• Login
  • Register
Selasa, 20 Mei 2025
Keadilan dan Kesetaraan Gender - Mubadalah
Dukung kami dengan donasi melalui
Bank Syariah Indonesia 7004-0536-58
a.n. Yayasan Fahmina
  • Home
  • Aktual
  • Kolom
  • Khazanah
  • Rujukan
  • Tokoh
  • Monumen
  • Zawiyah
  • Kolom Buya Husein
No Result
View All Result
Keadilan dan Kesetaraan Gender - Mubadalah
  • Home
  • Aktual
  • Kolom
  • Khazanah
  • Rujukan
  • Tokoh
  • Monumen
  • Zawiyah
  • Kolom Buya Husein
Keadilan dan Kesetaraan Gender - Mubadalah
No Result
View All Result
Home Kolom Publik

Perkawinan Anak: Salah Kaprah atau Berkah?

Normalisasi yang mereka lakukan di medsos senyatanya jelas mencederai laku perjuangan Ibu Rasminah, Endang Wasrinah, dan Maryanti.

M. Baha Uddin M. Baha Uddin
29/10/2024
in Publik, Rekomendasi
0
Perkawinan Anak

Perkawinan Anak

1.1k
VIEWS
Share on FacebookShare on TwitterShare on Whatsapp

Mubadalah.id – Perkawinan kerap terartikan sebagai akad antara suami dan istri untuk memenuhi hajat keduanya (hubungan seksual). Sejalan dengan itu, maka salah satu tujuannya ialah untuk memperoleh turunan yang sah. Tak heran dalam hadis Rasulullah saw. berkata, an-nikahu sunnati faman rogiba ‘an sunnati falaysa minni (nikah adalah sunahku, siapa yang mengingkari sunahku maka ia bukan dari golonganku).

Menyitir definisi tadi, bahwa memang perkawinan tak melulu soal ijab-kabul, memiliki keturunan, dsb. Terdapat sekian penjelasan yang luput terungkapkan. Padahal, kita ambil contoh sederhana, perkawinan menurut mahasiswa program studi Hukum Keluarga Islam (ahwalu syakhshiyyah) misalnya, tak seenteng yang terbayangkan.

Kedua calon mempelai bukan saja mesti saling cinta, hapal ucapan kabul, dsb. Mereka seminimalnya mengkhatamkan buku Fiqh Munakahat: Khitbah, Nikah, dan Talak (2015) karya Dr. Abdul Aziz Muhammad Azzam dan Dr. Abdul Wahhab Sayyed Hawwas.

Buku wajib terpegang mahasiswa HKI guna menggeluti rumpun keilmuannya dalam hukum Islam. Di sana terjelaskan bagaimana kedua mempelai mesti mengerti hak dan kewajibannya masing-masing. Lalu masih banyak lagi syarat-syarat seseorang agar teranggap sah dan pantas untuk menikah.

Pada konsep lain pun perkawinan memiliki relasi dengan aspek sosial, ekonomi, dan psikologi. Bagaimana jati diri kedua mempelai siap memikul tanggung jawab bahtera rurmah tangga mereka. Bayangkan jika posisi mempelai belum kuat secara aspek-aspek tersebutkan tadi. Kita bisa membayangkan keberlangsungan rumah tangga mereka semakin harmonis atau malah di ambang keretakan?

Baca Juga:

Menikah di Usia Anak dan Trauma Melahirkan; Sebuah Refleksi

Praktik Perkawinan Anak versus Pergaulan Beresiko

Andai Waktu Bisa Diputar Kembali: Kisah Penyintas Perkawinan Anak (Part II)

Andai Waktu Bisa Diputar Kembali: Kisah Penyintas Perkawinan Anak

Melangkahi Hukum

Sementara menyikapi fenomena perkawinan anak (baca: perkawinan usia anak), meminjam istilah Poppy R. Dihardjo (Pegiat Isu Hak Perempuan) untuk tak menyebut perkawinan dini, mutakhir ramai terbicarakan. Perkawinan terjadi antara Z dan S. S adalah pengantin perempuan masih berusia 17 tahun.

Mereka menikah, resmi (sesuai aturan pemerintah) atau tidaknya belum terketahui. Semisal menikah resmi, mereka kudu mengajukan dispensasi nikah ke pengadilan agama setempat. Jika terkabulkan surat dispensasi terbawa ke KUA sebagai loket perkawinan mereka.

