• Login
  • Register
Sabtu, 19 Juli 2025
Keadilan dan Kesetaraan Gender - Mubadalah
Dukung kami dengan donasi melalui
Bank Syariah Indonesia 7004-0536-58
a.n. Yayasan Fahmina
  • Home
  • Aktual
  • Kolom
  • Khazanah
  • Rujukan
  • Tokoh
  • Monumen
  • Zawiyah
  • Kolom Buya Husein
No Result
View All Result
Keadilan dan Kesetaraan Gender - Mubadalah
  • Home
  • Aktual
  • Kolom
  • Khazanah
  • Rujukan
  • Tokoh
  • Monumen
  • Zawiyah
  • Kolom Buya Husein
Keadilan dan Kesetaraan Gender - Mubadalah
No Result
View All Result
Home Kolom Publik

“Do Not Touch My Clothes” : Politik Ingatan Perempuan Afganistan Soal Pakaian

Perempuan Afganistan merawat ingatan soal pakaian, bahwa mereka memiliki kebebasan menentukan apa yang menempel pada tubuh mereka. Dan ketika Taliban merepresi mereka, ingatan itu muncul sebagai perlawanan politis.

Miftahul Huda Miftahul Huda
17/09/2021
in Publik, Rekomendasi
0
Rumah Tangga

Rumah Tangga

120
VIEWS
Share on FacebookShare on TwitterShare on Whatsapp

Mubadalah.id – Taliban berhasil menguasai Afganistan pada pertengahan Agustus (15/8), setelah 20 tahun lalu (1996) Amerika mendepak mereka. Tidak lama setelah Taliban berhasil merebut kekuasaan, banyak masyarakat khawatir dengan nasib mereka, mengingat 20 tahun lalu yang penuh kekerasan, khususnya perempuan.

Kekhawatiran itu terus menggema hingga banyak masyarakat Afganistan berbondong-bondong menuju perbatasan dan bandara untuk mencari suaka politik. Itu dilakukan semata-mata atas trauma masa lalu.

Dalam konferensi pers pertama Taliban (17/8), Zabihullah Mujahid sebagai juru bicara mengatakan akan menunjukkan pemerintahan kepada dunia, tidak bersembunyi; kemudian Taliban menjamin tidak akan ada kekerasan dalam memimpin dan akan berlaku adil kepada perempuan, menjamin hak-haknya seperti akses pendidikan dan pekerjaan. Itu merupakan respon Taliban atas kekhawatiran yang semakin tak terkendali dan citranya yang lekat dengan kekerasan.

Banyak kalangan yang skeptis terhadap janji-janji Taliban. Dan sebulan kekuasaan berlangsung, kenyataannya Taliban justru menerapkan kebijakan yang meminggirkan perempuan. Beberapa di antaranya adalah, segregasi gender di dalam kelas bagi pelajar, bagi pengajar perempuan diwajibkan mengenakan hijab, begitu juga bagi pekerja perempuan. Bukan sekadar menutupi kepala, tetapi harus mengenakan abaya hitam ke seluruh tubuh, menutupi muka dan tangan.

Mempertegas itu, tokoh senior Taliban, Waheedullah Hashimi, mengatakan kepada Reuters (13/9) bahwa tidak diperbolehkan laki-laki dan perempuan bercampur di dalam pekerjaan. Ia mengatakan, itu sebagai bentuk implementasi syariah atau hukum Islam. Oleh karenanya, Taliban juga akan membuat rumah sakit, institusi, sekolah, dan universitas secara terpisah bagi perempuan.

Baca Juga:

Dilema Kepemimpinan Perempuan di Tengah Budaya Patriarki, Masihkah Keniscayaan?

COC: Panggung yang Mengafirmasi Kecerdasan Perempuan

Aisyah: Perempuan dengan Julukan Rajulah Al-‘Arab

Mengapa Perempuan Ditenggelamkan dalam Sejarah?

