Mubadalah.id – Cerai memang kerap buat publik riuh-rendah membicarakan. Apalagi jika itu proses perceraian yang dialami para ternama. Sebut saja misalnya yang baru-baru ini, berita cerai artis muda Larissa Chou. Atau Ninih Muthmainnah atau Teh Ninih, pasangan poligami pesohor, Abdullah Gymnastiar atau Aa Gym.
Seperti pernikahan yang banyak disambut baik semua orang, cerai juga akan disambut banyak orang namun dengan nada penuh menyayangkan, yang kadang justru akan dapat makin menyulitkan, setidaknya secara psikis bagi yang bersangkutan untuk kembali berbenah. Tapi bukankah cerai adalah satu proses, jalan hidup yang biasa dan bisa dialami siapa saja?
Selain kedua tokoh di atas, memasuki Ramadan tahun lalu, saya sendiri juga dapat kabar proses cerai dari seorang karib lama saat masih bekerja di Ibu Kota. Karib saya sendiri adalah seorang dosen. Ia juga peneliti di sebuah lembaga ekologi, konservasi lingkungan hidup, yang banyak bersinggungan dengan masyarakat luas guna melakukan pemberdayaan. Bagi saya, ia tipikal pribadi yang mandiri, supel, periang, progresif dan penuh pengabdian. Suaminya juga demikian, dosen, taat agama, putra tokoh di sana, di tempat tinggal mereka.
Namun begitulah, takdir Tuhan tak dapat ditolak oleh siapapun. Jadi gegabah bila ada saja bagian masyarakat yang terus mengembangkan pelabelan dan stigma negatif terhadap perempuan terutama, single parent, atau siapapun yang mengalami ujian perceraian.
Penting digaris bawahi, bahwa cerai sesungguhnya banyak dialami oleh berbagai kalangan dari masa ke masa. Aturan ini ada justru sebagai konsekuensi dari ditetapkannya aturan pernikahan itu sendiri. Sebagaimana pernikahan yang bisa mengandung banyak hukum, dari mubah, halal hingga haram, cerai juga demikian. Ia adalah mekanisme yang sah yang diatur agama untuk terus menghantarkan umat manusia menuju kehidupan sakinah yang sesungguhnya, maslahat, jauh dari madharat, dan dapat memberi manfaat bagi kehidupan yang luas.
Tidak mungkin rasanya seseorang dipaksa bertahan dalam satu bangunan pernikahan, namun semakin hari hanya makin menuai kemadharatan, bahkan menimbulkan penelantaran hak-hak dasar, dan pengabaian kewajiban bagi masing-masing pasangan. Atau malah terjadi kesewenang-wenangan, kedzaliman yang bisa membahayakan lahir dan batin satu sama lain. Maka itu, cerai bisa jadi sunnah bahkan wajib dilaksanakan. Bisa berdosa bagi siapa saja yang mempersulit atau menghalang-halangi pelaksanaannya.
Jika sudah demikian, cerai berarti akan jadi keputusan terbaik yang diatur oleh Tuhan. Ini bisa jadi uluran pertolongan, jalan menuju kehidupan yang jauh lebih dipenuhi kemulian di hadapan Tuhan. Cerai juga bisa jadi jalan bagi setiap diri untuk berkesempatan muhasabah, instrospeksi, sekaligus jalan kembali menyandarkan dan menggantungkan hidup hanya kepada satu-satunya Tuhan Yang Maha Kuasa, Yang Maha menggenggam garis takdir manusia sejak azali. Tentu saja putusan cerai diambil setelah ikhtiar yang cukup sudah senantiasa diupayakan. Jadi tinggal tunggu saja hikmah terbaik dari semua perkara di dunia ini yang telah ditetapkan.
Al Qur’an sebagai kitab yang monumental dan penuh kisah-kisah teladan, menunjukkan bahwa cerai tidak selamanya adalah hal yang dibenci Tuhan. Banyak riwayat menjelaskan tentang kisah-kisah perceraian yang indah yang dialami para sahabat, keluarga, bahkan oleh Nabi Muhammad saw., sendiri.
