Mubadalah.id – Setiap suami-istri-anak dalam keluarga memiliki sejarah pertumbuhan pribadi masing-masing, diantaranya dalam lingkungan yang berbeda. Ragam perbedaan ini umumnya mendatangkan tantangan sendiri saat keluarga menjadi satu tim persahabatan dalam keluarga.
Di mana dalam kondisi ini, mau tidak mau kita membutuhkan soliditas agar kesimbangan dalam pertumbuhan bersama terjaga, sebagai hal yang sangat fundamental dalam situasi masyarakat yang berubah. Ketenangan, saling mengasihi dan kebahagiaan adalah buah dari saling menjaga keseimbangan dalam. Tapi mungkin tidak semua keluarga mengupayakan, karena berbagai situasi.
Tidak adanya upaya untuk menjaga keseimbangan adakalanya membuat seseorang tidak menjadi diri sendiri, biasanya mereka yang kita posisikan sebagai pihak yang tidak penting, misalnya anak-anak.
Anak -anak tumbuh tanpa mendapatkan kesempatan menjadi diri sendiri. Karena pilihan-pilihan terkait tumbuh kembangnya ditentukan oleh selera orang tua, lingkungan. Sehingga anak akan kesulitan menemukan diri sendiri.
Banyak anak sekolah (bahkan hingga kuliah) yang menjalani aktivitas belajar demi ambisi orang tua. Bila kebetulan selera, minat dan kemampuan selaras, mungkin anak akan bahagia dengan pilihan orang lain. Tetapi sebagai pribadi dengan pikiran dan sejarah hidup berbeda, bagaimana pun anak memiliki harapan dan pikirannya sendiri.
Beda Generasi
Banyak orang mengatakan generasi sekarang memiliki daya juang lemah, mudah menyerah, mudah depresi. Seandainya kita lakukan penelitian mendalam pada anak-anak yang kita nilai lemah ini, jangan-jangan karena mereka hidup dan terdidik tidak menjadi diri sendiri. Tidak kita biasakan untuk menghadapi resiko pilihannya, sedikit mendapat kesempatan belajar dari kesalahan atau kesulitan.
Bulliying, perundungan di rumah seringkali tidak kita cermati sebagai kejadian yang menghancurkan pribadi yang di posisi lemah dan merusak keseimbangan. Pihak yang mendapat perundungan biasanya kehilangan daya untuk tampil menjadi diri sendiri. Mampu untuk berargumentasi atas pendapat dan pilihannya. Bertahan dalam kesulitan hidup, atau memendam luka yang menjadi hambatan mental untuk tumbuh dengan gembira.
Keseimbangan akan sulit terealisasi bila sejak awal keluarga kita bangun dengan menjadikan salah satu pihak yang diunggulkan semata-mata. Karena dia laki-laki, semata-mata karena kaya, atau semata berasal dari kelompok sosial tertentu.
Seperti fenomena sosial akhir-akhir ini angka perceraian makin tinggi. Bahkan banyak terjadi pula di kalangan aktivis. Hal ini menjadi gambaran makin banyak keluarga yang tidak berhasil mewujudkan keseimbangan. Karena minimnya kesadaran bahwa keseimbangan itu harus kita upayakan.
Laki-laki Korban Patriarki
Sebagaimana telah banyak kita pahami, masyarakat yang mempertahankan cara hidup patriarkis, tidak hanya melemahkan perempuan dan anak, juga pada laki-laki sendiri. Di mana mereka dimanja oleh sistem sosial sehingga banyak kita temukan laki-laki yang tidak memiliki daya juang, malas belajar, malas berkreasi, malas beradaptasi.
Namun ketika mendapatkan dirinya penuh kelemahan, tidak menerima diri sebagai orang yang penuh kekuarangan itu. Bentuk tidak menerima kekurangan diri bermacam-macam, dari menjadi pribadi yang sulit berkomunikasi, sulit bekerjasama, selingkuh atau melakukan berbagai bentuk kekerasan. Perundungan dalam keluarga, tidak hanya terjadi pada anak, juga pada perempuan, bisa oleh suami atau mertua perempuan.
Oleh karena itu saya sepakat dengan pandangan Kiai Faqih Abdul Kodir dalam tadarus subuh dua minggu lalu, bahwa dalam konteks keseimbangan ini perempuan juga memiliki tanggung jawab untuk mendidik suami, mendidik keluarga besar dan lingkungan. Mengajak berpikir terbuka dan berbagai keterampilan hidup dalam suasana saling menghargai satu dengan yang lain.
Berat sekali ya? Mungkin akan lebih mudah bila saling mendidik ini kita lakukan bersama-sama dalam komunitas. Namun ada yang membuat banyak hal menjadi lebih ringan, yaitu persahabatan dalam keluarga. Semua bisa kita bicarakan dengan nyaman. []