Dilansir Alarabiya News (14/9), Taliban berusaha merehabilitasi citra buruknya di era 1996-2001 yang melarang perempuan keluar rumah tanpa dampingan laki-laki mahram, harus berhijab, dan tidak diijinkan bekerja kecuali di bidang kesehatan. Dan saat ini, Taliban berusaha menunjukkan “inklusivitas”nya dengan membolehkan perempuan bekerja dan belajar.

Meski begitu, kebijakan teranyarnya tetap merepresi perempuan—selain membatasinya dengan hijab dan segregasi gender—yaitu tidak dilibatkannya perempuan di dalam kabinet, satupun. Bahkan Menteri Urusan Perempuan nampaknya telah dibubarkan (Alarabiya News).

Melawan Melalui Ingatan-Pakaian

World Bank mengatakan partisipasi perempuan di dunia kerja mencapai 23% pada 2020, dan sejak Taliban berkuasa, diperkiran hampir 0%. Ini bisa dilihat dari kebijakan yang mendisiplinkan tubuh perempuan, burqa dan abaya hitam, yang disebut sebagai Islamic dress (The Wahington Post). Pada akhirnya, male-goverment yang dijalankan Taliban merestriksi pakaian perempuan. Dus, mengekang tubuh perempuan dan mempersulit akses pendidikan dan lapangan pekerjaan.

Protes atas pakaian perempuan berlangsung di Twitter yang dimulai oleh Bahar Jalali (@RoxanaBahar1) pada 12/9. Ia memposting foto dengan mengenakan pakaian tradisional Afganistan yang dilengkapi dengan tagar #AfghanistanCulture. Ia mengenakan gaun dengan warna dasar hijau gelap dengan motif warna-warni, tanpa hijab.

Jalali juga memposting foto ibunya pada 1958, yang mengenakan pakaian tanpa lengan (rok terusan di bawah lutut) dan hijab/chador, sebagai bukti bahwa perempuan Afganistan tidak kaku dalam berpakaian.

Postingan Jalali disambut oleh perempuan Afganistan lainnya dengan menyertakan foto pakaian dengan motif puspawarna. Misalnya Waslat Hasrat-Nazimi (@WasHasNaz), menunjukkan fotonya ketika mengenakan gaun berwarna dasar biru tua dan hiasan motif berlian dengan paduan warna-warna cerah.

Suara protes itu terus bergulir di Twitter sebagai respon atas represi Taliban terhadap tubuh perempuan. Pakaian tradisional Afganistan dengan puspawarna menjadi simbol perlawanan atas penetapan dress code hitam-gelap oleh Taliban.

Jalali, yang merupakan mantan Profesor Sejarah di American University di Afganistan, menyampaikan kepada BBC (14/9) bahwa identitas dan kedaulatan Afganistan berada di bawah ancaman Taliban. Ia melanjutkan, pakaian yang dikenakan perempuan pro-Taliban (burqa, hijab, abaya hitam) bukanlah budaya dan identitas Afganistan.

Tagar #DoNotTouchMyClothes turut bergulir beserta foto pemosting yang mengenakan pakaian tradisional Afganistan. Lima Halima Ahmad, peneliti dan pendiri Paywand Afghan Association, menyebut pakaian tradisional Afganistan yang kaya warna adalah simbol kecantikan, seni, keahlian, dan identitas. “Identitas kita (Afganistan) tidak bisa ditentukan oleh kelompok teroris. Budaya kita bukan gelap, juga bukan hitam dan putih. Melainkan kaya warna,” ujarnya (BBC).

Pada dasarnya, pilihan terhadap pakaian adalah hak pemilik tubuh. Perempuan Afganistan yang memilih menggunakan burqa pun tak masalah. Namun, yang jadi masalah adalah membatasi tubuh perempuan melalui aturan sehingga mereka kehilangan hak memilih bagi tubuhnya.

Lebih jauh, aturan atas pakaian bukan semata-mata karena penegakan “hukum Islam”. Melainkan pemahaman male-oriented-patriarkis, yang menganggap seluruh tubuh perempuan adalah aurat dan sumber maksiat. Objektifikasi ini menghasilkan kebijakan-lanjutan yang terus membatasi dan meminggirkan perempuan, seperti tidak dilibatkannya dalam pemerintahan dan dianggap tidak layak memimpin.

