Judul Buku : Tempurung
Penulis : Oka Rusmini
Tebal : 367 halaman
Tahun terbit : Cetakan Kedua Oktober 2024
Penerbit : Gramedia Pustaka Utama
Mubadalah.id – Usai membaca novel Tempurung, yang ditulis apik oleh Oka Rusmini, tak henti-henti aku menghela napas. Ada perasaan lega yang ganjil, seakan membaca setiap kata-katanya menelanjangi tubuhku sendiri. Tubuh seorang perempuan. Lalu seutas tanya hadir, menjadi perempuan, anugerah ataukah kutukan?
Di setiap babak kisah dalam buku ini menceritakan satu tokoh perempuan yang beragam latar belakang. Mulai dari bangsawan Bali yang disegani seperti Ida Ayu, hingga Sipleg, perempuan dari kelas sudra atau kasta paling rendah dalam struktur masyarakat Bali. Semua cerita dikemas dari sudut pandang perempuan. Perasaan dan pikiran-pikiran yang dimiliki perempuan, bahkan yang paling liar sekalipun.
Seluruh pengalaman khas perempuan, mulai dari menstruasi, hamil, melahirkan hingga lanjut usia, tertulis secara lugas. Tentang penolakan dan penerimaan perempuan atas takdir yang mengikat seluruh kehidupannya. Bahkan, aku berandai-andai, jika terlahir menjadi perempuan Bali, mungkin aku takkan sanggup menanggung beban tradisi yang begitu kuat mengikat perempuan.
Penting Mengenali Tubuh Sendiri
Sebagaimana tertulis di sampul bagian belakang buku, perempuan-perempuan dalam Tempurung terjebak dalam ikatan suci yang ganjil. Mereka berhadapan dengan kemerdekaan atas tubuhnya, persoalan agama, budaya dan norma masyarakat.
Perempuan-perempuan ini berhadapan dengan banyak ironi. Mereka menginginkan ketenangan, anak-anak dan suami di tengah kejengahan institusi keluarga. Perempuan, mencari cinta, kasih sayang di antara ambiguitas dan kegamangan hidup. Mereka ingin merdeka menentukan hidup dan impian di antara hal-hal yang membuatnya takut akan hidup itu sendiri.
Perempuan-perempuan yang kadang gagap berhadapan dengan tubuhnya sendiri. Mereka kadang tak mengenal dirinya sendiri. Perempuan-perempuan yang kemudian bertanya, menjadi perempuan itu anugerah, ataukah kutukan?
Melalui kisah dalam novel Tempurung ini, penting bagi kita para perempuan untuk lebih mengenali tubuh sendiri, bahkan sejak darah pertama belum keluar dari liang vagina. Penting untuk mengajak bicara tubuh perempuan, tentang lekuk-lekuk tubuh perempuan yang sunyi namun menyimpan getar birahi.
Aku, tentu saja menjadi barisan dari para perempuan yang telat menyadari tentang kuasa tubuh perempuan. Tentang penolakan dan penerimaan utuh, bahwa aku terlahir sebagai perempuan, dan tak tahu apa yang harus aku lakukan dengan tubuhku ini.
Kesadaran yang Lambat Datang, Bukan Akhir dari Segala
Membaca tuntas novel Tempurung, semakin menggenapi makna hadirku sebagai seorang perempuan, istri dan ibu dari dua orang anak. Ada masa di mana sesal itu tak perlu lagi ada. Tinggal bagaimana terus mengupayakan yang terbaik. Tidak lagi bicara demi kebahagiaan keluarga, tetapi juga bersedia mendengarkan apa mau tubuhku ini.
Kesadaran itu mungkin terlambat datang, namun bukanlah akhir dari segalanya. Justru aku merasa lega setidaknya kesalahan yang sama tidak akan terulang lagi oleh anak perempuanku. Pengetahuan tentang tubuh perempuan, aku cari-cari sendiri, melalui perjumpaan dengan para pegiat isu hak kesehatan reproduksi dan seksualitas perempuan.
Dulu aku hanya bisa meratapi nasib, dan menyalahkan takdir yang tak baik bagi perempuan. Seperti sakit yang teramat sangat ketika menstruasi datang setiap bulan. Praktis semua aktivitas menjadi terganggu. Ada masa ketika aku remaja dulu, membenci tubuh sendiri, yang kadang sakit di saat yang tidak tepat, seperti ketika ujian sekolah atau harus setoran hafalan di pesantren.
Rasa sakit itu menetap hingga lama, bahkan ketika sudah menikah. Pun saat kehamilan tak kunjung tiba, hanya mampu merundung nasib, mengapa proses kehamilanku tak semudah perempuan lainnya. Beruntung, aku punya pasangan yang berlatar kesehatan sehingga memahami situasi ini dan mengajakku untuk konsultasi dengan obygin.
Obstetri dan ginekologi atau Obgyn sendiri adalah dua cabang dalam dunia kedokteran yang difokuskan pada kesehatan perempuan. Obstetri sendiri secara khusus menangani kehamilan dan persalinan, sementara ginekologi mencakup masalah kesehatan terkait sistem reproduksi perempuan.
Sesekali Ajak Tubuh Kita Bicara
“Hai tubuh, hari ini kita akan beraktivitas ke sini dan ke sini. Kamu yang kuat ya! Maaf jika nanti kita akan terlambat istirahat.”
Ini adalah salah satu kalimat yang seringkali aku ucapkan manakala mengajak tubuhku bicara. Terutama ketika hendak berkegiatan di luar kota. Atau saat malam tiba, sebelum memejamkan mata, aku mengajaknya bicara, “Mari kita istirahat malam ini, esok kita akan lanjutkan perjalanan. Semoga kita siap menjalani hari yang baru.”
Tak aku sangka kebiasaan kecil yang aku lakukan sejak belia ini, terekam juga dalam beberapa adegan di novel Tempurung. Para perempuan dalam lakon novel ini, terbiasa untuk bicara dengan diri sendiri. Semacam monolog panjang untuk meyakinkan diri bahwa keputusan hidup yang telah mereka ambil itu sudah tepat.
Pun jika tidak, monolog panjang akan menjadi penolong untuk kembali merenungi, masa silam yang takkan pernah kembali. Lalu perempuan memilih beranjak pergi, menatap masa depan yang lebih pasti.
Di manapun posisi perempuan, dan dalam situasi apapun, aku percaya hadirnya adalah anugerah, bukan kutukan. Tanpa kehadiran perempuan, peradaban manusia di muka bumi ini musnahlah sudah. Takkan ada lembaran sejarah dunia, tanpa seorang perempuan! []