• Login
  • Register
Kamis, 3 Juli 2025
Keadilan dan Kesetaraan Gender - Mubadalah
Dukung kami dengan donasi melalui
Bank Syariah Indonesia 7004-0536-58
a.n. Yayasan Fahmina
  • Home
  • Aktual
  • Kolom
  • Khazanah
  • Rujukan
  • Tokoh
  • Monumen
  • Zawiyah
  • Kolom Buya Husein
No Result
View All Result
Keadilan dan Kesetaraan Gender - Mubadalah
  • Home
  • Aktual
  • Kolom
  • Khazanah
  • Rujukan
  • Tokoh
  • Monumen
  • Zawiyah
  • Kolom Buya Husein
Keadilan dan Kesetaraan Gender - Mubadalah
No Result
View All Result
Home Kolom Publik

Pentingnya Dakwah Islam Perlu Berbasis Pengalaman Perempuan

Sudah saatnya dakwah tidak hanya berbicara tentang perempuan, tapi juga bersama perempuan.

Faqih Abdul Kodir Faqih Abdul Kodir
14/03/2025
in Publik, Rekomendasi
0
Dakwah Islam

Dakwah Islam

1.1k
VIEWS
Share on FacebookShare on TwitterShare on Whatsapp

Mubadalah.id – Dakwah Islam telah berkembang dalam berbagai bentuk, dari ceramah di mimbar masjid hingga dakwah digital di media sosial. Banyak buku dan artikel telah membahas strategi dan tantangan dakwah di era modern.

Namun, selama ini, kajian maupun praktik dakwah masih didominasi oleh perspektif maskulin, baik dari sisi penyampai dakwah maupun isi materinya. Perspektif dan pengalaman perempuan masih belum kita pertimbangkan dalam narasi-narasi dakwah yang populer di kalangan masyarakat.

Dakwah Berbasis Pengalaman Perempuan

Banyak ceramah masih berkutat pada regulasi moral dan hukum, tanpa mempertimbangkan bagaimana perempuan mengalami ajaran Islam dalam kehidupan nyata. Dakwah sering kali berbicara tentang perempuan, tetapi jarang berbicara dari pengalaman perempuan itu sendiri.

Dalam istilah Ibu Mufidah Cholil, ulama perempuan dari Malang, materi dakwah seringkali bersifat abstrak dari hulu, bukan dari pengalaman nyata, terutama para perempuan, di hilir.

Contoh paling nyata bisa kita lihat dalam isu menstruasi, dampak pernikahan anak, kekerasan dalam rumah tangga, stunting, serta hak perempuan dalam ekonomi dan politik. Banyak narasi keagamaan yang hanya berputar pada apa yang “boleh” dan “tidak boleh” dilakukan perempuan. Narasi ini tanpa mempertimbangkan realitas yang mereka hadapi.

Baca Juga:

Women as The Second Choice: Perempuan Sebagai Subyek Utuh, Mengapa Hanya Menjadi Opsi?

Bagaimana Mubadalah Memandang Fenomena Perempuan yang Menemani Laki-laki dari Nol?

Iduladha sebagai Refleksi Gender: Kritik Asma Barlas atas Ketaatan Absolut

Membaca Novel Jodoh Pasti Bertemu dalam Perspektif Mubadalah

Bagaimana ceramah-ceramah agama tentang perempuan dan kita sampaikan kepada para perempuan, tetapi tidak bertanya terlebih dahulu dari pengalaman mereka? Misalnya, tentang mesntruasi, mengapa pengalaman mereka tidak kita kumpulkan terlebih dahulu untuk membicarakan apa dan bagaimana itu fiqh menstruasi?

Bagaimana dampak pernikahan anak terhadap kesehatan dan masa depan perempuan? Lalu bagaimana ketimpangan ekonomi membuat perempuan lebih rentan terhadap kekerasan? Bagaimana kepentingan-kepentingan perempuan tidak terakomodasi dalam penganggaran, sekalipun Menteri Keuangan kita seorang perempuan? Mengapa program Makan Bergizi Gratis tidak melibatkan para perempuan, yang justru lebih paham dalam mengelola makan untuk anak-anak mereka?

Paradigma dan Pendekatan KUPI

Pertanyaan seperti di atas masih jarang menjadi pusat dalam kajian dakwah sosial dan politik dengan pendekatan yang konvensional. Paradigma KUPI (Kongres Ulama Perempuan Indonesia), berangkat dari fondasi tauhid, visi rahmatan lil ‘alamin, dan misi akhlak mulia. Yaitu memandang pengalaman perempuan sebagai sumber pengetahuan dan kebijakan dalam berdakwah.

Dengan fondasi tauhid, perempuan adalah manusia sebagaimana laki-laki, yang Allah Swt ciptakan dengan mandat khalifah di muka bumi, untuk mewujudkan dan menikmati kemakmuran, kebaikan dan kesejahteraan. Karena itu, perempuan dan laki-laki sama-sama menjadi pelaku dan penerima manfaat, baik dalam visi rahmatan lil ‘alamin maupun misi akhlak mulia.

