Mubadalah.id – Pendapat para ulama Hanabilah tentang onani secara garis besar, pendapat ketiga ini sama dengan pendapat kedua dari para ulama Ahnaf.
Ulama Hanabilah umumnya mengatakan bahwa onani dengan tangan sendiri haram hukumnya, kecuali jika takut akan berbuat zina (khawfan min al-zinâ), atau takut akan merusak kesehatan (khawfan ‘alâ shihhatihi), sedang ia tak mempunyai istri atau ‘budak’, dan juga tak mampu untuk menikah.
Dalam keadaan seperti ini, menurutnya, tidaklah ada kesempitan baginya untuk melakukkan onani/masturbasi dengan tangannya sendiri.
Akan tetapi, karena kebolehannya akibat terpaksa maka sudah barang tentu perbuatannya dilakukan seminimal mungkin dan tidak boleh berlebihan. Ini sesuai dengan ketentuan hukum dlarûrat seperti disinyalir dalam kaidah fiqh berikut:
ما أبيح للضرورة يقدر بقدرها
“Sesuatu yang diperbolehkan karena dharurat, hanya boleh dilakukan sekadarnya saja.”
Berkaitan dengan pendapat Hanabilah ini, Imam Ahmad Ibn Hanbal, sebagai imam madzhab kelompok Hanabilah, memiliki pendapatnya sendiri.
Dengan cara qiyas kepada bercanduk (al-fashdu wa al-hijâmah), masturbasi atau onani (istimâ` bi al-yadd), dalam pandangannya, adalah boleh (jawâz).
Lebih lanjut, ia mengatakan bahwa masturbasi itu tak ubahnya mengeluarkan sesuatu yang sudah tak ia perlukan lagi (fadllah) oleh badan. Dengan demikian, ia hanya boleh ketika hajat saja. Bahkan, ada yang mengatakan bahwa onani/masturbasi masih lebih baik ketimbang menikahi seorang budak.
Pendapat Ahmad Ibn Hanbal ini tertolak oleh sebagian ulama yang lain. Secara tegas, al-Syinqithy mengajukan keberatannya atas cara qiyâs yang telah Ahmad Ibn Hanbal gunakan. Qiyâs tersebut telah menyalahi ketegasan ‘umûm al-Qur`ân, dan qiyâs seperti ini pasti ia tolak. []