Melalui media, perempuan Afganistan menyalurkan perlawanannya secara kreatif. Memainkan politik ingatan bahwa mereka memiliki kebebasan dalam memilih pakaian di masa lalu. Dan kini mereka menyadari, kembali berkuasanya Taliban membawa perempuan ke arah kegelapan, satu per satu hak mereka dilucuti. []

Tags: AfganistanGlobalinternasionalislamLuar NegeripakaianperempuanPolitilTalibantubuh
Miftahul Huda

Miftahul Huda

Peneliti isu gender dan lingkungan.

Terkait Posts

Penghayat Kepercayaan

Tantangan Menghadapi Diskriminasi Terhadap Penganut Penghayat Kepercayaan Pasca Putusan Mahkamah Konstitusi

19 Juli 2025
Cita-cita Tinggi

Yuk Dukung Anak Miliki Cita-cita Tinggi!

19 Juli 2025
COC

COC: Panggung yang Mengafirmasi Kecerdasan Perempuan

18 Juli 2025
Mengantar Anak Sekolah

Mengantar Anak Sekolah: Selembar Aturan atau Kesadaran?

18 Juli 2025
Sirkus

Lampu Sirkus, Luka yang Disembunyikan

17 Juli 2025
Disabilitas dan Kemiskinan

Disabilitas dan Kemiskinan adalah Siklus Setan, Kok Bisa? 

17 Juli 2025
Please login to join discussion
No Result
View All Result

TERPOPULER

  • Fazlur Rahman

    Fazlur Rahman: Memahami Spirit Kesetaraan dan Keadilan Gender dalam Al-Qur’an

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Pesan Terakhir Nabi Saw: Perlakukanlah Istri dengan Baik, Mereka adalah Amanat Tuhan

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Aisyah: Perempuan dengan Julukan Rajulah Al-‘Arab

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • COC: Panggung yang Mengafirmasi Kecerdasan Perempuan

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Refleksi tentang Solidaritas yang Tidak Netral dalam Menyikapi Penindasan Palestina

    0 shares
    Share 0 Tweet 0

TERBARU

  • Dilema Kepemimpinan Perempuan di Tengah Budaya Patriarki, Masihkah Keniscayaan?
  • Jangan Biarkan Fondasi Mental Anak Jadi Rapuh
  • Tantangan Menghadapi Diskriminasi Terhadap Penganut Penghayat Kepercayaan Pasca Putusan Mahkamah Konstitusi
  • Pentingnya Membentuk Karakter Anak Sejak Dini: IQ, EQ, dan SQ
  • Yuk Dukung Anak Miliki Cita-cita Tinggi!

Komentar Terbaru

  • M. Khoirul Imamil M pada Amalan Muharram: Melampaui “Revenue” Individual
  • Asma binti Hamad dan Hilangnya Harapan Hidup pada Mengapa Tuhan Tak Bergeming dalam Pembantaian di Palestina?
  • Usaha, Privilege, dan Kehendak Tuhan pada Mengenalkan Palestina pada Anak
  • Salsabila Septi pada Memaknai Perjalanan Hidup di Usia 25 tahun; Antara Kegagalan, Kesalahan dan Optimisme
  • Zahra Amin pada Perbincangan Soal Jilbab
  • Tentang
  • Redaksi
  • Kontributor
  • Kirim Tulisan
Kontak kami:
redaksi@mubadalah.id

© 2023 MUBADALAH.ID

Selamat Datang!

Login to your account below

Forgotten Password? Sign Up

Create New Account!

Fill the forms bellow to register

All fields are required. Log In

Retrieve your password

Please enter your username or email address to reset your password.

Log In

Add New Playlist

No Result
View All Result
  • Home
  • Aktual
  • Kolom
  • Khazanah
  • Rujukan
  • Tokoh
  • Monumen
  • Zawiyah
  • Kolom Buya Husein
  • Login
  • Sign Up

© 2023 MUBADALAH.ID