Pernyataan seperti ini lahir dari tiga pendekatan KUPI, yaitu Makruf, Mubadalah, dan Keadilan Hakiki, dalam memahami sumber-sumber teks Islam, dan termasuk mengenali realitas sosial, terutama dari yang perempuan alami sehari-hari. Dengan pendekatan Makruf, dakwah harus mengajak pada nilai-nilai yang benar-benar membawa manfaat bagi masyarakat. Bukan sekadar mempertahankan tradisi yang merugikan kelompok tertentu, termasuk perempuan.

Dengan pendekatan Mubadalah, dakwah harus memperlakukan laki-laki dan perempuan sebagai mitra setara, bukan menempatkan perempuan sebagai objek yang hanya “diatur”. Baik sebagai pelaku dakwah, isi materi, manfaat, dan termasuk dampak dari kerja-kerja dakwah. Sementara dengan pendekatan Keadilan Hakiki, dakwah harus berorientasi pada keadilan substantif, bukan sekadar aturan normatif yang tidak mempertimbangkan konteks dan pengalaman perempuan, biologis dan sosial.

Melalui pendekatan ini, dakwah bukan lagi sekadar seruan normatif, tetapi juga gerakan sosial yang benar-benar menghadirkan keadilan bagi semua. Dengan memahami pengalaman perempuan sebagai bagian dari sumber pengetahuan Islam, kita bisa menghadirkan dakwah yang lebih membumi, lebih relevan, dan lebih membebaskan. Sudah saatnya dakwah tidak hanya berbicara tentang perempuan, tapi juga bersama perempuan. []

 

Tags: dakwah IslamKeadilan HakikiMakrufMubadalahParadigma KUPIpengalaman perempuan
Faqih Abdul Kodir

Faqih Abdul Kodir

Founder Mubadalah.id dan Ketua LP2M UIN Siber Syekh Nurjati Cirebon

Terkait Posts

Konten Kesedihan

Fokus Potensi, Difabel Bukan Objek Konten Kesedihan!

3 Juli 2025
SAK

Melihat Lebih Dekat Nilai Kesetaraan Gender dalam Ibadah Umat Hindu: Refleksi dari SAK Ke-2

2 Juli 2025
Wahabi Lingkungan

Ironi: Aktivis Lingkungan Dicap Wahabi Lingkungan Sementara Kerusakan Lingkungan Merajalela

2 Juli 2025
Kebencian Berbasis Agama

Egoisme dan Benih Kebencian Berbasis Agama

2 Juli 2025
Menstruasi

Demianus si ‘Manusia Pembalut’ dan Perlawanan terhadap Tabu Menstruasi

2 Juli 2025
Gaji Pejabat

Gaji Pejabat vs Kesejahteraan Kaum Alit, Mana yang Lebih Penting?

1 Juli 2025
Please login to join discussion
No Result
View All Result

TERPOPULER

  • Boys Don’t Cry

    Boys Don’t Cry: Membongkar Kesalingan, Menyadari Laki-laki Juga Manusia

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Ironi: Aktivis Lingkungan Dicap Wahabi Lingkungan Sementara Kerusakan Lingkungan Merajalela

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Egoisme dan Benih Kebencian Berbasis Agama

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Demianus si ‘Manusia Pembalut’ dan Perlawanan terhadap Tabu Menstruasi

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Vasektomi, Gender, dan Otonomi Tubuh: Siapa yang Bertanggung Jawab atas Kelahiran?

    0 shares
    Share 0 Tweet 0

TERBARU

  • Hak dan Kewajiban Laki-laki dan Perempuan dalam Fikih: Siapa yang Diuntungkan?
  • Fokus Potensi, Difabel Bukan Objek Konten Kesedihan!
  • Mengapa Perceraian Begitu Mudah untuk Suami?
  • Ketika Istilah Marital Rape Masih Dianggap Tabu
  • Melihat Lebih Dekat Nilai Kesetaraan Gender dalam Ibadah Umat Hindu: Refleksi dari SAK Ke-2

Komentar Terbaru

  • Asma binti Hamad dan Hilangnya Harapan Hidup pada Mengapa Tuhan Tak Bergeming dalam Pembantaian di Palestina?
  • Usaha, Privilege, dan Kehendak Tuhan pada Mengenalkan Palestina pada Anak
  • Salsabila Septi pada Memaknai Perjalanan Hidup di Usia 25 tahun; Antara Kegagalan, Kesalahan dan Optimisme
  • Zahra Amin pada Perbincangan Soal Jilbab
  • Nolimits313 pada Perbincangan Soal Jilbab
  • Tentang
  • Redaksi
  • Kontributor
  • Kirim Tulisan
Kontak kami:
redaksi@mubadalah.id

© 2023 MUBADALAH.ID

Selamat Datang!

Login to your account below

Forgotten Password? Sign Up

Create New Account!

Fill the forms bellow to register

All fields are required. Log In

Retrieve your password

Please enter your username or email address to reset your password.

Log In

Add New Playlist

No Result
View All Result
  • Home
  • Aktual
  • Kolom
  • Khazanah
  • Rujukan
  • Tokoh
  • Monumen
  • Zawiyah
  • Kolom Buya Husein
  • Login
  • Sign Up

© 2023 MUBADALAH.ID