Hampir empat bulan Indonesia mengalami pandemic covid-19. Pemerintah sudah memutar anggaran untuk melakukan pananggulangan dan pencegahan covid-19. Di saat yang bersamaan, masyarakat sipil saling membantu satu dengan lainnya. Misalkan Gusdurian membuka donasi untuk bisa disalurkan kepada masyarakat yang membutuhkan. Lalu, bagaimana gerakan yang dikelola oleh gerakan perempuan?
Cukup banyak gerakan yang dilakukan oleh masyarakat sipil ini. Misalnya yang sudah dilakukan oleh masyarakat sipil kelompok perempuan dari Sulteng, mereka fokus dalam masyarakat yang terdampak di Hunian Sementara (Huntara), yaitu Libu Perempuan. Paska gempa Palu, ada banyak perempuan yang tinggal di huntara dan notabanernya adalah korban KDRT dan buruh cuci. Saat ini mereka (perempuan di huntara) tidak lagi mendapatkan pekerjaan. Libu Perempuan menyalurkan beberapa bantuan kepada mereka.
Lalu, Fatayat Jawa Timur menyumpulkan kain perca untuk dijadikan masker. Total hingga saat ini, sudah ada 50 ribu masker yang dibagikan di wilayah itu oleh Fatayat Jawa Timur. Selanjutnya, gabungan masyarakat sipil di Jawa Timur juga mendorong adanya shelter atau rumah singgah di Provinsi untuk korban kekerasan perempuan dan anak. Diakui atau tidak, jumlah kekerasan terhadap perempuan di beberapa daerah cukup meningkat. Dan Shelter menjadi rumah aman bagi para korban.
Hal yang paling unik di Papua, jangan dibayangkan jika Papua sudah memiliki akses yang baik terhadap internet. Para pendeta perempuan memproduksi informasi tentang covid-19 dengan menggunakan pamflet agar dapat dibaca oleh masyarakat umum.
Sebab, jaringan internet dan teknologi di Papua masih belum memadai. Gerakan-gerakan ini sangat luar biasa dan menjadi gerakan solidaritas bersama dari kelompok perempuan. Lalu, apa yang suda dilakukan oleh pemerintah untuk kelompok perempuan?
Perlu diakui jika pemerintah sudah melakukan beberapa hal yang sudah merujuk terhadap kebutuhan perempuan. Di antaranya, Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB), mencoba mendorongkan pentingnya data terpilah pada korban covid 19. Kedua, Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (KPPPA) meluncurkan gerakan BERJARAK, membangun kordinasi dengan kementerian lain, pencegahan kekerasan berbasis gender, memastikan layanan korban tersedia.
Ketiga, Kantor Staf Presiden (KSP) telah meluncurkan Layanan Sejiwa untuk akses konsultasi psikologis bagi masyarakat. Apakah hal itu sudah mencerminkan Pengarusuatamaan Gender dalam penanganan bencana?
Sebelum menjawab hal itu, kita perlu merilik jumlah kasus kekerasan yang terjadi di Indonesia. Sebab, di beberapa negara sudah merilis kasus kekerasan tersebut.
Menurut Data SIMFONI PPA per 2 Maret-25 April 2020 tercatat 275 kasus kekerasan yang dialami perempuan dewasa dengan total korban sebanyak 277 orang dan 368 kasus kekerasan yang dialami anak, dengan korban sebanyak 407 anak. Di saat yang bersamaan, pelayanan dan tugas terhadap korban kekerasan pada perempuan dan anak harus mandeg di tengah jalan dengan alasan masa pandemic. Beberapa institusi tidak melanjutkan penanganan untuk korban kekerasan terhadap perempuan dan anak. Keadaan ini menjadi catatan buram di tengah wabah covid-19.
Hal yang paling mendasar adalah keadaan ini pun tidak diantisipasi, baik pemerintah maupun masyarakat. Penanganan pandemic ini hanya terfokus pada kesehatan saja. Di saat yang bersamaan, pemerintah dan daerah melakukan pemotongan anggaran secara tidak beraturan. Anggaran untuk penanganan kekerasan terhadap perempuan dan anak pun ikut terpotong.
Ini menandakan bahwa pemerintah belum responsip gender dalam menanganan covid-19 ini. Padahal, Indonesia memiliki Peraturan Kepala (Perka) Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) No. 13 tahun 2014 tentang PUG dalam Penaganan bencana. Dalam aturan tersebut, terdapat kewajiban memperhatikan pengalaman perempuan dan anak perempuan pada saat bencana agar intervensi penanganan sesuai dengan kebutuhan perempuan.
Belum diterapkannya PUG dalam penanganan covid-19 terbukti dengan tidak adanya representasi perempuan dalam Gugus Tugas Penanganan COVID 19 mulai dari tingkat nasional dan daerah. Misalkan saja, dalam gugus tugas nasional, KPPPA yang menjadi refresentatif pemerintah yang konsen terhadap isu perempuan dan anak tidak dimasukkan.
Padahal, dalam pasal 17 dalam dokumen PERKA juga telah mengatur perlunya perwakilan yang seimbang antara perempuan dan laki-laki untuk terlibat sejak dalam perencanaan, dan masuk dalam tim kaji cepat tanggap darurat.
Hal lainnya yang belum merujuk penerapan masalah gender adalah Program Bantuan Sosial yang disediakan dan didistribusikan mulai dari Pemerintah Pusat, Daerah, sampai dengan Desa.
Bantuan tersebut juga belum tepat sasaran dan masih netral gender. Sejumlah bantuan sosial diterimakan kepada masyarakat yang sebenarnya merupakan kategori keluarga mampu. Jenis bantuan yang diberikan juga belum memenuhi kebutuhan spesifik warga yang memiliki keragaman kebutuhan seperti lansia, disabilitas, balita, ibu hamil, orang dengan HIV AIDS, masyarakat terpencil dan kelompok marjinal lainnya. Hal ini terjadi karena respon kedaruratan belum menggunakan data pilah gender dan analisa kebutuhan berbasis gender.
Sedangkan temuan lainnya, yang perlu disoroti adalah pemberlakukan sistem kerja dari rumah (Work From Home) juga membuat perempuan mengalami multi beban. Karena tidak didukung oleh pembagian peran dan pengasuhan yang setara dalam keluarga. Sehingga, perlu disadari keterwakilan perempuan sejatinya membantu memberikan masukan berdasarkan pengalaman-pengalaman spesisik yang dialami oleh warga dalam menghadapi situasi darurat. Untuk itu, perlu didorong penerapan kebijakan yang sensitif gender dalam penanganan covid-19 ini.[]