Mubadalah.id – Sampah merupakan salah satu masalah yang hingga saat ini sulit untuk diselesaikan. Namun hal ini tidak menjadi alasan bagi kita semua untuk menyelesaikan persoalan sampah.
Dalam mengatasi persoalan sampah sebetulnya banyak cara yang bisa kita lakukan, salah satunya adalah dengan cara pengelolaan sampah. Cara ini saya dapatkan, saat saya melakukan mini riset bersama teman-teman Mahasantriwa Sarjana Ulama Perempuan Indonesia (SUPI) Institut Studi Islam Fahmina (ISIF) Cirebon di Desa Pasawahan.
Selama satu minggu di Desa Pasawahan tepatnya pada tanggal 4 hingga 10 Juli 2023, ada hal yang menarik untuk saya bahas dalam tulisan ini. Yaitu tentang pengelolaan sampah di Desa Pasawahan.
Dalam pengeloaan sampah, Desa Pasawahan menerapkan program pengambilan sampah setiap hari oleh petugas kebersihan dari desa. Jadi, dalam program ini, setiap warga cukup untuk menaruh sampah rumah tangga di depan rumahnya, nanti akan ada yang mengambilnya.
Kemudian setelah diangkut, mereka bawa ke tempat penampungan akhir (TPA) di Gibug, sebelah barat balai desa masuk ke hutan. Tidak hanya berhenti TPA, karena selanjutnya, para petugas akan melakukan penyortiran untuk memilih mana organik dan anorganik. Kemudian diambil mana yang bisa dimanfaatkan atau dijual kembali.
Dalam program pengelolaan sampah di Desa Pasawahan ini, para warga biasanya akan diminta untuk membayar iuaran perbulannya sebesar Rp. 15.000.
Pengelolaan sampah di Desa Pasawahan ini bagi saya bisa menjadi inpirasi bagi desa-desa lainnya. Pasalnya, dalam pengelolaan sampah setidaknya mereka telah berhasil untuk menciptakan lingkungan di Desa Pasawahan menjadi bersih.
Namun, apakah persoalan sampah tersebut sudah bisa di tangani?. Tentunya belum, karena sampah sampah masih menjadi PR kita bersama. Terlebih untuk sampah-sampah yang tidak bisa kita daur ulang atau manfaatkan, maka sampah tersebut akan terus menumpuk dan hutan yang menjadi TPA itu akan menjadi hutan sampah.
PLTSa
Lalu bagaimana solusinya?. Melansir universaleco.id, sampah yang sudah tidak bisa didaur ulang tersebut sebetulnya bisa berguna bahkan bisa menjadi Pembangkit Listrik Tenaga Sampah (PLTSa).
Dalam unggahannya, Universal Eco mencatat dari total 12 PLTSa yang dipersiapkan di sejumlah kota besar, 4 di antaranya sudah beroperasi yaitu: PLTSa DKI Jakarta, PLTSa Bekasi, PLTSa Solo, dan PLTSa Surabaya.
Dengan inovasi yang mereka lakukan sebetulnya menjadi angin segar bagi kita semua, bahwa dari sampah yang sudah tidak ada manfaatnya, tapi sebenarnya masih menyimpan energi yang sangat besar. Bahkan bisa menjadi sumber energi terbarukan.
Bahkan keuntungan dari PLTSa ini dapat membantu mengurangi emisi gas rumah kaca karena proses pengolahan sampah menghasilkan lebih sedikit emisi daripada sampah kita biarkan membusuk di TPA atau kita bakar di tempat terbuka. Dengan demikian, PLTSa dapat mendukung upaya mitigasi perubahan iklim.
Selain itu, PLTSa juga menjadi energi lokal dan desentralisasi. Artinya PLTSa yang biasanya berlokasi dekat dengan wilayah pemrosesan sampah, sehingga energi yang ia hasilkan dapat berguna secara lokal. Hal ini dapat membantu mengurangi kerugian dalam jaringan transmisi dan distribusi energi dan mendukung keberlanjutan dan desentralisasi sumber energi.
Oleh sebab itu, dengan sampah yang awalnya tidak memiliki nilai, menjadi bernilai dan bisa memberikan manfaat yang luas bagi seluruh masyarakat. Termasuk dengan kehadiran PLTSa ini. Ia mampu menjadi energi terbarukan. Yang menurut saya, pendirian PLTSa ini untuk segera pemerintah bangun, minimal di setiap desa di seluruh Indonesia.
Dengan begitu, sampah yang tadinya berhenti di TPA di Desa Pasawahan, bisa kembali mereka manfaatkan menjadi pembangkit listrik. Dan dapat memberikan manfaat bagi warga sekitar. []