“Jika kamu mendidik seorang laki-laki, maka kamu sedang mendidik satu orang. Jika kamu mendidik seorang perempuan, maka kamu sedang menyiapkan satu peradaban.”
Mubadalah.id – Berikut ini potret pendidikan perempuan dalam Al-Qur’an. Kutipan di atas, begitu kiranya yang pernah dikatakan oleh Mohammad Hatta. Satu kepedulian dari Pahlawan Proklamator Indonesia melalui gambaran betapa pentingnya pendidikan perempuan dalam kehidupan ini.
Jika melihat dalam teks agama, penyebutan “perempuan” tak luput menjadi sorotan. Hal yang sama juga dapat ditemukan dalam Al-Qur’an. Dengan ragam bentuk penyebutan, potret “perempuan” yang dimaksud pun dapat berlainan makna.
Berdasar kepada penelitian yang dilakukan oleh Prof. Nasaruddin Umar dalam bukunya “Argumen Kesetaraan Gender”, Al-Qur’an menggunakan tiga bentuk terma perempuan. Yakni imraah, al-untsa, dan al-nisa.
Pertama, imraah banyak digunakan untuk menjelaskan perempuan yang matang secara usia (dewasa). Itulah sebabnya dalam Al-Qur’an, Imraah seringkali ditemukan dalam ayat yang menjelaskan Istri orang terdahulu. Seperti kisah istri Fir’aun dalam QS. al-Qashash[28]: 9 juga QS. al-Tahrim[66]: 10 yang menjelaskan istri Nabi Nuh. Hanya dalam QS. al-Naml kata imraah digunakan untuk menyebutkan selain figur Istri, namun ratu Balqis yang mana seorang perempuan dewasa.
Kedua, al-untsa, yang banyak digunakan dalam ayat yang membahas terkait aspek biologis perempuan. Seperti halnya nampak dalam QS. al-Nisa[4]: 124, bahwa laki-laki ataupun perempuan ketika mereka beriman, maka Tuhan tidak ragu untuk memasukkannya ke surga.
Ketiga, al-nisa. Kata ini lebih familiar dalam keseharian masyarakat khususnya di Indonesia. Dalam Al-Qur’an kata ini digunakan untuk menjelaskan terkait aspek konstruk sosial (gender) dari perempuan. Contohnya QS. al-Nisa[4]: 34 yang seringkali diartikan sebagai perempuan sebagai makmum atau makhluk inferior atas laki-laki. Nyatanya, ayat itu sedang menyinggung feminimitas dari seorang manusia yang harus dipimpin oleh sisi maskulinitas dari manusia lain.
Kata terakhir ini merupakan bentuk yang akan dibahas selanjutnya. Di mana banyak digunakan kata al-nisa untuk disandingkan dengan kata tarbiyah yang memiliki makna pendidikan, pengasuhan dan pengajaran. Karenanya, sudut pandang yang akan dihasilkan adalah pendidikan perempuan—yakni aspek konstruk sosial yang melekat pada perempuan.
Kelompok Pertama: pendidikan perempuan dari teks sebagai poros pendidikan
Pola pikir ini dimiliki oleh mereka yang memiliki pemahaman normatif dalam memandang serta memosisikan pendidikan perempuan . Dari mulai gagasan hingga aksi nyata yang mereka lakukan, sangat dikelilingi oleh norma teks. Pengalaman hidup serta konstruk psikologis perempuanlah yang banyak dijadikan landasan bagi mereka. Di sinilah titik tolak golongan pertama memandang penting konsep pendidikan perempuan.
Dapat dilihat dari kondisi pendidikan perempuan di banyak pondok pesantren. Sebagai Lembaga pendidikan keagamaan khas Indonesia, pondok pesantren secara tidak langsung juga memiliki andil dalam penerapan wacana pendidikan perempuan ini. di mana para santriwati akan mendapatkan porsi khusus yang berkaitan dengan keperempuanan, khususnya dalam kajian fikih.
Hal itu juga saya alami sewaktu di jenjang pendidikan menengah. Norma perilaku hingga cara berpakaian pun saya dapatkan kala itu. Tentunya dengan merujuk kepada buku pedoman bahan ajar di Pesantren. Salah satunya adalah buku Tarbiyyah An-Nisa karya dari KH. Aceng Zakaria. Di dalamnya disampaikan bahwa buku tersebut diharapkan dapat menjadi pedoman bagi para Muslimah dalam berkeseharian.
Banyak tema yang dibahas di dalamnya. Satu di antaranya adalah uraian mengenai “Larangan perempuan untuk keluar rumah”. Penulis buku memaparkan sejumlah dalil baik ayat Al-Qur’an maupun teks hadis. Dengan diakhiri kesimpulan pembahasan bahwa perempuan harus didampingi mahram ketika aktivitas keluar rumah.
Namun, sebagai bahan ajar bagi generasi Z, memahami buku tersebut begitu saja, rasanya akan banyak ketidaksesuaian. Saya menyebutnya dengan “keabsenan dari konteks zaman”. Artinya, ketika norma yang dipegang terlalu erat, pembahasan pun menjadi kaku untuk diaplikasikan hari ini. Di mana ruang publik sudah menjadi kebutuhan bagi setiap individu. Baik itu pendidikan, transaksi, perjalanan hingga ibadah.
