Mubadalah.id. – Kesempatan perempuan untuk ikut andil dalam kerja publik semakin mendapatkan perhatian. Banyak lembaga profit maupun non profit yang mulai memberikan kesempatan kerja untuk perempuan. Salah satunya adalah porsi dan kesempatan kerja yang sama di SPBU.
Petugas SPBU yang dulunya hanya terwakili oleh laki-laki, sekarangpun terwakili dengan wajah-wajah petugas perempuan. Tugas dan perannya sama, memberikan pelayanan kepada pelanggan tanpa perbedaan.
Namun di balik menggiurkannya porsi dan kesempatan kerja yang ada, ternyata masih belum bisa memberikan ruang aman bagi perempuan. Penilaian ini berakar pada regulasi berupa Standard Operating Procedure (SOP) karyawan yang menundukkan posisi perempuan serta menimbulkan ketidakberdayaan perempuan.
Standard Operating Procedure (SOP) Karyawan
Setiap perusahaan pasti memiliki standar operasional (SOP) sebagai pedoman karyawan. Tujuanya tidak lain adalah untuk menjaga kenyamanan dan kepuasan dalam memberikan pelayanan kepada pelanggan.
Di antara SOP tersebut, salah satunya adalah bagaimana petugas SPBU harus tetap tersenyum dan ramah dalam melayani pelanggan. Adanya SOP tersebut tentu sangat menguntungkan pelanggan dan juga perusahaan secara tidak langsung. Kepuasaan pelanggan terhadap pelayanan tentunya menjadi pemeringkatan tersendiri bagi perusahaan sebagai penyedia layanan.
Tak ayal banyak perusahaan menerapkan SOP yang ketat kepada karyawan. Seperti yang ada di Bank, mini market dan perusahaan di bidang jasa dan pelayanan lainya. Namun, sudahkah regulasi berupa SOP yang ada memberikan ruang aman bagi perempuan?
Regulasi yang Berpihak pada Perempuan
Di balik sisi positif penerapan SOP tersebut, ternyata ada sisi negatif dan pengalaman buruk perempuan. Kejahatan berupa kekerasan verbal maupun fisik, berupa pelecehan seksual seperti memegang bagian tubuh, acap kali menimpa perempuan sebagai korban. Pelakunya pun bisa saja teman kerja maupun pelanggan.
Kejadian semacam ini sebenarnya pernah penulis lihat sendiri menimpa petugas SPBU Perempuan. Saat antrian melayani pelanggan, salah seorang laki-laki terlihat tidak sabar. Tiba giliranya, laki-laki tersebut bersikap tidak sopan dengan memegang tangan korban ketika memberikan uang. Terlihat juga korban merasa tidak nyaman.
Hal semacam ini ternyata juga pernah dituliskan oleh Ayatina Nurhidayati. Dalam penelitiannya, petugas SPBU perempuan seringkali menjadi korban pelecehan seksual, meskipun tindakan pelecehan tergolong ringan berupa siulan hingga memegang fisik korban.
Namun karena SOP yang ada, tentu tidak banyak yang bisa korban lakukan, apalagi untuk melawan. Teori Michel Faucault mengenai relasi kekuasaan selalu menjadi alasan di balik diamnya perempuan tersebut.
Kala itu tidak banyak yang bisa penulis lakukan. Kekhawatiran akan gejolak yang timbul bagi lingkungan sekitar saat melakukan perlawanan. Keonaran dan respon negatif dari sekitar lantas menyurutkan niat penulis untuk hanya sekedar memberikan perlawanan dan membela korban.
Terlebih penulis seorang diri dan tidak ada dukungan dari sekitar. Meskipun kekecewaan dan penyesalan akhirnya menghardik tindakan diam tersebut. Puncaknya Penulis mengalami bystender effect dan memilih bersikap pasif.
Bystender effect sendiri yakni suatu hal yang terjadi saat kehadiran orang lain membuat seseorang mengurungkan niat untuk membantu orang lain yang membutuhkan pertolongan. Jadi yang penulis alami bukan bystender karena mengandalkan akan ada orang lain yang menolong, hanya saja karena merasa tidak memiliki kekuatan untuk bertindak.
Bukan Salah Regulasi tapi Sikap Yang Perlu Dibenahi
Tindakan pelanggan seperti demikian tidak saja bentuk pelecehan seksual. Meskipun tidak sampai melukai fisik, namun hal ini memberikan luka psikis, merendahkan harga diri dan juga trauma yang berkepanjangan bagi korban.
Regulasi mengenai penerapan SOP sudah benar. Namun yang perlu menjadi perhatian adalah bagaimana menghalau sikap pelaku agar jera melakukan kejahatan. Sebetulnya power yang lebih besar bisa mencegah hal ini. Pimpinan perusahaan harus bijak dalam menyikapi hal demikian. Dalam penerapannya, penafsiran terhadap SOP harus juga melihat pada unsur keberpihakan pada perempuan.
SOP tidak kita maknai secara tekstual. Misalnya meskipun harus ramah dan penuh senyuman, namun perempuan boleh bertindak tegas apabila terjadi pelecehan. Pemberian edukasi serta arahan dari pimpinan untuk mencegah terjadinya kekerasan seksual tentu menjadi suatu kebutuhan.
Ditambah lagi kelengkapan sarana dan prasarana juga harus menjadi perhatian. Misalnya harus ada CCTV sebagai pendukung investigasi apabila terjadi tindakan yang tidak diinginkan. []