Di antara yang monumental adalah kisah sayyidah Zainab binti Jahsy, sepupu Rasulullah saw. yang dinikahkan dengan Zaid bin Haritsah, putra angkat Nabi dari kalangan budak belian yang telah dimerdekakan. Pada akhirnya nanti sayyidah Zainab diceraikan suaminya, dan menjadi istri Nabi. Peristiwa ini terekam dalam QS. Al Ahzab: 5, 37 – 40, sehingga jadi contoh betapa cerai yang digariskan Tuhan bisa jadi pintu gerbang kemuliaan bagi seorang pribadi pilihan.
Selain itu ada juga kisah lain, perceraian Rasulullah saw. sendiri dengan istrinya, sayyidah Hafsah binti Umar bin Khathab, yang terekam dalam QS. At Tahrim: 1 – 5, yang pada akhirnya keduanya rujuk kembali. Karena Allah swt. telah memberi isyarat Nabi bahwa sayyidah Hafsah adalah salah satu istrinya kelak di surga, sebab ia adalah salah satu perempuan terbaik yang ahli shalat dan juga puasa.
Ada pula kisah Al-Mujadilah, perempuan sang penggugat Nabi, Khaulah binti Tsa’labah yang di-dzihar oleh suaminya, Aus bin Shamit. Dzihar adalah ucapan seorang suami menyamakan istri dengan punggung ibunya. Seperti kalimat “kamu bagiku sudah seperti punggung ibuku”.
Menurut adat jahiliyah saat itu kalimat demikian sama dengan mentalak istri. Karena belum ada hukum yang baru, maka Nabi terlibat bantahan dengan Khaulah yang tak rela dicerai suaminya selagi dirinya tak lagi muda usia. Khaulah menentang hukum dzihar dan mengatakan pada Nabi, bahwa dirinya akan mengadukan langsung gugatannya pada Allah swt. karena Nabi belum bisa memberikan hukum baru yang lebih berkeadilan. Hingga turunlah QS. Al Mujadalah: 1 – 4, yang menghapus berlakunya hukum dzihar, dan mengharuskan Aus bin Shamit membayar kafarat-nya. Khaulah dan suami akhirnya kembali bersama, yang tadinya sempat dilarang Nabi karena dinilai telah bercerai.
Inilah contoh-contoh kisah, bahwa tidak selamanya perceraian itu musibah yang harus disesali. Bisa jadi justru dalam perceraian mengandung nilai kebaikan dan hikmah yang tinggi untuk semua pihak.
Kembali pada pernikahan sayyidah Zainab dan sahabat Zaid misalnya, sesungguhnya perkawinan dan perceraian yang dijalani keduanya itu adalah skenario yang harus dilaksanakan atas perintah Tuhan, dengan sejumlah tujuan. Antara lain, pertama, dari pernikahan tersebut dimaksudkan bahwa nikah beda kasta sesungguhnya adalah bukan hal terlarang.
Saat itu, sayyidah Zainab yang juga cucu sayyid Abdul Mutholib, kakek Nabi, adalah perempuan bangsawan Bani Quraisy. Sekalipun dijelaskan bahwa pernikahan itu atas perintah Tuhan, sisi kemanusiaan sayyidah Zainab tetap tak ingin mengalah. Sedari awal ia enggan dinikahkan dengan sahabat Zaid yang seorang bekas budak dari keluarga sayyidah Khadijah Al Kubra yang dihadiahkan kepada Nabi.
Namun demikian perintah Allah swt. dan Rasul harus ditaati. Maka menikahlah sayyidah Zainab dengan sahabat Zaid. Di tengah perjalanan bahtera, keduanya bercerai pula. Tetapi tentu saja perceraian ini adalah termasuk kategori tasrihin bi ihsan, perpisahan dengan ahwal terbaik, tanpa ada dendam dan kebencian, tapi saling ridha satu sama lain. Atau dengan bahasa lain, perceraian yang professional, karena keduanya terus saling membangun silaturrahim satu sama lain sebagai pribadi yang beriman. Karena untuk selanjutnya sahabat Zaid lah yang diutus Nabi melamar sayyidah Zainab untuk dinikahi Nabi sendiri, meski tidak memperoleh jawaban secara eksplisit.
