Kegelisahan demi kegelisahan pun menyelimuti dengan seiring berjalannya waktu. Terlebih, terlahir menjadi manusia dengan organ reproduksi vagina serta payudara yang pada umumnya disebut sebagai perempuan sebagai identitas gender.
Banyak sekali hal-hal yang membuatku janggal. Terutama terlahir menjadi perempuan dengan segala konstruk yang ada. Tak terkecuali perlakuan dari lingkungan sekitar yang melarang ini itu hanya karena menjadi seorang perempuan.
Ya, seolah-olah, dan memang, perempuan hanya dijadikan sebagai penjaga moral. Dibatasi ruang geraknya hanya kerena terlahir dengan jenis kelamin perempuan. Bukankah menjadi perempuan merupakan takdir? Apakah Islam membatasi ruang gerak serta menomorduakan hambanya hanya sebab ia perempuan?
Tentu saja tidak. Arti dalam surat al-Mu’min [40]: 40 pun berbunyi, “Dan barangsiapa berbuat keburukan, maka ia tidak akan dibalas kecuali yang sebanding dengannya. Barangsiapa yang mengerjakan kebaikan, baik laki-laki atau perempuan, dan dia beriman, maka mereka semua akan masuk surga dan mereka akan diberi rezeki di dalamnya tanpa ada perhitungan.”
Ayat di atas sangat jelas bahwa Allah Swt. menilai hambanya bukan semata karena jenis kelaminnya, melainkan amal perbuatannya. Namun, ketimpangan gender memang nyata. Ya, berawal dari pengalaman biologis perempuan yang berupa menstruasi, hamil, melahirkan, nifas, dan menyusui, melahirkan bentuk-bentuk ketidakadilan gender berupa stereotip (stigma negatif), marginalisasi (pemiskinan), subordinasi (dinomorduakan), kekerasan, dan beban ganda.
Kali ini kita akan mencoba fokus pada kenyataan belum tercapainya kesetaraan. Terutama di negara yang kebijakannya belum ramah gender serta belum memihak pada kebutuhan reproduksi perempuan ini.
Sebab memang, berangkat dari latar belakang sosial yang beragam juga berpengaruh pada pengalaman sosial antar individu menjadi berbeda. Terutama, jenis dan macam-macam ketidakadilan gender karena pengalaman biologis yang berdampak pada pengalaman sosial perempuan tersebut tidak pernah dialami oleh laki-laki.
Mari kita lihat persoalan perempuan. Sebab secara sosial, perempuan sangat merasakan akibatnya. Sehingga, potensi tersisih di ranah publik pun cukup besar. Baik, coba baca angka-angka kekerasan seksual yang menimpa perempuan.
Sebagaimana CATAHU Komnas Perempuan pada tahun 2020, 14.719 kasus kekerasan terhadap perempuan sebesar 75,4% atau 11.105 kasus yang terjadi di ranah personal, 24.4% atau 3.602 kasus di ranah komunitas, 0.08% atau 12 kasus di ranah negara. Bentuk-bentuk dari kekerasan tersebut terdiri dari kekerasan seksual, fisik, psikis, hingga ekonomi.
Jika kesetaraan sudah terwujud, maka praktis tidak akan ada lagi yang kekerasan dalam bentuk apapun yang terjadi pada manusia, wa bil khusus perempuan. Artinya, kemanusiaan perempuan masih belum dianggap. Sebab perempuan masih diposisikan sebagai objek, belum sepenuhya dipandang sebagai subjek kehidupan sebagaimana peran dan kedudukan manusia. Sehingga, memperjuangkan kesetaraan gender sampai hari ini masih menjadi tugas kemanusiaan semua orang.
Selain itu, ketimpangan akses ekonomi antara perempuan dan laki-laki pun masih kentara. Contohnya, perbedaan gaji antara laki-laki dan perempuan yang disebabkan kerena jenis kelamin. Berdasarkan data yang dilansir dari akun website theconversation.com, data yang dihimpun pada 2017 menunjukkan bahwa rata-rata perempuan mendapatkan upah 21,64% lebih rendah dibanding laki-laki.
