Mubadalah.id – Sebagian fuqaha, menurut Salah satu ketua Majelis Musyawarah Kongres Ulama Perempuan Indonesia (MM KUPI), Nyai Hj. Badriyah Fayumi, Lc. MA, berpandangan bahwa tidak bersedia dimadu itu bisa dan boleh menjadi isi perjanjian perkawinan yang wajib dipenuhi suami, karena manfaat hal ini kembali ke istri.
Di antara sahabat Nabi dan fuqaha yang berpendapat demikian, kata Bu Nyai Badriyah adalah Khalifah Umar bin khatab.
Kemudian Sayyidina bin Abi Waqqash, Amru bin ‘Ash, Khalifah Umar bin Abdul Aziz, Thawus, al Awza’i, Ishaq dan sebagian ulama mazhab Hambali.
Pendapat ini, ungkapnya, semakin hari semakin banyak mengikuti karena kemaslahatannya semakin terasa.
Syarat ini tidak mengharamkan apa yang Allah halalkan, karena pada dasarnya perempuan berhak memilih untuk poligami atau monogami.
Ketika perempuan sudah memilih dan menjadikannya sebagai syarat dan janji perkawinan, maka laki-laki yang menjadi suaminya terikat dengan janji itu.
Karena poligami adalah pilihan, maka tidak bersedia bukan berarti mengharamkan yang Allah halalkan.
Sehingga syarat tidak mau poligami tidak bertentangan dengan hadis Nabi yang at-Tirmidzi riwayatkan, bahwa Nabi Saw bersabda:
والمسلمون على شروطهم الاشرطا حرم حللا اْو حراما
Artinya : “Orang muslim terikat dengan syarat yang mereka buat kecuali syarat yang menghalalkan yang haram dan mengharamkan yang halal”.
Mengadopsi Fiqh Islam
Dengan mengadopsi fiqh Islam yang sudah berkembang sejak zaman sahabat Nabi, Bu Nyai Badriyah mengungkapkan perjanjian perkawinan juga telah menetapkan dalam hukum positif Indonesia.
Pasal 29 (UU perkawinan UU Nomor 1 Tahun 1974) memberikan peluang yang luas untuk melakukan perjanjian perkawinan meliputi apa saja sepanjang tidak melanggar batas-batas hukum dan kesusilaan.
Prosedurnya, perjanjian perkawinan mendaftarkan kepada pegawai pencatat perkawinan yakni KUA bagi yang beragama Islam dan Kantor Catatan Sipil bagi non-muslim.
Pasal 29 UU perkawinan ini menjelaskan secara lebih rinci dalam kompilasi hukum Islam (KHI) pasal 45 sampai 52.
Hanya saja KHI, kata dia, lebih banyak mengatur masalah percampuran dan pemisahan harta perkawinan, yang intinya pemisahan atau pencampuran harta pencarian masing-masing tanpa menghilangkan kewajiban suami memberi nafkah keluarga (pasal 47 ayat 2, pasal 48 ayat 1) sementara hal-hal lain belum merinci.
Ini bisa memaklumi serta mengingat KHI yang berlaku melalui Inpres nomor 1 tahun 1991 itu sendiri tidak bersifat final melainkan mengembangkannya seirama dengan penuntutan problematik yang kian kompleks. (Rul)