“Kita semua punya titik terendah. Kalau orang menyebutnya luka, saya menyebutnya pelajaran, sesuatu yang saya jadikan pegangan hidup saya, tanpa rasa malu. Mungkin setelah kita bisa menerima itu semua sebagai bagian dari diri kita, barulah kita bisa melihat ke depan. Karena saya yakin di depan sana, sesuatu yang lebih baik setia menanti.” (Jeng Yah, dalam film “Gadis Kretek”)
Mubadalah.id – Rilisnya film “Gadis Kretek” (2023) yang viral di media sosial membuat penulis penasaran. Terlebih ketika tahu bahwa tokoh utamanya adalah Dian Sastro, pemeran utama yang sama dalam film “Kartini” (2017).
Meski film “Gadis Kretek” memiliki nuansa roman yang lebih kuat karena memang ini mereka angkat dari novel fiksi. Tapi cerita ini pun konon terinspirasi dari kisah nyata. Nyatanya, novel “Gadis Kretek” tertulis dalam kurun waktu 4 tahun lamanya, dan butuh 2 tahun untuk meraciknya dalam bentuk skenario film.
Dan melihat hasilnya yang tersaji di layar kaca, jelas ini hasil riset dan kerja cerdas juga kerja keras yang dilakukan dengan teliti dan hati-hati, sehingga menghasilkan tontonan dan tuntunan yang apik dan menarik.
Proses menulis yang begitu panjang yang novelis perempuan seperti Ratih Kumala tulis tentu saja menarik. Lebih menariknya adalah fakta bahwa film “Gadis Kretek” dan film “Kartini” keduanya menggambarkan karakter tokoh utama perempuan yang suka menulis dan terus menulis dalam kondisi dan situasi apapun.
Meski Dasiyah dan Kartini berada di bidang yang berbeda, yang satu melakukan perlawanan patriarki dengan perusahaan kreteknya (bidang ekonomi). Kartini dengan upaya mendirikan sekolah perempuannya (bidang pendidikan). Namun keduanya mempunyai beberapa kesamaan yang menarik untuk kita kaji.
Film “Gadis Kretek” dan “Kartini” dibuat berdasarkan alur tulisan-tulisan yang tokoh utamanya tinggalkan. Kartini dengan surat-surat yang ia kirim untuk sahabatnya, dan Dasiyah dengan kertas-kertasnya yang tersimpan di beberapa tempat.
Jejak Tulisan
Tulisan dari perempuan dan tradisi menulis ini menjadi semacam “jejak” yang menuntun pembaca atau penontonnya mengetahui, tidak saja setting atau latar sosial budaya tempat peristiwa itu terjadi. Tapi juga memahami suasana batin dan pemikiran sang tokoh utama, perempuan yang berani melawan patriarki.
Baik Kartini maupun Dasiyah, keduanya menuangkan keresahan dan kegelisahan atas tekanan mental dan keterjajahan secara fisik yang mereka terima sebagai perempuan, dalam bentuk tulisan. Dalam salah satu adegan, di mana Dasiyah tersekap di sebuah ruangan. Di mana di saat tawanan yang lain berebut makanan yang disodorkan dengan cara tidak manusiawi, Dasiyah justru mengambil alas makanan yang tak lain adalah selembar kertas, untuk ia tetap bisa menulis.
Di sini terlihat bahwa menulis bagi Dasiyah menjadi salah satu terapi mental terbaik di saat-saat tersulitnya, saat ia berada di salah satu titik terendah dalam hidupnya. Sementara Kartini, berusaha dengan berbagai cara agar tulisannya dapat sampai kepada orang Belanda yang membantunya untuk bisa menulis di media massa, sehingga pemikirannya dapat terpublikasi.
Baik Kartini maupun Dasiyah tidak sekadar menuliskan pengalaman-pengalaman emosional dalam hidupnya. Kartini adalah seorang pembelajar otodidak yang handal. Buku-buku yang kakak laki-lakinya wariskan ia baca dan pelajari, menjadikan Kartini seorang penulis yang cerdas dan berbobot.
Sementara Dasiyah menuliskan resep saus kretek hasil observasi, penelitian dan percobaannya, yang memerlukan proses panjang. Ia menuliskan resep temuannya secara detail sehingga kretek racikannya menjadi kretek yang paling masyarakat gemari di masa itu dan masa setelah ia tiada.
