Mubadalah.id – Pondok Pesantren Luhur Manhajiy Fahmina Cirebon merupakan salah satu dari sekian banyak pesantren di Cirebon, yang menurutku menjadi pesantren yang ramah terhadap perempuan.
Mengapa menjadi pesantren yang ramah terhadap perempuan? Karena di pesantren ini, kami sebagai santri perempuan diberikan akses dan ruang yang sama dengan santri laki-laki.
Misalnya saat ngaji. Biasanya bagi sebagian besar pesantren yang pernah saya singgahi, pasti akan memisahkan antara santri laki-laki dan perempuan. Bahkan kalaupun digabung pasti posisi perempuan berada di belakang laki-laki dan ada hijab (penutup) untuk memisahkannya.
Sehingga kondisi inilah yang kerap kali membuat santri perempuan tidak bisa melihat langsung guru, atau ketika menjelaskan tidak bisa mencatat dengan baik.
Kondisi seperti ini, artinya pesantren masih menempatkan santri perempuan sebagai kelas dua. Karena yang utama adalah santri laki-laki. Sehingga di sana jelas ada bentuk diskriminasi kepada santri perempuan.
Namun, hal tersebut tidak berlaku bagi kami, di Pesantren Luhur Manhajiy Fahmina. Di sini kami sebagai santri perempuan diberikan akses seluas-luasnya oleh pesantren.
Termasuk saat mengaji sekalipun. Kami bisa duduk bersampingan dengan santri laki-laki. Sehingga dengan posisi seperti inilah, kami bisa mencatat dan mendengarkan dengan baik apa yang disampaikan oleh para guru kami.
Selain soal mengaji, kami santri perempuan kerapkali diberikan kesempatan untuk mengikuti berbagai kegiatan, baik yang ada di dalam pesantren maupun di luar pesantren.
Menjadi Ketua Pelaksana
Saat ada kegiatan di dalam pesantren, kami santri perempuan sudah tidak lagi ditempatkan sebagai bagian konsumsi. Melainkan, menjadi ketua pelaksana, yang mengkoordinir acara.
Sehingga dengan penempatan seperti inilah, dapat melatih dan menyadarkanku, bahwa perempuan juga memiliki kesempatan dan hak yang sama untuk mengaktualisasi hidupnya. Termasuk, saat ia menjadi ketua pelaksana, artinya ia akan mengkoordinir semua orang yang berada di bawahnya, termasuk para santri laki-laki.
Kondisi seperti ini mungkin akan sulit kita temui di beberapa pesantren lainnya. Sosok santri perempuan yang menjadi pemimpin dari setiap kegiatan.
Bahkan baru-baru ini, karena aku juga sedang belajar di Intitut Studi Islam Fahmina (ISIF), presiden Dewan Eksekutif Mahasiswa (DEMA) yang baru terpilih kemarin adalah perempuan.
Artinya, soal kepemimpinan di kampus maupun di pesantren, perempuan sangat mendapatkan kesempatan seluas-luasnya untuk menjadi seorang pemimpin. Sehingga hal inilah menjadi alasan mengapa aku menyebut Pesantren Luhur Manhajiy Fahmina sebagai pesantren yang ramah perempuan.
Terlebih, pengasuh kami, Abi Marzuki Wahid dan Bunda Nurul Bahrul Ulum selalu mengajarkan ku tentang nilai-nilai yang ada di pesantren. Di antaranya nilai soal keadilan, kesetaraan, toleransi, kemanusiaan, kemaslahatan, kesalingan (mubadalah), dan kebersamaan.
Juga, termasuk setiap santri untuk saling menghormati, menghargai, dan memuliakan satu dengan lainnya. Bahkan pesantrenku, sangat mengecam semua tindak kekerasan kepada perempuan.
Sehingga dengan hal inilah, menjadi pondasi bagiku, ketika keluar nanti aku harus bisa menerapkan semua nilai yang telah aku dapatkan selama di pesantren. []