• Login
  • Register
Minggu, 11 Mei 2025
Keadilan dan Kesetaraan Gender - Mubadalah
Dukung kami dengan donasi melalui
Bank Syariah Indonesia 7004-0536-58
a.n. Yayasan Fahmina
  • Home
  • Aktual
  • Kolom
  • Khazanah
  • Rujukan
  • Tokoh
  • Monumen
  • Zawiyah
  • Kolom Buya Husein
No Result
View All Result
Keadilan dan Kesetaraan Gender - Mubadalah
  • Home
  • Aktual
  • Kolom
  • Khazanah
  • Rujukan
  • Tokoh
  • Monumen
  • Zawiyah
  • Kolom Buya Husein
Keadilan dan Kesetaraan Gender - Mubadalah
No Result
View All Result
Home Featured

Pancasila adalah Syari’ah Allah SWT

Umat Islam Indonesia, semestinya tidak perlu lagi mempertentangkan Pancasila dengan Syari’ah Islam, melainkan menerima dan mengamalkanya sebagai bagian dari pengamalan Syari’ah yang diturunkan dan direstui Allah Swt.

Faqih Abdul Kodir Faqih Abdul Kodir
01/06/2021
in Featured, Hukum Syariat, Rekomendasi
0
Pancasila

Pancasila

230
VIEWS
Share on FacebookShare on TwitterShare on Whatsapp

Mubadalah.id – Sebenarnya, sudah banyak ulama dari NU dan Muhammadiyah yang menegaskan bahwa Pancasila itu bagian dari Islam. Terakhir, KH Afif Muhajir, seorang ulama pakar Fiqh- Ushul Fiqh dari Pesantren Situbondo dan Rais Syuriah PBNU yang menegaskan hal ini dalam pidato penganugerahan gelar Doktor Honoris Causanya di UIN Walisongo Semarang, Nopember 2020.

Menurutnya, dengan merujuk pada teks sumber Islam, kaidah-kaidah fiqh, dan terutama kerangka maqashid syari’ah, hanya ada tiga pandangan saja terkait keselarasan Pancasila dan Syari’ah Islam. Satu, bahwa Pancasila sama sekali tidak bertentangan dengan syari’ah Islam. Kedua, bahwa Pancasila selaras dengan syari’ah Islam. Ketiga, bahwa Pancasila adalah syari’ah Islam itu sendiri.

Banyak sekali ayat al-Qur’an yang dirujuk, teks-teks Hadits, kaidah-kaidah fiqh, dan tentu saja kerangka maqashid syari’ah (tujuan-tujuan hukum Islam). Diantaranya adalah ayat al-Anbiyah (QS. 21: 25), al-Isra (QS. 17: 70), Ali Imran (QS. 3: 103), asy-Syura (QS. 42: 38), dan al-Ma’idah (QS. 5: 2 dan 8).

Tulisan ini akan menegaskan pandangan yang ketiga, dari yang disampaikan KH Afif Muhajir. Yaitu, bahwa Pancasila adalah syari’ah Islam yang diturunkan Allah Swt kepada Bangsa Indonesia, untuk kehidupan sekarang ini, sehingga tidak bisa dipertentangkan dengan Syari’ah Islam.

Pancasila Diturunkan Allah Swt

Baca Juga:

Merebut Tafsir: Membaca Kartini dalam Konteks Politik Etis

Islam Memuliakan Perempuan Belajar dari Pemikiran Neng Dara Affiah

Aurat dalam Islam

Keheningan Melalui Noble Silence dan Khusyuk sebagai Jembatan Menuju Ketenangan Hati

Beberapa individu dan kelompok yang konservatif sering berargumen bahwa mengambil hukum (tahkim) pada selain apa yang diturunkan Allah Swt itu adalah kafir (QS. Al-Maidah, 5: 44), zalim (QS. 5: 45), dan fasiq (QS. 5: 47). Yang dimaksud “apa yang diturunkan Allah Swt” adalah al-Qur’an dan syari’ahnya. Jadi, yang merujuk pada selain hukum al-Qur’an, seperti Pancasila, adalah tindakan kafir, zalim, dan fasiq.

