Mubadalah.id – Selama berapa minggu ke depan, hingga awal September nanti, saya akan menuliskan pengalaman spiritual haji perempuan. Meski agak lama saya mempertimbangkan ini. Antara kemanfaatan dan dianggap riya, atau pamer ibadah. Tetapi karena saya berpijak bahwa pengalaman perempuan itu sah merupakan basis pengetahuan, maka saya memberanikan diri. (Baca: Kenapa Manusia Makhluk Terbaik Ciptaan Tuhan?)
Tulisan pengalaman spiritual haji perempuan nanti bukan untuk mengkritik otoritas penyelenggara haji, dalam hal ini Kementerian Agama jika terdapat kekurangan, atau KBIH sebagai penyedia layanan bimbingan ibadah haji bagi pemula seperti kami. Tetapi catatan ini, seperti yang seringkali saya tulis, hanya sebatas refleksi pribadi dan bagaimana saya perempuan memaknai perjalanan spiritual ini hingga meresapi setiap detik yang terlewati. Merenungi setiap jejak peristiwa sejarah Islam yang menyertai keberadaan perintah haji itu sendiri.
Anggap saja tulisan ini sebagai awalan, pembuka. Sebelum nanti saya akan menulisnya lebih panjang lagi. Dibaca atau tidak, saya percaya setiap tulisan akan menemukan ruang dan orangnya tersendiri. Jadi saya ingin mencatat 3 hal penting, dawuh KH. Musthofa Aqiel Siradj, sebagai Amirul Haj Indonesia tahun ini, yang siang tadi mengisi khutbah wukuf, saat latihan manasik haji tingkat kabupaten, Sabtu 29 Juni 2019 di Sport Center Indramayu.
Pertama, perbanyak baca kalimat tauhid “La Ilaaha Ilallah Muhammad Rasulullah”, di Makkah. Perbanyak baca istighfar di Arafah, dan perbanyak membaca shalawat di Madinah. Ini tentu ada kaitan historis, tentang kisah Nabi Adam AS di Arafah, Nabi Ibrahim AS di Makkah, dan Nabi Muhammad SAW di Madinah.
Kedua, belilah Alqur’an. Jika mampu membaca, baca beberapa ayat. Lalu wakafkan di Masjidil Haram, dan Masjid Nabawi. Alqur’an yang bagus harganya sekitar 70 riyal. Lalu niatkan wakaf itu untuk kedua orang tua, mertua, atau saudara yang sudah berpulang mendahului kita. Pahalanya akan terus mengalir hingga hari akhir.
Ketiga, disetiap tempat yang mustajab untuk berdoa. Seperti Masjidil Haram, Masjid Nabawi, Jabal Rahmah, Arafah, Mina, Sai dan sebagainya. Kita dianjurkan membaca kalimat syahadat, dan memohon agar tempat mustajab itu bersaksi di akhirat nanti untuk kita, jika kita telah membaca syahadat. Anjuran ini tidak ada dalam alqur’an maupun hadits. Tetapi tuntunan para wali dan ulama.
Keempat, jika berziarah ke makam Baginda Nabi, lepaskan alas kaki kita di depan pintu masjid. Jangan meniru orang Arab yang tetap memakai sandal meski di dalam masjid. Ini kaitannya dengan adab. Di bawah masjid, bersemayam jasad Nabi yang mulia, kita wajib menghormatinya. Malah dikisahkan Imam Malik RA ketika berziarah ke makam Nabi, baru memandang kubah/cungkup hijaunya saja sudah melepaskan alas kaki. Padahal terik matahari panas menyengat kaki, kata Imam Malik, itu sebagai bentuk penghormatan terhadap Baginda Rasulullah SAW dan para sahabat yang dimakamkan di areal Masjid Nabawi. Demikian. Semoga bermanfaat. Wallahu ‘alam bishowab.
*) tulisan ini pernah dimuat di santrinews.com pada Sabtu, 29 Juni 2019