Terlepas dikabulkan atau tidak, sah atau tidaknya, cara-cara Z dan S mengekspos perkawinan mereka sunggah tak elok. Mereka serasa tak terbebani. Tak merasa salah. Meminjam akronim sering terungkapkan masyarakat Sunda yakni watados (wajah tanpa dosa). Kita sejenak membatasi urusan perkawinan bukan hanya soal sunah nabi tetapi ada sisi lain perlu diperhatikan sebagai warga negara yang baik.

Dalam UU Nomor 16 Tahun 2019 tentang Perubahan Atas UU Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan terjelaskan dalam Pasal 7 Ayat (1) bahwa laki-laki dan perempuan dibolehkan melakukan perkawinan jika sudah berusia 19 tahun. Sementara usia di bawah 19 tahun masih teranggap usia anak, artinya secara hukum belum bisa melakukan perkawinan.

Menikah itu Tak Mudah

Memang di usia anak (produktif) itulah seseorang—baik perempuan atau lelaki—sewajarnya menempuh pendidikan, membentangkan karir, mengembangkan skil, dlsb. Jangan gegara kebelet menikah itu semua terkorbankan. Eman-eman. Perkawinan terlalu sempit dan remeh jika hanya melihatnya dari satu sudut semata.

Mahmud Junus dalam buku Hukum Perkawinan dalam Islam (1960) menulis, “Allah mendjadikan machlukNja berpasang-pasang, mendjadikan manusia laki-laki perempuan. Hikmahnja ialah supaja manusia itu hidup berpasang-pasang, hidup dua sedjoli, hidup laki-isteri, membangunkan rumah tangga jang damai dan teratur.”

Dalam frasa terakhir untuk mewujudkan rumah tangga damai dan teratur tak cukup hanya dengan modal cinta semata. Perlu ada kekompakan, skil, kerja sama, dan kesepapahan keduanya. Lalu apakah calon mempelai usia anak sudah memiliki itu semua?

Dengan begitu, mereka yang terburu-buru menikah di usia muda (apalagi di bawah batas usia perkawinan yang berlaku), mestilah berpikir panjang. Tak ada salahnya fokus sejenak pada kualitas dan pengembangan diri sendiri sebelum akhirnya berproses bersama pasangan. Perbaiki segala kualitas diri sendiri sampai menurut kadar kemantapan masing-masing. Jangan lagi tergiur-goda oleh figur publik yang mengglorifikasi sesuatu yang berpotensi merugikan.

Salah Kaprah

Hanya karena melihat glamoritas kehidupan Z dan S pascaperkawinan, pengikutnya berkesimpulan menikah muda itu menyenangkan. Segala biaya ditanggung orang tua, misalnya. Ini kesalahkaprahan berpikir seorang pengikut figur publik dengan memukul rata latar belakang sosial dan finansial seseorang.

Orang tua Z dan S secara finansial mungki teranggap mampu menggelar pesta pernikahan mewah dan membiayai kehidupan perkawinan mereka. Sementara belum tentu dengan keadaan finasial keluarga para pengikutnya.

Dugaan saya terbawa bahwa Z atau S tak paham soal batas usia perkawinan tertera dalam UU. Poin pokok di pasal itu terlahir dari perjuangan ketiga ibu rumah tangga yang menggugat perkawinan anak. Mereka adalah Rasminah, Endang Wasrinah, dan Maryanti menggugat Pasal 7 Ayat (1) UU No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan.

Pasal itu mensyaratkan perkawinan bisa terlaksana jika pria sudah berusia 19 (sembilan belas) tahun dan perempuan 16 (enam belas) tahun. Ada perbedaan angka signifikan antara lelaki dan perempuan. Banyak persoalan menguar dari aturan problematik. Itu terbukti-rasakan secara de facto oleh mereka bertiga. Mereka salah tiganya telah menjadi korban peraturan timpang ini.

Perjuangan Menggugat

Pada 2017, mereka bertiga mengajukan judisial review atas pasal tadi dengan tuntutan utama mengubah (menaikkan) batas usia perkawinan perempuan ke Mahkamah Konstitusi. Alhamdulillah, gugatan terkabulkan melalui Putusan MK Nomor 22/PUU-XV/2017 yang inti amar putusannya ketentuan Pasal 7 Ayat (1) UU Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan bertentangan dengan UUD 1945. Artinya memuat kebijakan diskriminatif dan membuka ruang terjadinya perkawinan anak.

Lewat amar tadi, MK memerintahkan kepada pembuat undang-undang (DPR) agar merevisi pasal terkait sekurang-kurangnya tiga tahun dari waktu putusan diterbitkan. Maka pada dua tahun setelahnya, DPR RI mengesahkan UU Nomor 16 Tahun 2019 tentang Perubahan Atas UU Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan dengan mengganti batas usia perkawinan perempuan dari 16 (enam belas) tahun menjadi 19 (sembilan belas) tahun, atau disamakan dengan laki-laki.