Benarkah demikian?

Mari kita ambil salah satu ayat saja dari tiga ayat tersebut.

إِنَّا أَنْزَلْنَا التَّوْرَاةَ فِيهَا هُدًى وَنُورٌ يَحْكُمُ بِهَا النَّبِيُّونَ الَّذِينَ أَسْلَمُوا لِلَّذِينَ هَادُوا وَالرَّبَّانِيُّونَ وَالْأَحْبَارُ بِمَا اسْتُحْفِظُوا مِنْ كِتَابِ اللَّهِ وَكَانُوا عَلَيْهِ شُهَدَاءَ فَلَا تَخْشَوُا النَّاسَ وَاخْشَوْنِ وَلَا تَشْتَرُوا بِآيَاتِي ثَمَنًا قَلِيلًا وَمَنْ لَمْ يَحْكُمْ بِمَا أَنْزَلَ اللَّهُ فَأُولَئِكَ هُمُ الْكَافِرُونَ (المائدة، 44)

“Sungguh, Kami yang menurunkan Kitab Taurat; di dalamnya (ada) petunjuk dan cahaya. Yang dengan Kitab itu para Nabi yang berserah diri kepada Allah memberi putusan atas perkara orang Yahudi, demikian juga para ulama dan pendeta-pendeta mereka, sebab mereka diperintahkan memelihara kitab-kitab Allah dan mereka menjadi saksi terhadapnya. Karena itu janganlah kamu takut kepada manusia, (tetapi) takutlah kepada-Ku. Dan janganlah kamu jual ayat-ayat-Ku dengan harga murah. Barangsiapa tidak memutuskan dengan apa yang diturunkan Allah, maka mereka itulah orang-orang kafir.” (QS. Al-Maidah, 5: 44).

Sebenarnya, banyak ulama tafsir yang menyatakan bahwa ayat ini tentang orang-orang Yahudi, yang tidak beriman dengan kitab mereka yang telah diturunkan Allah Swt. Namun, karena penggalan terakhir itu dianggap kalimat umum (wa man lam yahkum bima anzalallah fa ulaika hum al-kafirun), ia harus berlaku untuk siapapun yang tidak berhukum dengan “apa yang diturunkan Allah Swt” (ma anzalallah). Mereka, yang demikian ini, termasuk umat Islam, dan kita sekarang ini, dianggap sebagai orang-orang kafir (fa ulaika hum al-kafirun).

Pertanyaannya: apa maksud dari “apa yang diturunkan Allah Swt” ini?

Jika merujuk pada ayat, kalimat ini menggunakan kata yang tidak definitif (nakirah). Yaitu ma, segala sesuatu yang bisa apa saja, yang diturunkan Allah Swt (anzalallah). Sesuatu itu belum dijelaskan secara definitif. Jika merujuk pada awal ayat: yang diturunkan Allah Swt adalah justru Kitab Taurat, bukan al-Qur’an, atau syari’ah Islam.

Atau, jika merujuk pada berbagai ayat lain yang cukup banyak, kita justru bisa menemukan lebih beragam lagi, tengan “apa yang diturunkan Allah Swti” itu. Ada ayat al-Qur’an yang menyatakan bahwa Allah Swt menurunkan Taurat dan Injil (QS. 3: 3), Allah Swt menurunkan al-Qur’an (QS. 3: 4), menurunkan Hikmah (QS. 2: 231), keadilan (QS. 42: 17), kebaikan (QS. 16: 30), ketenangan (QS. 48: 4), dan yang lain.