Namun, bagi mereka yang berusia 30 tahun dan ke atas, baik laki-laki maupun perempuan cenderung mendapatkan upah yang setara selama keduanya berusia sama, memiliki lama pengalaman kerja sama, serta memiliki tingkat pendidikan yang sama serta bekerja di bidang yang sejenis.
The Conversation juga menjelaskan kalau banyak perempuan yang berhenti bekerja sebelum mencapai tahap tersebut. Semisal perempuan yang memiliki anak biasanya sudah tidak fokus pada karirnya, disebabkan beban mengasuh anak yang biasanya jatuh pada mereka.
Temuan lain yang dikutip dari situs bbc.com/Indonesia berjudul “Ratusan Buruh Busana Terkenal di Jakarta Terpaksa Sembunyikan Kehamilan”, yang terbit pada 20 Desember 2017 mengungkapkan kalau sekitar setengah dari 773 buruh garmen perempuan di Kawasan Berikat Nusantara (KBN) Cakung, Jakarta, mengaku takut hamil karena khawatir akan kehilangan pekerjaan, atau menjalani kehamilan dalam lingkungan kerja yang kurang sehat.
Kasus terakhir ini terjadi jauh sebelum UU Ketenagakerjaan mengalami perubahan-perubahan dengan disahkannya UU Cipta Kerja. Yang mana, aturan mengenai hak cuti bagi perempuan yang sedang haid atau melahirkan telah diakomodir oleh UU Ketenagakerjaan, yang secara lebih teknis harusnya diatur lebih lanjut di Perjanjian Kerja, Peraturan Perusahaan, atau Perjanjian Kerja Bersama.
Namun yang seringkali terjadi, mandat undang-undang itu tidak sepenuhnya dijalankan oleh pengusaha, yang kemudian memunculkan diskriminasi, subordinasi, ketakutan-ketakutan pengurangan gaji, dan persoalan lain di dalam hubungan industrial.
Dengan disahkannya UU Cipta Kerja, akan menjadi petaka bagi semua elemen masyarakat, termasuk pekerja/buruh yang dalam hal ini adalah perempuan. Undang-undang tersebut memungkinkan untuk semakin tidak ditaatinya pemenuhan hak-hak perempuan. Pengusaha tentu akan lebih leluasa menghindari kewajiban-kewajiban yang telah dibebankan terhadapnya. Misalnya, acuan jam kerja dan hasil dalam memberikan upah.
Sebab dalam Pasal 79 UU Cipta Kerja sebatas mengatur istirahat mingguan hanya 1 hari untuk 6 hari kerja. Sedangkan, Pasal 77 ayat 2 dan pasal 78 ayat 1 dalam UU Cipta Kerja pun berpotensi mempekerjakan perempuan dengan waktu yang lebih panjang
Selain itu, saat ini perempuan memiliki pendapatan 23% lebih rendah dari laki-laki. UU Cipta Kerja pun akan berpotensi memperlebar kesenjangan berbasis gender tersebut. Ditambah lagi keadaan di masyarakat yang masih bias. Semisal, laki-laki yang bekerja lembur dipandang sebagai bentuk dedikasi pada keluarganya.
Sedangkan ketika perempuan yang bekerja lembur sampai malam hari masih sering mendapatkan stigma nggak peduli sama keluarga, dan lain-lain. Belum lagi dengan hak keamanaan perempuan yang belum sepenuhnya terjamin, terlebih jika pulang seorang diri di tengah malam.
Nah, saat RUU PKS dan RUU PRT yang urgent untuk melindungi hak-hak perempuan yang semakin dikebiri serta masih sulitnya mendapatkan keadilan, malah tak kunjung disahkan. Justru, UU Cilaka yang jelas-jelas tidak berpihak pada kelompok yang lebih rentan, dengan tergesa-gesa malah disahkan oleh para pemangku kebijakan negeri ini.
Lalu, apa manfaat dari peraturan atau kebijakan negara yang justru tidak untuk melindungi kelompok yang lebih rentan dan butuh perlindungan? Apa sebatas kepentingan kaum elit saja? Atau hanya untuk melindungi dan memperkaya para pihak yang sudah kenyang dan bisa tidur nyenyak tiap hari, saja? Wallahua’lam. []