• Login
  • Register
Rabu, 4 Juni 2025
Keadilan dan Kesetaraan Gender - Mubadalah
Dukung kami dengan donasi melalui
Bank Syariah Indonesia 7004-0536-58
a.n. Yayasan Fahmina
  • Home
  • Aktual
  • Kolom
  • Khazanah
  • Rujukan
  • Tokoh
  • Monumen
  • Zawiyah
  • Kolom Buya Husein
No Result
View All Result
Keadilan dan Kesetaraan Gender - Mubadalah
  • Home
  • Aktual
  • Kolom
  • Khazanah
  • Rujukan
  • Tokoh
  • Monumen
  • Zawiyah
  • Kolom Buya Husein
Keadilan dan Kesetaraan Gender - Mubadalah
No Result
View All Result
Home Kolom Publik

Perbedaan Feminisme Liberal dan Feminisme Marxis

Memahami perbedaan aliran feminisme bukan hanya sekadar menghafalkan nama, tetapi untuk mengapresiasi keragaman aktivisme perempuan.

Fadlan Fadlan
02/06/2025
in Publik
0
Perbedaan Feminisme

Perbedaan Feminisme

1.2k
VIEWS
Share on FacebookShare on TwitterShare on Whatsapp

Mubadalah.id – Perjalanan panjang feminisme untuk mencapai kesetaraan gender telah melahirkan berbagai cabang pemikiran dengan kacamata yang berbeda dalam melihat akar permasalahan dan solusi yang ditawarkan.

Istilah “feminisme” sendiri bukanlah sebuah kata yang telah purna. Ia lebih menyerupai sebuah arena perdebatan yang riuh. Sebuah medan laga antar wacana di mana berbagai gagasan, pengalaman, dan strategi politik saling berbenturan, bertautan, atau bahkan saling menegasikan.

Di antara spektrum yang luas ini, dua aliran besar yang sering menjadi titik tolak diskursus aktivisme perempuan adalah feminisme liberal dan feminisme Marxis. Meskipun keduanya sama-sama mendambakan pembebasan perempuan dari subordinasi. Namun jalan yang mereka tempuh dan musuh mereka jauh berbeda. Inilah perbedaan feminisme liberal dan feminisme marxis.

Feminisme Liberal

Feminisme liberal sejatinya adalah anak kandung Pencerahan Eropa. Ia mewarisi obsesi Pencerahan terhadap akal budi, otonomi individu, dan kesetaraan di hadapan hukum. Narasi yang diusungnya jelas. Perempuan, sebagai individu yang berakal, setara dengan laki-laki.

Fokus utama feminisme liberal adalah kesetaraan perempuan di hadapan hukum dan kesempatan yang sama dalam lingkup sosial, politik, dan ekonomi. Tokoh-tokohnya seperti Mary Wollstonecraft dan John Stuart Mill berargumen bahwa tidak ada alasan untuk membatasi perempuan di ruang-ruang publik.

Baca Juga:

Herland: Membayangkan Dunia Tanpa Laki-laki

Sejarah Kartini (1879-1904) dan Pergolakan Feminis Dunia Saat Itu

Perempuan dan Akar Peradaban; Membaca Ulang Hari Kartini Melalui Buku Sarinah

Empat Cara Laki-laki Membuktikan Cinta pada Kartini

Feminisme liberal memperjuangkan kesetaraan hak pilih, hak atas properti, hak pendidikan, hak pekerjaan, serta penghapusan undang-undang yang diskriminatif. Dalam konteks ini, ketidaksetaraan gender kita pandang sebagai hasil dari prasangka, tradisi, dan kurangnya keterlibatan perempuan dalam institusi-institusi publik.

Beberapa kesuksesan feminisme liberal yang dapat kita rasakan saat ini adalah adanya hak suara bagi perempuan, naiknya partisipasi perempuan di dunia politik dan dunia kerja. Selain itu pemberlakuan undang-undang anti-diskriminasi (meskipun sampai hari ini belum begitu teraplikasikan).

Namun begitu, seiring berjalannya waktu, muncul pertanyaan. Apakah masalah ketidaksetaraan atau ketimpangan gender telah tuntas? Pertanyaan inilah yang kemudian coba terjawab oleh feminisme Marxis.

