Mubadalah.id – Sebagaimana telah jamak kita ketahui, sejarah mencatat bahwa pernah terdapat banyak kerajaan Islam di Nusantara. Hal ini tentu saja berpengaruh terhadap budaya dan nilai-nilai hukum yang ada di Indonesia.
Ilmuan hukum asal belanda seperti Carel Frederik Winter, Salomon Keyzer dan Christiaan Van den Berg bahkan menyimpulkan bahwa hingga masa penjajahan Belanda, hukum yang berlaku di Indonesia bagi orang islam adalah hukum Islam. Pendapat ini kemudian terkenal sebagai teori receptio in complexu.
Salah satu bukti keberlakuan hukum Islam atas penduduk nusantara yang beragama Islam dapat kita lihat pada Statuta Batavia 1642. Statuta ini menyatakan bahwa hukum keluarga islam berlaku bagi orang-orang Islam. Kita dapat menemukan pula adanya beberapa compendium yang mengatur mengenai hukum Islam, seperti compendium van clookwijek dan compendium freijer.
Pemerintah Hindia Belanda menegaskan pula keberlakuan hukum Islam bagi muslim di Indonesia melalui Regeerings Reglement Tahun 1855. Pasal 75 ayat (3) dan (4) aturan tersebut pada pokoknya mengatur agar hakim Indonesia memberlakukan undang-undang agama (godsdienstige wetten) dalam memeriksa dan memutus perkara.
Teori Receptie
Paradigma bahwa hukum islam berlaku bagi orang-orang Islam di Indonesia mulai berubah paska dikenalkannya teori receptie. Teori ini menyatakan bahwa hukum Islam yang berlaku bagi orang-orang Islam di Hindia Belanda adalah hukum Islam yang telah diterima dan diakui oleh hukum adat.
Snouck Hurgronje selaku penggagas teori ini menilai bahwa hukum yang berlaku di Indonesia sejatinya adalah hukum adat. Meskipun kita akui adanya pengaruh hukum Islam di dalamnya. Namun kekuatan hukum Islam tersebut kembali kepada penerimaan hukum adat. Sehingga kedudukannya bukanlah sebagai hukum Islam melainkan sebagai hukum adat.
Teori ini kemudian juga mempengaruhi kebijakan-kebijakan hukum pemerintah Hindia Belanda. Perubahan ini dapat kita temukan dalam Indische Staatsregeling yang menggantikan Regeerings Reglement. Pasal 134 ayat (2) Indische Staatsregeling. Di mana ada pernyataan yang menyatakan
“Dalam hal terjadi perkara perdata antara sesama orang Islam akan diselesaikan oleh hakim agama Islam apabila hukum adat mereka menghendakinya dan sejauh tidak ditentukan lain dengan suatu ordonansi.”
Berdasarkan ketentuan ini kedudukan hukum Islam dalam sistem hukum Hindia Belanda kian terdesak dan terbatas.
Paska Indonesia meraih kemerdekaannya, timbul pula suatu pekerjaan rumah untuk segera terlepas dari bayang-bayang hukum peninggalan pemerintah penjajah. Terjadilah suatu perdebatan dan tarik menarik untuk menjadikan hukum adat atau hukum Islam sebagai landasan penyusunan hukum nasional.
Sayangnya perdebatan ini justru kian menguatkan posisi hukum perdata peninggalan penjajah. Hukum perdata barat yang tertulis dan cenderung netral nampaknya dinilai dapat menjembatani kepentingan antara dua kelompok tersebut sekaligus mampu memberikan kepastian hukum
Personalita Keislaman
Salah satu institusi yang tetap melestarikan dan menerapkan hukum Islam di tengah tarik ulur hukum perdata barat dan hukum adat ialah lembaga peradilan agama. Lembaga ini tetap berjalan dan menggunakan doktrin-doktrin hukum Islam untuk mengadili dan memutus perkara perdata yang menjadi kewenangannya.
