Mubadalah.id – Visi besar Al-Qur’an tentang perempuan dan keadilan gender hanya akan hidup jika dibaca melalui pendekatan tafsir yang holistik. Tafsir semacam ini tidak hanya memotong-motong ayat secara tekstual, melainkan dengan menggali kedalaman makna serta konteks sosial yang melingkupinya.
Dalam kerangka tafsir ini, tujuan kemanusiaan adalah pusat utama, di mana etika sosial menjadi bagian utama dari spiritualitas Islam. Sehingga, pada akhirnya, pengabdian kepada sesama manusia adalah puncak tertinggi penghambaan kepada Allah SWT.
Oleh karena itu, tafsir berbasis maqashid (tujuan syariat) ini, khususnya dalam isu relasi gender, berangkat dari cara pandang yang memanusiakan baik laki-laki maupun perempuan.
Dengan paradigma ini, seluruh produk tafsir terkait hubungan keadilan gender harus kita arahkan untuk menumbuhkan kesalingan (mubadalah) dan kerja sama, guna menghadirkan kemaslahatan (jalb al-mashalih) dan menghindari segala bentuk kerusakan (dar’ al-mafasid), baik dalam ranah domestik maupun publik.
Konsep “mubadalah” yang Dr. Faqihuddin Abdul Kodir kembangkan, menjadi salah satu formulasi penting dalam membumikan gagasan ini.
Dalam ranah domestik, tafsir maqashidi meniscayakan hubungan suami-istri yang saling melayani, menguatkan, dan membahagiakan satu sama lain.
Prinsip ini juga berlaku dalam relasi orang tua dan anak, kakak-adik, serta seluruh anggota keluarga. Tugas mencari nafkah, mengurus rumah tangga, hingga mendidik anak adalah tanggung jawab bersama, bukan monopoli salah satu pihak.
Sementara itu di ruang publik, tafsir maqashidi menegaskan kesetaraan laki-laki dan perempuan sebagai warga negara yang sama-sama mulia dan berharga di mata hukum. Baik laki-laki maupun perempuan memiliki hak dan kewajiban setara untuk saling mengisi, memperkuat, dan membangun kehidupan sosial yang berkeadilan.
Bahkan, perempuan pun seharusnya diberi kesempatan seluas-luasnya untuk berkiprah, berkontribusi, serta mengambil manfaat dari ruang publik, sebagaimana hak yang juga dimiliki laki-laki. []