Mubadalah.id – Taliban berhasil menguasai Afganistan pada pertengahan Agustus (15/8), setelah 20 tahun lalu (1996) Amerika mendepak mereka. Tidak lama setelah Taliban berhasil merebut kekuasaan, banyak masyarakat khawatir dengan nasib mereka, mengingat 20 tahun lalu yang penuh kekerasan, khususnya perempuan.
Kekhawatiran itu terus menggema hingga banyak masyarakat Afganistan berbondong-bondong menuju perbatasan dan bandara untuk mencari suaka politik. Itu dilakukan semata-mata atas trauma masa lalu.
Dalam konferensi pers pertama Taliban (17/8), Zabihullah Mujahid sebagai juru bicara mengatakan akan menunjukkan pemerintahan kepada dunia, tidak bersembunyi; kemudian Taliban menjamin tidak akan ada kekerasan dalam memimpin dan akan berlaku adil kepada perempuan, menjamin hak-haknya seperti akses pendidikan dan pekerjaan. Itu merupakan respon Taliban atas kekhawatiran yang semakin tak terkendali dan citranya yang lekat dengan kekerasan.
Banyak kalangan yang skeptis terhadap janji-janji Taliban. Dan sebulan kekuasaan berlangsung, kenyataannya Taliban justru menerapkan kebijakan yang meminggirkan perempuan. Beberapa di antaranya adalah, segregasi gender di dalam kelas bagi pelajar, bagi pengajar perempuan diwajibkan mengenakan hijab, begitu juga bagi pekerja perempuan. Bukan sekadar menutupi kepala, tetapi harus mengenakan abaya hitam ke seluruh tubuh, menutupi muka dan tangan.
Mempertegas itu, tokoh senior Taliban, Waheedullah Hashimi, mengatakan kepada Reuters (13/9) bahwa tidak diperbolehkan laki-laki dan perempuan bercampur di dalam pekerjaan. Ia mengatakan, itu sebagai bentuk implementasi syariah atau hukum Islam. Oleh karenanya, Taliban juga akan membuat rumah sakit, institusi, sekolah, dan universitas secara terpisah bagi perempuan.
Dilansir Alarabiya News (14/9), Taliban berusaha merehabilitasi citra buruknya di era 1996-2001 yang melarang perempuan keluar rumah tanpa dampingan laki-laki mahram, harus berhijab, dan tidak diijinkan bekerja kecuali di bidang kesehatan. Dan saat ini, Taliban berusaha menunjukkan “inklusivitas”nya dengan membolehkan perempuan bekerja dan belajar.
Meski begitu, kebijakan teranyarnya tetap merepresi perempuan—selain membatasinya dengan hijab dan segregasi gender—yaitu tidak dilibatkannya perempuan di dalam kabinet, satupun. Bahkan Menteri Urusan Perempuan nampaknya telah dibubarkan (Alarabiya News).
Melawan Melalui Ingatan-Pakaian
World Bank mengatakan partisipasi perempuan di dunia kerja mencapai 23% pada 2020, dan sejak Taliban berkuasa, diperkiran hampir 0%. Ini bisa dilihat dari kebijakan yang mendisiplinkan tubuh perempuan, burqa dan abaya hitam, yang disebut sebagai Islamic dress (The Wahington Post). Pada akhirnya, male-goverment yang dijalankan Taliban merestriksi pakaian perempuan. Dus, mengekang tubuh perempuan dan mempersulit akses pendidikan dan lapangan pekerjaan.
Protes atas pakaian perempuan berlangsung di Twitter yang dimulai oleh Bahar Jalali (@RoxanaBahar1) pada 12/9. Ia memposting foto dengan mengenakan pakaian tradisional Afganistan yang dilengkapi dengan tagar #AfghanistanCulture. Ia mengenakan gaun dengan warna dasar hijau gelap dengan motif warna-warni, tanpa hijab.
Jalali juga memposting foto ibunya pada 1958, yang mengenakan pakaian tanpa lengan (rok terusan di bawah lutut) dan hijab/chador, sebagai bukti bahwa perempuan Afganistan tidak kaku dalam berpakaian.
Postingan Jalali disambut oleh perempuan Afganistan lainnya dengan menyertakan foto pakaian dengan motif puspawarna. Misalnya Waslat Hasrat-Nazimi (@WasHasNaz), menunjukkan fotonya ketika mengenakan gaun berwarna dasar biru tua dan hiasan motif berlian dengan paduan warna-warna cerah.
Suara protes itu terus bergulir di Twitter sebagai respon atas represi Taliban terhadap tubuh perempuan. Pakaian tradisional Afganistan dengan puspawarna menjadi simbol perlawanan atas penetapan dress code hitam-gelap oleh Taliban.
Jalali, yang merupakan mantan Profesor Sejarah di American University di Afganistan, menyampaikan kepada BBC (14/9) bahwa identitas dan kedaulatan Afganistan berada di bawah ancaman Taliban. Ia melanjutkan, pakaian yang dikenakan perempuan pro-Taliban (burqa, hijab, abaya hitam) bukanlah budaya dan identitas Afganistan.
Tagar #DoNotTouchMyClothes turut bergulir beserta foto pemosting yang mengenakan pakaian tradisional Afganistan. Lima Halima Ahmad, peneliti dan pendiri Paywand Afghan Association, menyebut pakaian tradisional Afganistan yang kaya warna adalah simbol kecantikan, seni, keahlian, dan identitas. “Identitas kita (Afganistan) tidak bisa ditentukan oleh kelompok teroris. Budaya kita bukan gelap, juga bukan hitam dan putih. Melainkan kaya warna,” ujarnya (BBC).
Pada dasarnya, pilihan terhadap pakaian adalah hak pemilik tubuh. Perempuan Afganistan yang memilih menggunakan burqa pun tak masalah. Namun, yang jadi masalah adalah membatasi tubuh perempuan melalui aturan sehingga mereka kehilangan hak memilih bagi tubuhnya.
Lebih jauh, aturan atas pakaian bukan semata-mata karena penegakan “hukum Islam”. Melainkan pemahaman male-oriented-patriarkis, yang menganggap seluruh tubuh perempuan adalah aurat dan sumber maksiat. Objektifikasi ini menghasilkan kebijakan-lanjutan yang terus membatasi dan meminggirkan perempuan, seperti tidak dilibatkannya dalam pemerintahan dan dianggap tidak layak memimpin.
Melalui media, perempuan Afganistan menyalurkan perlawanannya secara kreatif. Memainkan politik ingatan bahwa mereka memiliki kebebasan dalam memilih pakaian di masa lalu. Dan kini mereka menyadari, kembali berkuasanya Taliban membawa perempuan ke arah kegelapan, satu per satu hak mereka dilucuti. []