Sederhananya, jika ayat-ayat ini dirujuk, hikmah dan keadilan adalah juga diturunkan Allah Swt kepada manusia. Sehingga, merujuk pada hikmah (kebijaksanaan) dan keadilan adalah juga merujuk pada sesuatu yang diturunkan Allah Swt. Pancasila adalah juga berisi hikmah, kebijaksanaan, dan keadilan. Ditambah lagi ketuhanan, kemanusiaan, dan persatuan. Semua norma Pancasila, apalagi, juga ditegaskan berbagai ayat al-Qur’an. Dus, menerima Pancasila adalah termasuk merujuk pada dan menerima “sesuatu yang telah diturunkan Allah Swt” (ma anzalallah).

Pancasila Bukan al-Jahiliyah

Sayangnya, individu dan kelompok konservatif tidak menempatkan Pancasila sebagai “apa yang diturunkan Allah Swt” (ma anzalallah), sebagaimana pada ayat-ayat di atas. Melainkan, ia dianggap sebagai sesuatu “yang jahiliyah” (al-jahiliyah) yang dilarang al-Qur’an untuk diikuti (QS. Al-Maidah, 5: 50).

Benarkah demikian?

Jika diamati secara seksama, ayat tentang “yang jahiliyah” ini justru menggunakan tanda definitif (أل), sesuatu yang diketahui bersama masyarakat pada saat itu. Yang diketahui, saat itu, kata “al-jahiliyah” merujuk pada sesuatu yang menjadi ciri khas dari perilaku orang Arab Jahiliyah, ketika menerapkan hukum. Yaitu: ketidak-adilan, kezaliman, dan kesewenang-wenangan.

Karena sudah definitif dengan kata “al-jahiliyah”, harusnya hanya hukum yang tidak adil dan zalim yang disebut “yang jahiliyah” (al-jahiliyah). Selainnya, yaitu yang adil dan baik adalah justru Islami dan bagian dari syari’ah. Jadi, nalar yang benar adalah nalar inklusif. Yaitu, yang menerima apapun dan darimanapun, selama mengandung keadilan dan kebijaksanaan, seperti Pancasila, sebagai syari’ah yang diturunkan dan dikehendaki Allah Swt.

Pancasila bukan masuk “al-jahiliyah”, karena “yang jahiliyah” ini telah didefinisikan sedemikian rupa, dan diketahui oleh masyarakat Muslim awal pada saat itu, sebagai karakter tertentu dan khas: ketidak-adilan dan kezaliman. Pancasila sama sekali tidak mengandung norma demikian, karena itu, bukan termasuk “yang jahiliyah”.

Sebaliknya, Pancasila adalah sesuatu yang justru diturunkan Allah Swt dan syari’ah-Nya. Norma-norma dasar Pancasila telah ditegaskan dalam berbagai ayat al-Qur’an. Yaitu mengenai keesaan Tuhan pada sila pertama, kemanusiaan yang adil dan beradab pada sila kedua, persatuan pada sila ketiga, permusyawaratan pada sila keempat, dan keadilan sosial pada sila kelima.

Persis seperti yang dikatakan Ibn al-Qayiim al-Jawziyah (w. 751 H/1350 M) mengenai nilai-nilai dasar syari’ah Allah Swt, berikut ini:

“Syari’ah itu didasarkan pada kebijaksanaan (hikmah) yang menghendaki kesejahteraan (maslahah) manusia di dunia dan akhirat. Syari’ah seluruhnya terkait dengan keadilan, kasih-sayang, kebijaksanaan, dan kebaikan. Jadi, peraturan apapun yang mengganti keadilan dengan ketidak-adilan; kasih-sayang dengan kebalikannya, kemaslahatan umum dengan kejahatan, atau kebijaksanaan dengan kesewenang-wenangan, maka peraturan tersebut bukan bagian dari syari’ah, meskipun diklaim sebagai bagian dari syari’ah menurut interpretasi tertentu” (I’lam al-Muwaqqi’in, juz 3, hal. 3).

Demikianlah, Pancasila yang berisi ketauhidan, kemanusiaan, persatuan, permusyawaratan, dan keadilan sosial, sejatinya adalah Syari’ah Allah Swt yang diturunkan-Nya untuk Bangsa Indonesia, pada konteks kita sekarang, sebagai ideologi berbangsa dan bernegara. Ayat-ayat al-Qur’an dan juga sumber-sumber lain, sebagaimana ditegaskan KH Afif Muhajir, adalah juga menegaskan hal demikian.