Kelompok Kedua: potret pendidikan perempuan sebagai pembebasan dari keterkungkungan
Kelompok ini banyak diisi oleh kalangan terpelajar bahkan aktivis yang dengan lantang menyuarakan isu keperempuanan. Saya sebut sebagai kalangan elitis yang dekat dengan akses kemodernan dalam ilmu pengetahuan. Produksi pengetahuan secara metodologis pun banyak dilakukan dalam aktivitas kelompok ini.
Sebut saja seperti gagasan yang dikemukakan oleh tokoh perempuan Indonesia, Musdah Mulia. Dalam bukunya bertajuk Ensiklopedia Muslimah Reformis, Musdah Mulia meletakkan pembahasan pendidikan perempuan sebagai permulaan dari karyanya. Karakter progresif pun sangat kentara dari gagasan pendidikan ramah perempuan yang ditawarkannya. Ia menekankan, bahwa perempuan harus menjadi subjek penuh dalam kehidupan. Itulah mengapa SDM perempuan harus berpendidikan.
Selain muncul dari sudut pandang individual, konsep serupa juga digunakan oleh beberapa organisasi maupun perkumpulan lainnya. Ciri khas yang kental adalah upaya rekonstruksi pemahaman yang dilakukan, demi terwujudnya suatu perubahan sosial.
Produksi pengetahuan yang dihasilkan pun kaya akan gaya multidiscipline approach. Sebagai upaya untuk membaca teks agama dengan kacamata aplikatif waktu dan tempat. Juga adanya landasan metodologis yang dijadikan algoritma berpikir, sehingga pendapat yang muncul dapat dipertanggungjawabkan.
Sayangnya, kelompok ini juga rentan akan “eksklusifitas golongan”. Yang mana berimplikasi pada pandangan negatif mereka terhadap golongan lain yang dinilai belum sesuai dengan keidealan yang mereka yakini. Ini menjadi salah satu kehati-hatian yang harus terus diwaspadai oleh para pihak elitis tersebut.
Seperti disinggung oleh Mahmoud Saba dalam bukunya Politics of Piety: The Islamic Revival and the Feminist Subject, bahwa para kalangan yang mengklaim dirinya lebih progresif, seringkali menafikan tradisi. Rasa diri lebih unggul seringkali muncul ketika dihadapkan dengan kaum agamis yang kehidupannya sarat akan norma. Di situlah perlunya mencoba memandang secara jernih kedua kelompok tersebut.
Tawaran: bukan upaya peleburan
Dalam rangka menjembatani kedua kelompok, saya menawarkan sebuah gagasan. Bagi golongan pertama dengan karakter pemahaman normatif, agaknya fleksibilitas dalam pengejawantahan hasil bacaan atas teks mengenai pendidikan perempuan lebih diperlukan. Juga dapat menjadi sarana dalam meramu problem masyarakat yang kadangkala luput dari contoh yang disebut dalam teks agama.
Sedangkan bagi golongan kedua, aktivitas individu yang masuk di dalamnya perlu lebih membumi. Artinya, tidak hanya berhenti sampai pada penelitian ilmiah, tapi terjun pada hal-hal yang lebih dekat dengan aktivitas masyarakat secara umum.
Menyertakan gagasan di media online salah satunya. Disajikan dengan diksi penjelasan ringan dan informatif. Hasil dari berbagai penelitian itupun juga sedikit demi sedikit akan menyentuh ranah masyarakat. Tentu ini memungkinkan, di tengah arus informasi yang serba digital saat ini.
Karenanya, keberadaan portal media berwacanakan perempuan seperti mubadalah.id, rahma.id dan website lainnya, dapat dijadikan wadah bagi para golongan elitis untuk menyampaikan gagasannya. Utamanya untuk dijadikan kontrol wacana mengenai pendidikan perempuan di Indonesia.
Termasuk inisiasi Pelatihan Muslimah Reformis oleh Yayasan Mulia Raya (milik Musdah Mulia), tentu menjadi wujud konkrit lainnya. Namun sekali lagi, tidak hanya selesai dalam pelatihan. Perlu adanya kontribusi aktif para peserta yang merupakan perempuan berusia 20-35 tahun untuk ikut mencerdaskan sesama kaum perempuan.
Pendidikan layaknya transportasi yang akan menjadi sarana bagi para penumpangnya sampai ke tujuan. Begitu kiranya pengibaratan bagi pesan dalam QS. Al-Mujadalah ayat 11. Serupa dengan lima ayat yang pertama turun kepada Nabi Muhammad SAW. Artinya, perintah berilmu dari mulai membaca, mengetahui, memahami bahkan hingga mengaplikasikan adalah tugas seumur hidup manusia seluruhnya.
Termasuk bagi kaum perempuan. Pemilik identitas madrasatul-ula bagi anak biologisnya. Figur yang dalam banyak potret keluarga, memiliki kedekatan psikologis tersendiri dengan anaknya. Pendidikan secara khusus bagi kaum perempuan menjadi penting, seiring meluasnya subordinasi hingga marginalisasi atas perempuan.
Demikian potret pendidikan perempuan dalam Al-Qur’an. Semoga potret pendidikan perempuan dalam Al-Qur’an bermanfaat. []