Bisa jadi bagi kita hari ini hal tersebut berat, karena sahabat Zaid harus melamar bekas istri sendiri untuk orang lain. Sedang bagi sayyidah Zainab, juga berat karena Rasul adalah ayah angkat sahabat Zaid, dan saat itu hukum menikahi mantan istri anak angkat masih dianggap tidak boleh. Begitulah, betapa berat menanggung kerelaan menanggalkan mahabbah, kecintaan kepada seorang hamba, demi ketaatan kepada Tuhan. Tapi barang kali ini pulalah yang harus dilewati oleh setiap diri agar jadi pribadi pilihan yang diridhai seluruh kehidupannya di dunia ini.
Maka sayyidah Zainab bersikukuh untuk diam, menunggu jawaban langsung dari Gusti Allah. Biar Allah swt. sendiri yang menjawab, sebagaimana dulu sayyidah Zainab menikahi sahabat Zaid juga atas pertintah Tuhan langsung. Sehingga turunlah QS. Al Ahzab: 37, yang menjelaskan bahwa Allah swt. telah menikahkan sayyidah Zainab dengan Nabi Muhammad saw.
Tak pelak, hal ini jadi kebanggaan sekaligus kemulian yang diperoleh sayyidah Zainab setelah melewati berbagai ujian perceraian, lantaran pernikahannya yang ke sekian kalinya, kini terjadi dengan manusia utama yang langsung dipanitiai oleh langit, dengan Allah swt. sendiri yang bertindak sebagai walinya. Sedang Nabi pun tidak perlu malu atau khawatir pada masyarakatnya akan hukum baru tentang menikahi mantan istri anak angkat.
Hal tersebutlah yang jadi tujuan kedua dari kisah perceraian dan pernikahan ketiga manusia utama itu. Allah swt. ingin mengajarkan kepada umat Islam bahwa sah ketika seorang ayah angkat, menikahi bekas istri dari anak angkatnya sendiri. Karena tujuan selanjutnya, yang ketiga sebagai tujuan utama, bahwa Allah swt. ingin menegaskan hubungan antara anak angkat dengan ayah angkat sesungguhnya adalah hubungan kekerabatan biasa.
Anak angkat tidak sah namanya dinisbatkan kepada ayah angkat. Ia harus tetap disebutkan sebagai putra dari ayah kandungnya. Karena justru akan menjadi berdosa di sisi Allah swt. jika disengajakan oleh hati untuk menisbatkan anak angkat kepada ayah angkat sebagai mana QS. Al Ahzab: 5 dan 40. Maka itu diterangkan sahabat Zaid bukanlah anak Nabi, dan Nabi Muhammad bukanlah ayah dari seorang di antara umatnya. Sahabat Zaid tetap putra ayah kandungnya, Zaid bin Haritsah.
Terkait hukum anak angkat ini, memang sudah semestinya anak angkat disebut sebagai saudara saja bagi keluarga angkatnya. Atau di masa Nabi mereka disebut saudara seagama atau “maula”, hamba sahaya yang telah dimerdekakan. Di Indonesia sendiri, hingga hari ini masih banyak ditemukan anak angkat yang dinisbatkan pada ayah angkat.
Tentu saja hal ini bisa melanggar UU No 35 tahun 2014 tentang Perubahan atas UU 23 tahun 2002 tentang Perlindungan Anak. Sebab dari sisi keadilan juga nasab, hal ini dinilai tidak adil karena seolah (sengaja) tidak mengakui, atau bahkan menghilangkan (membuat gelap) asal-usul seseorang yang menjadi hak dasarnya untuk mengetahui. Selain juga meruntuhkan bangunan rasa keadilan bagi keluarga kandung, terutama bagi ibu yang melahirkan. Hal terakhir ini bisa jadi banyak menimbulkan madharat, bahkan konflik keluarga di masyarakat sampai hari ini, wallahu a’lam.
Demikianlah di antara kisah perceraian yang indah dari manusia-manusia pilihan yang penting untuk terus ditadabburi, karena justru jadi tonggak lahirnya hukum-hukum dalam Al Qur’an. Selain juga agar kita tidak secara dangkal memaknai perceraian yang kita sendiri alami atau dialami orang lain.
Untuk semua umat Nabi Muhammad hari ini, tetap bersama atau berpisah di tengah jalan, mudah-mudahan akan selalu bisa membangun kualitas kehidupan, ruh, jiwa, hati, dan akal pikiran demi meraih predikat-predikat terbaik insan yang beriman. Bersama atau berpisah, teruslah berbahagia hingga Hari Pertemuan, wallahu a’lam bis shawab.[]