Kalau saja Z dan S membaca dengan rijit perjuangan ketiga ibu rumah tangga tadi, mereka apakah akan tetap sesumbar memamerkan pengisahan perkawinan mereka? Normalisasi yang mereka lakukan di medsos senyatanya jelas mencederai laku perjuangan Ibu Rasminah, Endang Wasrinah, dan Maryanti.

Z dan S seolah tak peduli akan perkawinannya yang mengundang gemuruh pembicaraan massa. Mereka terlihat bodo amat dan terkesan pede saja mengglorifikasi perkawinan anak. Kalau masih bisa berpikir semestinya mereka berpikir dua kali, kecuali jika sudah tak sanggup. Entahlah. []

Tags: Dispensasi PerkawinanDispensasi PernikahanPencegahan Perkawinan Anakperkawinan anakStop Perkawinan Anak
M. Baha Uddin

M. Baha Uddin

Bergiat di komunitas Serambi Kata. Editor di nisa.co.id.

Terkait Posts

Nyai Nur Channah

Nyai Nur Channah: Ulama Wali Ma’rifatullah

19 Mei 2025
Nyai A’izzah Amin Sholeh

Nyai A’izzah Amin Sholeh dan Tafsir Perempuan dalam Gerakan Sosial Islami

18 Mei 2025
Inses

Grup Facebook Fantasi Sedarah: Wabah dan Ancaman Inses di Dalam Keluarga

17 Mei 2025
Dialog Antar Agama

Merangkul yang Terasingkan: Memaknai GEDSI dalam terang Dialog Antar Agama

17 Mei 2025
Inses

Inses Bukan Aib Keluarga, Tapi Kejahatan yang Harus Diungkap

17 Mei 2025
Kashmir

Kashmir: Tanah yang Disengketakan, Perempuan yang Dilupakan

16 Mei 2025
Please login to join discussion
No Result
View All Result

TERPOPULER

  • Kekerasan Seksual Sedarah

    Menolak Sunyi: Kekerasan Seksual Sedarah dan Tanggung Jawab Kita Bersama

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Rieke Diah Pitaloka: Bulan Mei Tonggak Kebangkitan Ulama Perempuan Indonesia

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • KUPI Resmi Deklarasikan Mei sebagai Bulan Kebangkitan Ulama Perempuan Indonesia

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Nyai Nur Channah: Ulama Wali Ma’rifatullah

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Memanusiakan Manusia Dengan Bersyukur dalam Pandangan Imam Fakhrur Razi

    0 shares
    Share 0 Tweet 0

TERBARU

  • Rieke Diah Pitaloka Soroti Krisis Bangsa dan Serukan Kebangkitan Ulama Perempuan dari Cirebon
  • Nyai Nur Channah: Ulama Wali Ma’rifatullah
  • Rieke Diah Pitaloka: Bulan Mei Tonggak Kebangkitan Ulama Perempuan Indonesia
  • Menolak Sunyi: Kekerasan Seksual Sedarah dan Tanggung Jawab Kita Bersama
  • KUPI Dorong Masyarakat Dokumentasikan dan Narasikan Peran Ulama Perempuan di Akar Rumput

Komentar Terbaru

  • Asma binti Hamad dan Hilangnya Harapan Hidup pada Mengapa Tuhan Tak Bergeming dalam Pembantaian di Palestina?
  • Usaha, Privilege, dan Kehendak Tuhan pada Mengenalkan Palestina pada Anak
  • Salsabila Septi pada Memaknai Perjalanan Hidup di Usia 25 tahun; Antara Kegagalan, Kesalahan dan Optimisme
  • Zahra Amin pada Perbincangan Soal Jilbab
  • Nolimits313 pada Perbincangan Soal Jilbab
  • Tentang
  • Redaksi
  • Kontributor
  • Kirim Tulisan
Kontak kami:
[email protected]

© 2023 MUBADALAH.ID

Selamat Datang!

Login to your account below

Forgotten Password? Sign Up

Create New Account!

Fill the forms bellow to register

All fields are required. Log In

Retrieve your password

Please enter your username or email address to reset your password.

Log In

Add New Playlist

No Result
View All Result
  • Home
  • Aktual
  • Kolom
  • Khazanah
  • Rujukan
  • Tokoh
  • Monumen
  • Zawiyah
  • Kolom Buya Husein
  • Login
  • Sign Up

© 2023 MUBADALAH.ID

Go to mobile version