Mubadalah.id – Nilai poligami sebagai sebuah ibadah, termasuk sebagai sebuah relasi perkawinan, sangat susah ditemukan rujukannya dalam kitab-kitab tafsir di atas. Termasuk ketika membicarakan ‘redaksi perintah’, yang ada dalam ayat ketiga surat an-Nisa.
Pada pembicaraan mengenai pernikahan biasa, Imam ar-Razi mencatat bahwa kelompok az-Zahiri memandang perkawinan sebagai sebuah kewajiban agama dengan mendasarkan pada ayat tersebut.
Tetapi Imam asy-Syafi’i (Muhammad bin Idris, w. 204H) memandang sebaliknya. Bahwa pernikahan adalah urusan syahwat manusia. Sehingga tidak layak kita kaitkan dengan perintah dan anjuran agama.
Perkawinan karenanya tidak termasuk sesuatu yang wajibkan, atau sunnah. Ia hanya masuk dalam katagori sesuatu yang perkara mubah.
Dasar Pandangan Imam Syafi’i
Imam Syafi’i dalam pernyataan ini mendasarkan pada ayat al-Qur’an yang ke 25 dari surat an-Nisa:
وَمَنْ لَّمْ يَسْتَطِعْ مِنْكُمْ طَوْلًا اَنْ يَّنْكِحَ الْمُحْصَنٰتِ الْمُؤْمِنٰتِ فَمِنْ مَّا مَلَكَتْ اَيْمَانُكُمْ مِّنْ فَتَيٰتِكُمُ الْمُؤْمِنٰتِۗ وَاللّٰهُ اَعْلَمُ بِاِيْمَانِكُمْ ۗ بَعْضُكُمْ مِّنْۢ بَعْضٍۚ فَانْكِحُوْهُنَّ بِاِذْنِ اَهْلِهِنَّ وَاٰتُوْهُنَّ اُجُوْرَهُنَّ بِالْمَعْرُوْفِ مُحْصَنٰتٍ غَيْرَ مُسٰفِحٰتٍ وَّلَا مُتَّخِذٰتِ اَخْدَانٍ ۚ فَاِذَآ اُحْصِنَّ فَاِنْ اَتَيْنَ بِفَاحِشَةٍ فَعَلَيْهِنَّ نِصْفُ مَا عَلَى الْمُحْصَنٰتِ مِنَ الْعَذَابِۗ ذٰلِكَ لِمَنْ خَشِيَ الْعَنَتَ مِنْكُمْ ۗ وَاَنْ تَصْبِرُوْا خَيْرٌ لَّكُمْ ۗ وَاللّٰهُ غَفُوْرٌ رَّحِيْمٌ ࣖ
“Barang siapa yang tidak memiliki kecukupan biaya untuk mengawini perempuan merdeka yang terjaga, maka nikahilah perempuan-perempuan budak yang mukmin. Allah lebih mengetahui keimanan di antara kalian, yang satu dari yang lain. Nikahilah mereka dengan izin ahli mereka, dan berikanlah mas kawin mereka dengan layak, sebagai istri, bukan dengan jalan zina atau selir haram.”
“Dan jika sudah dinikahi, mereka berbuat zina maka hukuman mereka setengah dari hukuman yang dijatuhkan kepada perempuan merdeka. Demikian itu (disarankan) bagi orang yang takut akan terjerumus pada perzinaan. Tetapi menahan diri (dengan tidak mengawini mereka) adalah lebih baik. Dan Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang”. (QS. an-Nisa ayat 25).
Dalam ayat ini, menyebutkan bahwa pernikahan adalah soal pemenuhan kebutuhan seksual, yang pelampiasannya sama baik dengan perempuan merdeka maupun dengan perempuan budak.
Karena itu, jika seseorang sanggup menahan diri, meninggalkan pernikahan menjadi lebih baik baginya. Dalam ungkapan redaksi al-Qur’an “wa an tashbira khairan lakum” (Kalau kamu menahan diri -tidak menikahadalah lebih baik). []