Feminisme Marxis

Feminisme Marxis muncul dengan perspektif yang berbeda. Menurut mereka, sumber penindasan perempuan tidak terletak pada kurangnya hak perempuan di mata hukum, melainkan pada sistem ekonomi kapitalis. Feminisme yang terinspirasi oleh pemikiran Karl Marx dan Friedrich Engels ini berpendapat bahwa subordinasi perempuan adalah akibat dari adanya kepemilikan pribadi dan kelas sosial.

Dalam analisis Engels di ‘The Origin of the Family, Private Property and the State’ menyebutkan bahwa penindasan perempuan mulai ketika sistem komunal primitif tergantikan oleh kepemilikan pribadi atas alat-alat produksi. Dalam sistem ini, laki-laki menguasai ranah publik dan produksi. Sementara perempuan terlempar ke ranah domestik, melakukan pekerjaan rumah tangga dan reproduksi yang tidak memiliki nilai ekonomi di mata kapitalisme.

Dari perspektif ini, kerja-kerja domestik seperti mengurus anak, memasak, dan membersihkan rumah, dipandang sebagai subsidi gratis bagi kapitalisme. Dengan begitu, para kapitalis tidak perlu repot-repot menanggung biaya reproduksi. Perempuan, dalam pandangan ini, adalah kelas tertindas ganda. Sebagai pekerja (jika mereka bekerja di luar rumah) dan sebagai perempuan yang menanggung beban kerja domestik.

Oleh karena itu, bagi feminis Marxis, kesetaraan gender tidak dapat terpisahkan dari perjuangan kelas. Mengubah undang-undang atau memberikan kesempatan yang sama dalam sistem kapitalis yang eksploitatif tidak akan cukup, sebab sistem itu sendirilah yang melanggengkan penindasan.

Solusi yang para feminis Marxis tawarkan jauh lebih radikal. Penghapusan sistem kapitalis dan pembentukan masyarakat sosialis di mana alat-alat produksi dimiliki secara kolektif dan mengapresiasi kerja-kerja domestik.

Perbedaan

Perbedaan mendasar antara feminisme liberal dan feminisme Marxis terletak pada sumber masalah dan strategi perjuangannya.

Feminisme liberal cenderung fokus pada reformasi sistem yang telah ada dengan menekankan kesetaraan hak dan kesempatan bagi setiap individu di ranah publik dan hukum. Mereka percaya bahwa dengan menghapuskan diskriminasi legal dan kultural, perempuan bisa mencapai kesetaraan sejati.

Sementara itu, feminisme Marxis cenderung berpendapat bahwa sistem kapitalisme merupakan  akar masalah ketidaksetaraan gender dan menyerukan perubahan struktural sistem sosial dan ekonomi. Bagi mereka, kesetaraan sejati hanya bisa tercapai jika struktur ekonomi yang eksploitatif diubah.

Analoginya, jika feminisme liberal menginginkan agar perempuan mendapatkan “potongan kue yang sama dan setara”, maka feminisme Marxis mempertanyakan resep kue itu sendiri, termasuk siapa yang diuntungkan selama proses pembuatannya.

Kritik

Namun begitu, kedua aliran feminisme tersebut bukan tanpa cela. Kritik terhadap feminisme liberal seringkali muncul dari sudut pandang bahwa feminisme ini cenderung lebih menguntungkan perempuan kelas menengah ke atas. Lantas mengabaikan perempuan kelas pekerja atau kelompok minoritas yang menghadapi lapisan penindasan yang lebih kompleks.

Sedangkan kritik terhadap feminisme Marxis mengarah pada solusi mereka yang dianggap terlalu mereduksi semua permasalahan perempuan pada faktor ekonomi (ekonomisme), dan kurang memperhatikan aspek budaya, psikologis, atau bentuk-bentuk penindasan lainnya.

