seorang laki-laki untuk menjadi suami bagi seorang perempuan yang dinikahinya. Sehingga pernikahan bisa langgeng dan dapat dipertanggungjawabkan.
Kembali ke definisi nikah sirri yang berbeda dengan pengertian yang dimaksudkan oleh undang-undang pernikahan ala negara Indonesia. Sebuah pernikahan yang dilaksanakan secara terbuka atau tidak dengan syarat rukun terpenuhi dan mungkin tidak dicatatkan, ini yg benar menurut Buya Husein disebut nikah ‘urfi.
Ini seperti pernikahan yang dilakukan seseorang dengan memanggil Kiai atau Modin saja dengan disaksikan beberapa atau banyak orang. Nikah jenis ini disebut nikah urfi dan bukan nikah sirri, jadi tetap sah dalam fiqh, namun dipandang batal menurut hukum keluarga Indonesia.
Tentang mengapa hal itu dipandang batal oleh negara, padahal sudah terpenuhi syarat rukunnya secara fikih. Bagaimana pun fikih itu produk ulama, yang terbentuk sesuai zaman dan situasinya tersendiri. Bahkan kelompok ahli ra’yi (mazhab Hanafi) saja juga tidak memandang penting untuk dicatatkan saat itu. Di sisi lain, persoalan syarat rukun nikah ini tidak dirincikan dalam al Qur’an, maka cukup wajar pendapat fuqaha yang demikian itu.
Namun di era modern ini, pendapat atau ketentuan nikah yang demikian itu dipandang masih problematik dan dapat menimbulkan mudharat bagi salah satu pihak. Padahal tujuan menikah adalah untuk mendapatkan maslahah dan kebahagiaan hakiki dalam kehidupan. Pernikahan tanpa dicatatkan rawan terjadi tindak kezaliman, KDRT, tidak ada nafkah atau malah ditinggalkan begitu saja tanpa ada kejelasan antara sudah cerai atau belum. Sementara pihak yang dirugikan seringnya terjadi pada perempuan, mungkin juga bersama anaknya jika ada.
Namun keadaan tersebut tetap tidak dapat diselesaikan di pengadilan. Oleh demikian sudah benar hukum yang diterapkan negara Indonesia ini. Tujuan dicatatkannya agar terlindungi hak-hak pihak yang lemah. Nah, nikah yang terpenuhi syarat rukunnya dan dicatatkan inilah yang menurut Buya Husain disebut nikah syar’i. Wallâhu a’lamu bi al shawâb. []