Mubadalah.id – Anggota Majelis Musyawarah Keagamaan (MM) Kongres Ulama Perempuan Indonesia (KUPI), Dr. Nyai Hj. Nur Rofiah, Bil. Uzm, menjelaskan bahwa tafsir QS. An-Nisa ayat 34 tidak bisa dijadikan alasan untuk melarang perempuan berkiprah di ruang publik atau menjadi pemimpin.
“Ayat ini sering dipahami secara terbatas bahwa laki-laki adalah penanggung jawab atas perempuan, sehingga perempuan tidak boleh menjadi pemimpin. Padahal, tafsir terhadap ayat ini tidak tunggal,” ujar Nur Rofiah dalam sebuah kajian yang diselenggarakan oleh KUPI.
Menurutnya, ada dua jenis tafsir yang berkembang terkait ayat ini. Tafsir pertama menyebutkan bahwa laki-laki adalah pemimpin mutlak atas perempuan, sehingga kepemimpinan hanya untuk laki-laki.
Sementara tafsir kedua, yang lebih kontekstual, menekankan bahwa kepemimpinan yang berdasarkan pada kapabilitas dan kapasitas, bukan jenis kelamin.
Nur Rofiah mengutip pendapat Imam Besar Masjid Istiqlal, Prof. Dr. KH. Nasaruddin Umar, M.A., yang dalam disertasinya menemukan bahwa Al-Qur’an menggunakan dua istilah berbeda dalam merujuk pada laki-laki dan perempuan.
Pertama, adz-dzakaru wal untsa yang merujuk pada laki-laki dan perempuan secara biologis. Kedua, ar-rajulu wal mar’ah, dengan bentuk jamaknya ar-rijalu wan-nisa’, yang lebih menekankan pada aspek sosial dan kekuatan.
“Dengan demikian, ayat ar-rijalu qawwamuna ‘ala an-nisa’ dapat kita artikan sebagai siapa pun yang memiliki kekuatan—baik laki-laki maupun perempuan—dia berperan sebagai penanggung jawab atas yang lebih lemah,” jelasnya.
Kepemimpinan Bersifat Kolektif-Kolegial
Lebih lanjut, ia menegaskan bahwa karena ayat ini menggunakan bentuk jamak, maka tafsir yang lebih inklusif adalah kepemimpinan bersifat kolektif-kolegial, bukan kepemimpinan personal yang berdasarkan pada jenis kelamin.
Pendekatan ini juga selaras dengan QS. At-Taubah ayat 71 yang menyebutkan bahwa laki-laki dan perempuan beriman adalah mitra satu sama lain dalam menjalankan tugas amar ma’ruf nahi munkar.
“Laki-laki dan perempuan yang beriman saling menjadi wali, penjaga, mitra, dan teman setia satu sama lain. Mereka bekerja sama dalam menegakkan kebaikan dan mencegah kemunkaran,” kutip Nyai Nur Rofiah.
Dengan demikian, tafsir inklusif terhadap QS. An-Nisa ayat 34 memberikan pemahaman bahwa kepemimpinan tidak terbatas pada laki-laki, tetapi terbuka bagi siapa saja yang memiliki kapasitas dan kemampuan untuk mengemban tanggung jawab tersebut. []