Dalam perkembangan selanjutnya, pemikiran feminis terus berevolusi memunculkan ragam narasi feminisme lain seperti feminisme Islam, feminisme radikal, feminisme psikoanalitik, hingga feminisme post-strukturalis. Mereka menyadari bahwa penindasan perempuan adalah fenomena yang kompleks, terpengaruhi oleh berbagai faktor seperti kelas, ras, seksualitas, dan identitas lainnya.

Terlepas dari itu, memahami perbedaan di antara aliran-aliran feminisme seperti feminisme liberal, feminisme Marxis, dan feminisme lainnya bukan hanya sekadar menghafalkan nama-nama saja. Ini adalah cara untuk mengapresiasi keragaman aktivisme perempuan dan memahami strategi-strategi yang dapat kita gunakan untuk mencapai tujuan bersama: dunia di mana perempuan terbebas dari segala bentuk penindasan. []

Tags: feminismefeminisme globalFeminisme LiberalFeminisme Marxismegerakan perempuanPerbedaan Feminisme
Fadlan

Fadlan

Penulis lepas dan tutor Bahasa Inggris-Bahasa Spanyol

Terkait Posts

Trans Jogja

Trans Jogja Ramah Difabel, Insya Allah!

3 Juni 2025
Teknologi Asistif

Penyandang Disabilitas: Teknologi Asistif Lebih Penting daripada Mantan Pacar

2 Juni 2025
Ketuhanan

Ketuhanan yang Membebaskan: Membangun Perdamaian dengan Dasar Pancasila

1 Juni 2025
Perempuan Penguasa

Sejarah Para Perempuan Penguasa Kerajaan Wajo, Sulawesi Selatan

31 Mei 2025
Ruang Aman bagi Anak

Fenomena Inses di Indonesia: Di Mana Lagi Ruang Aman bagi Anak?

30 Mei 2025
Kasus Argo

Kasus Argo UGM dan Sampai Kapan Nunggu Viral Dulu Baru Diusut?

30 Mei 2025
Please login to join discussion
No Result
View All Result

TERPOPULER

  • Tubuh yang Terlupakan

    Luka Cinta di Dinding Rumah: Tafsir Feminis-Spiritual atas Tubuh yang Terlupakan

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Membaca Ulang Makna Aurat dalam Al-Qur’an

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Ali Mustafa Yaqub: Haji Pengabdi Setan dan Ujian Keimanan Kita

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Tafsir Perintah Menutup Aurat dalam al-A’raf Ayat 31

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Perbedaan Feminisme Liberal dan Feminisme Marxis

    0 shares
    Share 0 Tweet 0

TERBARU

  • Membaca Novel Jodoh Pasti Bertemu dalam Perspektif Mubadalah
  • Ali Mustafa Yaqub: Haji Pengabdi Setan dan Ujian Keimanan Kita
  • Tafsir Perintah Menutup Aurat dalam al-A’raf Ayat 31
  • Nilai Ekonomi dan Sosial dalam Ibadah Kurban
  • Aurat Menurut Pandangan Ahli Fiqh

Komentar Terbaru

  • Asma binti Hamad dan Hilangnya Harapan Hidup pada Mengapa Tuhan Tak Bergeming dalam Pembantaian di Palestina?
  • Usaha, Privilege, dan Kehendak Tuhan pada Mengenalkan Palestina pada Anak
  • Salsabila Septi pada Memaknai Perjalanan Hidup di Usia 25 tahun; Antara Kegagalan, Kesalahan dan Optimisme
  • Zahra Amin pada Perbincangan Soal Jilbab
  • Nolimits313 pada Perbincangan Soal Jilbab
  • Tentang
  • Redaksi
  • Kontributor
  • Kirim Tulisan
Kontak kami:
redaksi@mubadalah.id

© 2023 MUBADALAH.ID

Selamat Datang!

Login to your account below

Forgotten Password? Sign Up

Create New Account!

Fill the forms bellow to register

All fields are required. Log In

Retrieve your password

Please enter your username or email address to reset your password.

Log In

Add New Playlist

No Result
View All Result
  • Home
  • Aktual
  • Kolom
  • Khazanah
  • Rujukan
  • Tokoh
  • Monumen
  • Zawiyah
  • Kolom Buya Husein
  • Login
  • Sign Up

© 2023 MUBADALAH.ID