Umat Islam Indonesia, semestinya tidak perlu lagi mempertentangkan Pancasila dengan Syari’ah Islam, melainkan menerima dan mengamalkanya sebagai bagian dari pengamalan Syari’ah yang diturunkan dan direstui Allah Swt, untuk dimensi berbangsa, dalam konteks kita sekarang di Indonesia. Wallahu a’lam. []

 

Tags: Ideologi NegaraIndonesiaislamKebangsaanKebhinekaanPancasilasejarah
Faqih Abdul Kodir

Faqih Abdul Kodir

Founder Mubadalah.id dan Ketua LP2M UIN Siber Syekh Nurjati Cirebon

Terkait Posts

Pekerja Rumah Tangga

Ibu, Aku, dan Putriku: Generasi Pekerja Rumah Tangga

11 Mei 2025
Neng Dara Affiah

Islam Memuliakan Perempuan Belajar dari Pemikiran Neng Dara Affiah

10 Mei 2025
Perempuan sosial

Perempuan Bukan Fitnah: Membongkar Paradoks Antara Tafsir Keagamaan dan Realitas Sosial

10 Mei 2025
Vasektomi untuk Bansos

Vasektomi untuk Bansos: Syariat, HAM, Gender hingga Relasi Kuasa

9 Mei 2025
Vasektomi

Tafsir Sosial Kemanusiaan: Vasektomi, Kemiskinan, dan Hak Tubuh

8 Mei 2025
Barak Militer

Mengasuh dengan Kekerasan? Menimbang Ulang Ide Barak Militer untuk Anak Nakal

7 Mei 2025
Please login to join discussion
No Result
View All Result

TERPOPULER

  • Bekerja adalah

    Bekerja adalah Ibadah

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Kontekstualisasi Ajaran Islam terhadap Hari Raya Waisak

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Perempuan Bukan Fitnah: Membongkar Paradoks Antara Tafsir Keagamaan dan Realitas Sosial

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Islam Memuliakan Perempuan Belajar dari Pemikiran Neng Dara Affiah

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Perempuan Bekerja, Mengapa Tidak?

    0 shares
    Share 0 Tweet 0

TERBARU

  • Ibu, Aku, dan Putriku: Generasi Pekerja Rumah Tangga
  • Tidak Ada Cinta bagi Arivia
  • Menyusui adalah Pekerjaan Mulia
  • Kontekstualisasi Ajaran Islam terhadap Hari Raya Waisak
  • Bekerja adalah Ibadah

Komentar Terbaru

  • Asma binti Hamad dan Hilangnya Harapan Hidup pada Mengapa Tuhan Tak Bergeming dalam Pembantaian di Palestina?
  • Usaha, Privilege, dan Kehendak Tuhan pada Mengenalkan Palestina pada Anak
  • Salsabila Septi pada Memaknai Perjalanan Hidup di Usia 25 tahun; Antara Kegagalan, Kesalahan dan Optimisme
  • Zahra Amin pada Perbincangan Soal Jilbab
  • Nolimits313 pada Perbincangan Soal Jilbab
  • Tentang
  • Redaksi
  • Kontributor
  • Kirim Tulisan
Kontak kami:
[email protected]

© 2023 MUBADALAH.ID

Selamat Datang!

Login to your account below

Forgotten Password? Sign Up

Create New Account!

Fill the forms bellow to register

All fields are required. Log In

Retrieve your password

Please enter your username or email address to reset your password.

Log In

Add New Playlist

No Result
View All Result
  • Home
  • Aktual
  • Kolom
  • Khazanah
  • Rujukan
  • Tokoh
  • Monumen
  • Zawiyah
  • Kolom Buya Husein
  • Login
  • Sign Up

© 2023 MUBADALAH.ID

Go to mobile version