Melalui Tantangan yang Tak Mudah
Baik Kartini maupun Dasiyah tidak melalui semua itu dengan mudah. Kartini membaca dan menulis dengan sembunyi-sembunyi. Pun Dasiyah harus menyelinap ke dalam ruang saus secara diam-diam. Karena itu adalah tempat terlarang bagi perempuan. Namun ketegaran jiwa dan keberanian keduanya menjadikan kesulitan itu sesuatu yang semakin menguatkan pribadinya.
Selain faktor internal atau dari dalam diri sendiri, ada faktor eksternal yang turut membentuk karakter keduanya. Kartini terlahir dari keluarga bangsawan Jawa dan Dasiyah dari keluarga pengusaha Jawa. Keduanya mempunyai ayah yang kedudukannya terhormat. Di mana keduanya tampak mendukung putrinya untuk mendapatkan pengasuhan dan pendidikan yang lebih baik.
Ayah Kartini menyekolahkan Kartini, dan sesekali memberi izin untuk Kartini keluar dari zona nyaman. Sehingga mengetahui apa yang terjadi pada dunia di luar rumahnya. Sementara ayah Dasiyah membiarkan Dasiyah mengembangkan bakatnya dalam bidang kretek dan mengajaknya untuk terlibat mengelola pabrik.
Meskipun dalam hal-hal tertentu ruang gerak mereka berdua masih terbatasi, kebebasan dan keleluasaan serta dukungan yang sang ayah berikan sebagai pemangku kekuasaan dalam keluarga. Di mana hal ini merupakan celah penting yang tak bisa terabaikan.
Meskipun pada akhirnya di titik usia tertentu mereka dituntut juga untuk menjadi perempuan seperti pada umumnya. Dorongan dan tekanan untuk menikah justru tampak lebih ditunjukkan oleh pihak orang tua perempuan, yang menginginkan anak perempuannya berperilaku manut pada tradisi.
Hal ini menunjukkan bahwa partisipasi perempuan akan lebih mungkin jika support sistem yang kuat memberinya dukungan. Yakni keluarga sebagai pembentuk pola pikir dan perilaku anak, kemudian unsur kekuasaan atau struktur sosial yang mampu memberikan pengaruh yang lebih luas dari tindakan individu.
Maka bagaimana proses parenting yang ayah lakukan sebagai orang yang sampai saat ini masih kita posisikan sebagai kepala/pemimpin keluarga, adalah penting.
Menulis : Menjaga Kewarasan Sekaligus Membawa Perubahan Sosial
Mengutip dari hellosehat.com, aktivitas tradisi menulis dinyatakan bermanfaat untuk meningkatkan kecerdasan otak dan menjaga kesehatan mental. Menulis dapat memulihkan emosi sekaligus mengasah memori. Menulis dapat membantu mengorganisir diri seperti menetapkan tujuan, merencanakan, menyusun cara, merevisi/mengevaluasi.
Tradisi menulis dapat mengasah kemampuan berpikir kritis dan meningkatkan skill berkomunikasi. Menulis dapat mengembangkan kecerdasan emosi seperti empati dan regulasi diri. Menulis dapat membuat tidur lebih nyenyak karena emosi negatif sudah terkeluarkan, dan membuat system kekebalan tubuh meningkat.
Manfaat-manfaat yang saya sebutkan di atas tentunya merupakan peluang yang sangat baik. Yakni terkait kondisi perempuan yang secara fisik dan mental banyak mengalami tekanan di dunia yang masih kental dengan budaya patriarki ini.
Selain bermanfaat untuk diri sendiri, sudah banyak contoh nyata bahwa jejak tulisan yang ditinggalkan oleh para perempuan yang memperjuangkan keadilan bagi diri dan masyarakatnya, menjadi inspirasi yang tak pernah padam sepanjang zaman. Jejak tulisan yang Kartini tinggalkan misalnya, benar-benar menjadi penerang dalam kegelapan.
Dengan demikian, perempuan dan tradisi menulis sudah seharusnya terus kita dorong dan tumbuh subur di antara kita. Karena menulis adalah obat, karena menulis adalah senjata terkuat, yang mampu mengubah arah pemikiran manusia. Maka benarlah apa yang dikatakan Kartini, “Rampaslah semua harta benda saya, asal jangan pena saya!” []