Adalah hal yang biasa untuk menemukan kutipan-kutipan dari ahli fikih maupun ulama muslim di dalam putusan-putusan pengadilan agama. Hukum Islam yang tidak banyak termuat dalam peraturan tertulis, tetap kita jadikan sebagai rujukan oleh lembaga peradilan agama.
Kedudukan hukum Islam dalam sistem hukum Indonesia menguat paska disahkannya undang-undang peradilan agama. Pasal 2 Undang-Undang Peradilan Agama menyatakan Peradilan Agama adalah salah satu pelaku kekuasaan kehakiman bagi rakyat pencari keadilan yang beragama Islam mengenai perkara tertentu sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang ini.
Ketentuan ini menegaskan bahwa seluruh rakyat yang beragama Islam tunduk pada kewenangan peradilan agama untuk menyelesaikan sengketa-sengketa tertentu. Seperti perkawinan, waris, hibah, wakaf dan sejumlah perkara lainnya (vide Pasal 49 UU Peradilan Agama). Inilah yang kini kita kenal sebagai asas personalita keislaman.
Peradilan ini tidak mengenal pembagian golongan penduduk Eropa, timur asing maupun bumiputra seperti Indische Staatsregeling. Sepanjang seseorang telah memeluk agama Islam, maka Ia menjadi subjek hukum di lingkungan peradilan agama. Karena lingkungan peradilan agama menerapkan ketentuan hukum Islam, maka berlaku pula terhadap subjek hukum di dalamnya ketentuan hukum dalam hukum Islam.
Receptio a Contrario
Pada dasarnya hukum Islam mengatur mengenai berbagai bidang kehidupan. Sayangnya tidak semua norma dalam hukum islam telah tertuang dalam suatu aturan tertulis di Indonesia. Kompilasi Hukum Islam sendiri hanya memiliki 229 pasal. Sehingga sangat mungkin masih terdapat doktrin-doktrin hukum Islam yang belum terakomodir di dalamnya. Perkembangan zaman juga membuka kemungkinan adanya detil-detil perbuatan yang belum diatur dalam doktrin fikih Islam.
Merupakan tugas hakim untuk melakukan penemuan hukum dalam hal terjadi kekosongan hukum. Penggalian atas ibarah-ibarah dalam kitab-kitab fikih klasik maupun kontemporer dapat menjadi jalan keluar untuk memutus suatu perkara yang belum memiliki suatu dasar aturan tertentu.
Selain itu Hakim sudah seharusnya dapat mengambil dan menerapkan nilai-nilai hukum yang hidup di masyarakat. Meskipun nilai atau norma tersebut belum kita temukan dalam doktrin hukum Islam.
Salah satu sumber hukum Islam sendiri adalah urf atau adat kebiasaan masyarakat. Indonesia yang terdiri dari ribuan pulau dan terdiri dari banyak suku membuka kemungkinan adanya berbagai kebiasaan yang berbalut dalam hidup masyarakat, tidak terkecuali masyarakat muslim.
Norma-norma kebiasaan tersebut seharusnya tidak lantas tertolak untuk kita terapkan pada peradilan agama. Dengan menggunakan pendekatan teori receptio a contrario, berbagai ketentuan hukum yang hidup di masyarakat pada dasarnya dapat kita terima sebagai sumber hukum.
Teori receptio a contrario merupakan teori yang Hazairin dan Sajuti Thalib gagas setelah melihat kenyataan hukum masyarakat Indonesia. Teori ini secara sederhana merupakan kebalikan dari teori resepsi. Sehingga berdasarkan teori receptio a contrario, berlakunya hukum adat ialah jika tidak bertentangan dengan hukum Islam.
Jika makna ini kita perluas, maka segala jenis hukum dapat berlaku dan kita terapkan pada perkara-perkara yang peradilan agama periksa, termasuk hukum adat hingga hukum perdata barat peninggalan belanda. Dengan catatan sepanjang aturan hukum tersebut tidak bertentangan atau bahkan justru berkesesuaian dengan hukum Islam. []